Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tertinggal Sunset

8 Juni 2016   18:48 Diperbarui: 8 Juni 2016   18:53 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ah,… sebenarnya suasana kafe di tepian pantai ini begitu indah. Tapi,…formalitas ini sungguh menyiksaku.  Mungkin juga menyiksanya. Aku yakin, sebenarnya tak ada yang berubah dalam diri kami. Hanyalah masa lalu dan kenyataan saat ini yang menjadikan kami terbelenggu oleh kebekuan. Sesekali aku tak mampu menahan diri untuk menatapnya. Masihkah wajahnya cantik seperti dahulu? Setelah sekian waktu kami tak bertemu.

Tak ingin bertemu, tepatnya. Hmm,…masih seperti dulu. Tak banyak berubah, meski hampir tujuh tahun usia kami bertambah. Hanya saja, yang jelas berbeda tentu saja penampilannya. Ups,..aku sejenak lupa.Tentu saja, dia tampak jauh lebih dewasa, apalagi kini dia adalah Pimpinan Cabang perusahaan kami di Bali ini.

Tapi, masih saja kami salah tingkah, saat tatapan kami bertemu arah. Dia sibuk, entah pura-pura sibuk, dengan potongan-potongan terakhir Grilled Crab-nya, sesekali menyeruput Ice Lemon Tea-nya. Kemudian dia alihkan pandang, pada luruhnya debur ombak yang membelai  pantai. Sekian menit yang lalu, aku telah selesai menyantap BBQ Clam, kemudian lebih memilih asyik dengan kopi hitamku. Juga menyulut sebatang mild, lalu kembali mencuri pandang, pada rambutnya yang dipermainkan hembus  angin.

“ Mas Surya, jangan banyak-banyak..,” terngiang suara merdu itu. Itu cegahnya dahulu, jika dalam waktu kurang dari setengah jam, aku hendak menyulut lagi. Dia selalu dengan lembut mengambil alih sebatang rokok yang sudah terselip di bibirku.  Tapi, itu dulu. Kini tiada lagi suara itu. Membuatku yakin,… ia lebih berhasil dariku. Berhasil melupakan,… menghapus semua kenangan tentang aku.

Sekian detik, lamunanku menerawang pada masa sekian tahun yang terlewatkan. Makan malam berdua  yang penuh keceriaan. Saat kami masih sama-sama merintis karir sebagai staf di perusahaan yang sama di Ibukota. Tentu bukan makan malam di sebuah kafe tepi pantai seperti di Jimbaran sekarang ini. Seringkali, kami hanya menikmati hidangan pecel lele Lamongan, di warung tenda tepi jalan. Tak da sunset, hanya pijar lampu-lampu jalan, penanda bergantinya senja menjadi malam. Perputaran hari yang seringkali seperti berlari dan kami adalah pemuda pemudi yang tertatih mengikuti. Tapi sungguh, dalam kesederhanaan itu, cinta kami tumbuh. Cinta yang membawa kami pada harapan-harapan lugu seperti apa adanya. Menghiasi hampir seluruh percakapan kami di sela menikmati hidangan. Berseling canda, tawa, juga rajuk manjanya. Selalu berbinar mata indahnya, setiap kali kami berbicara tentang angan dan cita-cita berdua. Tentang berumah tangga, berapa saja tabungan yang akan kami kumpulkan untuk melangsungkan pernikahan, dan tentu saja mimpi-mimpi kami untuk berbulan madu, di…Pulau Dewata.

***

Namun itu semua sebelum segala angan kami pupus dan  terdampar di tepian pantai gersang. Setelah timbul tenggelam, diombang-ambing oleh terpaan gelombang kebimbangan. Perjalanan tak semudah yang kami kira. Terantuk kerikil dan batu-batu terjal, membuat telapak kaki kami berdarah-darah.  Di sana ada karang-karang penghalang, dari benturan budaya kedua orang tua kami, begitu pun sulitnya kami mengendalikan kerasnya hati, untuk berdamai ego diri. Pertengkaran demi pertengkaran sering tak selesai dengan pasti. Demikian juga, saat kehadiran rasa saling cemburu berkuasa, karena mulai datangnya peran pihak ketiga. Cinta yang sesungguhnya masih ada, tak mampu juga untuk membuat kami tetap menantang segala badai. Kami lelah. Kami menyerah. Dan kami pun berpisah. Begitu parahnya luka yang kami derita, membuat kehendak untuk membunuh rasa cinta itu menjadi pilihan utama.

Rita, yah…, Rita, wanita yang ada didepanku sekarang ini, dahulu dengan segera menerima tawaran untuk berpindah tugas, ketika perusahaan kami membuka  kantor cabang yang baru di Bali. Dia ingin segera melupakan aku. Dan aku pun ingin segera melupakannya. Hasilnya? Kuakui, bagiku sia-sia.

Sudah beberapa kali aku berupaya berkelit dari perintah atasanku untuk melakukan audit rutin di kantor cabang di Bali ini. Namun, pada akhirnya aku tak berdaya lagi menolaknya, setelah tak da lagi alasan yang pantas diajukan. Jumlah auditor di perusahaan ini terbatas dan semua telah mendapatkan tugas di semua kantor cabang yang ada. Tak ada yang bersedia bertukar tempat. 

“ Kau ini, aneh sekali. Enak-enak disuruh audit sambil wisata kok ogah-ogahan”, komentar rekan-rekanku.

Ah. Mereka kebanyakan adalah orang-orang baru. Tak tahu riwayatku dulu. Pulau Dewata tentu indah untuk berwisata. Tapi, di sana luka kupastikan kembali menganga. Salahku, mengapa masih saja tak mampu melupakannya. Bukan itu saja. Aku tak ingin wanita itu bertemu aku dalam rasa kemenangan. Apalagi rasa kasihan. Jika dia tahu, hingga usiaku yang ke 38 ini, aku masih sendiri. Tak ada yang seperti dirinya. Aku malu padanya, sebab tak mampu membunuh cinta dan melupakannya.

Namun, tak kusangka, ternyata Rita begitu hebatnya. Saat menyambutku di kantornya, sikapnya sungguh-sungguh tertata. Tak sedikit pun terbaca ada rasa gugup, canggung apalagi tatapan sisa-sisa rindu. Tunggu! Bahkan dia pun tak pernah sungguh-sungguh menatapku.

“ Pak Surya, selamat datang dan selamat bertugas. Maaf, sesuai instruksi kantor pusat, kami tidak menyediakan fasilitas hotel untuk menginap. Sudah ada gues house atau wisma perusahaan di sini ”.

“ Tak masalah Bu Rita. Terima kasih untuk sambutannya ”. Uggh! Bekerja keras, aku menahan debar di dada. Di sana berdenyut perih oleh rasa…, ah.., aku tak pantas kecewa. Rita, dia benar-benar tak lagi menganggapku siapa-siapa. Bukan mantan kekasihnya. Dia sanggup membunuh dan melupakan cinta yang dulu pernah ada. Tapi, bukankah itu adalah sikap yang benar? Aku saja yang sungguh bodoh, sekian lama masih saja terjebak dalam jurang rasa.

***

Secepat mungkin aku ingin menyelesaikan tugasku di sini. Tumpukan-tumpukan berkas yang harus kuselesaikan tak menjadikan penghalang. Terselip juga pengakuan, Rita memimpin kantor cabang ini dengan baik. Hampir tak ada masalah krusial yang kutemukan dalam operasionalnya di sini. Hari-hariku di sini jelas-jelas terisi dengan kesibukan tugas. Bahkan tak jarang, banyak berkas yang sengaja kubawa ke wisma untuk kuperiksa di sana. Sejauh mungkin, aku tak ingin bertemu dengan Rita di kantornya. Aku ingin seperti dia, harus bersungguh-sungguh mengubur rasa. Membuang dan melupakan segala kenangan yang pernah ada. Walaupun kuakui, aku sangat tersiksa dengan kenyataan ini.

Hampir seminggu keberadaanku di sini, praktis aku sangat jarang bertegur sapa dengannya, selain diskusi formal mengenai kondisi perusahaan. Hingga menjelang hari-hari terakhir menyelesaikan tugasku, Rita benar-benar mampu, menyikapi keberadaanku dengan biasa-biasa saja. Sedangkan aku, meski terlihat serupa, namun ternyata menahan kesepian jiwa. 

Seringkali aku menggugat diriku sendiri, yang tidak konsisten dalam berkomitmen. Bukankah dahulu, sejak kami memutuskan untuk berpisah, masing-masing berkeras hati untuk saling melupakan? Lalu, mengapa selama ini aku masih saja memelihara harapan? Lalu kecewa, dengan sikap Rita yang tidak menjadikan aku sebagai seseorang yang istimewa? Padahal, sikap Rita itulah sesungguhnya yang harus dilakukan. Aku telah tidak adil dalam menilainya. Dan sekarang, aku harus lebih bersungguh-sungguh berusaha untuk menerima kenyataan. Melupakan. Jangan sampai Rita tahu, kalau selama ini ternyata aku masih menyimpan semuanya di dada. Bukan. Bukan sekedar menutupi rasa malu ini jika itu terjadi. Tapi dari lubuk terdalam pun muncul keinginan agar semua ini tak mengganggu kenyamanan hidup Rita yang pasti telah meniti kebahagiaannya sendiri sekarang.

Sore tadi seharusnya adalah hari terakhirku bertugas di sini. Semua hasil audit telah kuselesaikan. Rita selaku pimpinan cabang pun sudah membubuhkan tanda tangan persetujuan. Di wisma, aku hampir saja usai mengepak seluruh barang yang kubawa, setelah men-scan laporan audit dan mengirimkannya ke kantor pusat via email, meski berlembar-lembar. Aku ingin segera pergi dari sini, terbang ke Jakarta dengan menutup rapat-rapat segala cerita, tentang Rita. Sebelum ketukan pintu itu memaksa aku untuk membukanya. Dia. Dia berdiri di sana. Meski tersenyum, namun kekerdilanku tetap memandangnya menjadi sosok yang angkuh, amnesia! Oh, lagi-lagi, aku tak boleh menilainya seperti itu. Rita bersikap apa adanya. Ramah tapi formal, seperti layaknya tuan rumah terhadap tamu dalam relasi kerja.

“ Selamat sore, Pak Surya. Kalau tidak keberatan, Saya ingin mengajak Pak Surya makan malam di luar. Bukankah sekarang saatnya rileks? ”

Cukup lama aku tertegun. Entah, apakah dia mampu menangkap rasa gundahku kali ini. Aku tak tahu lagi. Seharusnya dan bisa saja aku menolak dan mengatakan bahwa aku hendak pergi sekarang juga. Untuk menunjukkan, aku pun telah mampu melupakan dan menganggapnya bukan siapa-siapa. Tapi, apa bedanya sikapku itu dengan seorang pengecut yang melarikan diri? Semakin terlihat kalau aku masih tak mampu mengendalikan perasaan ini? Apalagi, apa yang dia lakukan adalah sebuah kebiasaan yang wajar selama ini. Menolaknya dapat saja dianggap tidak menghargai sambutan tuan rumah. Dan terus terang, lagi-lagi aku menipu hati kecilku. Selama ini aku berharap hal ini terjadi, meski hanya sekian menit saja nanti. Meski terakhir kali.

“ Tak usah terlalu merepotkan, Bu Rita. Hidangan di sini sudah cukup enak, kok”.

“ Tidak, kok. Rileks saja, Pak Surya. Ini sudah biasa”

Rileks saja? Sudah biasa? Arrgh! Jika saja aku bisa sepertimu, tak akan sesulit ini, Rita. Kau bisa rileks, aku sulit. Kau sudah biasa. Bagiku pun hal seperti ini juga biasa. Tapi denganmu sulit menjadikannya hal biasa.

“ …Baiklah..”, hanya itu jawabku. Kelu.

***

“ Kita ketinggalan sunset, Mas Surya…”

Astaga! Suara merdu itu,.. membuyarkan lamunanku sebelumnya. Bukan hanya itu. Tapi, panggilan itu. Itu…,..sapaannya padaku,..seperti tujuh tahun yang lalu.

“ Maaf, …Bu Rita..,..anda…?”

Dia tertunduk. Rona-rona merah itu menjalar di wajahnya. Meski samar, diterpa cahaya lilin yang menari-nari oleh godaan angin pantai.

“ Kalau saja kita datang lebih awal, kita akan melihat mentari yang tenggelam, indah sekali, Mas..”

“ …Begitukah…?”  ada yang bertalu-talu di dadaku. Membuatku ragu, apakah aku harus mengeraskan hatiku seperti batu ataukah mencairkannya seperti embun yang tersentuh mentari pagi.

“Mas,…menurutku, sekarang tak perlu  formalitas lagi. Tugasmu sudah selesai. Sudah cukup seminggu ini aku menjadi artis”.

“Artis?”

 “ Yaah, aku harus berakting formal padamu, agar pekerjaan kita tak terganggu..”

Uffs! Entah lega. Entah aku layak binasa dengan apa yang terjadi. Ternyata Rita tak seperti yang kuduga. Bercampur dengan rasa takut dalam diri yang tiba-tiba menyeruak. Oh,…tidak! Jangan bertumbuh wahai pengharapan. Aku terancam gagal lagi melupakan. Tapi, aku harus jujur mengatakan ganjalan yang kusimpan.

“ Kupikir, kamu sudah…”

“ Mas. Sejak awal kau datang, aku begitu ingin tahu kabarmu. Bagaimana dengan hidupmu sekarang? Apakah kau bahagia? Kau baik-baik saja?”

“ Rit, aku minta maaf…”

“ Maaf? Untuk apa, Mas..?”

“ Aku telah gagal..”

“ Gagal? Maksudmu?”

“ Aku tak sanggup,….melupakanmu. Aku masih sendiri hingga kini…”

Rita tertunduk. Kulihat ada bulir-bulir kaca di matanya, berpendar oleh terpaan cahaya liin. Sekian lama kami terdiam menata gemuruh ini. Debur ombak dan “pengamen Jimbaran” yang menyanyikan lagu-lagu tentang cinta seolah mengiringi degup-degup hati kami.

“ Tapi, ….sebaiknya berusahalah, Mas. Demi kebahagiaanmu”.

Aku terdiam. Kali ini, angin laut yang kembali menggoda helai-helai rambutnya. Ia biarkan sebagian menyisir lehernya yang jenjang. Sampaikan padaku aroma parfum yang tujuh tahun lalu akrab menyejukkan penciumanku.

“ Sudah mulai malam, Mas. Istirahatlah..”

Aku tak hendak memperpanjang gundah rasa kami lagi, hingga larut dalam suasana ini. Kami sama-sama tahu. Sisi romantis tempat ini, bisa menipu kami hingga terbawa dalam emosi jiwa. Yang bisa saja menjadi tidak jujur karenanya.

“Rit. Nanti kau turunkan aku di warung depan wisma saja, ya..”

“ Kenapa, Mas?”

“ Mau beli kopi “

“ Astaga! Di wisma tak ada kopi, ya? Duh! Maaf, ya Mas. Aku lupa”.

“ Sudahlah, nggak papa, Bu Rita. Rileks saja..”

Dan malam itu untuk pertama kalinya kami tertawa lepas bersama. Setelah semingguan ini kami terkungkung kebekuan.

***

Pagi ini, aku ingin berkunjung terlebih dahulu ke rumah pamanku di Denpasar, sebelum kembali ke Jakarta. Setelah malam tadi ada sedikit kelegaan hati, sebab kejujuran yang telah kusampaikan. Meski, seperti yang dia katakan, aku harus tetap berusaha melupakan semua. Aku tahu, aku berjanji  dalam hati untuk ini. Demi kebahagiaannya. Bersama suami dan anak-anaknya yang pasti lucu-lucu, keluarga yang utuh. Jangan sampai, itu terganggu oleh ibanya Rita padaku, yang sampai kini masih memimpikannya.

Beranjak ke kamar mandi, aku tertegun. Mengusap mata seolah tak percaya. Di meja makan telah tersaji secangkir kopi kesukaanku. Apalagi, sosok wanita yang duduk di sana. Rita, sepagi ini dia telah menyajikannya.

“ Segeralah mandi, Mas. Lalu ngopi dulu sebelum kuantar ke bandara..”

Tak kuikuti sarannya. Bukannya ke kamar mandi, tapi aku bergegas duduk di hadapannya.

“ Rit. Maaf, bukan tak menghargai niat baikmu. Tapi, apa kata suamimu kalau dia tahu, istrinya subuh-subuh kemari hanya untuk menyeduhkan kopi?”

“ Hm. Aku belum bersuami, Mas..”

“ A..apa? Kekasih?”

Rita menggeleng. Tersenyum murung.

“ Lalu. Kenapa kau bilang aku harus tetap melupakanmu?”

“ Demi kebahagiaanmu, Mas..”

“ Rit, kau harus tahu juga. Sebelum kedua orang tuaku meninggal, mereka akhirnya mengikhlaskan aku untuk memilih, wanita mana pun menjadi istriku, termasuk juga kamu..”

“ Oh, mereka sudah meninggal, Mas? Maaf, aku tak tahu. Kapan waktu aku ingin berziarah ke sana..”

“ Kau sendiri? Bapak dan Ibu masih sehat, kah?”

“ Masih ada ibu, Mas. Dia tinggal bersamaku”.

“ Ibu masih ingin menjodohkanmu?”

Rita menggeleng.

“Lalu, kenapa Rita? Kenapa? Sekian tahun ini kita telah tersiksa. Kumohon…”

“ Masalahnya ada di aku, Mas?”

“ Oh,…kau sudah benar-benar melupakanku?”

“..Hampir,..mas…”

Kali ini, Rita tak sanggup arahkan wajahnya padaku. Dia memilih menatap ke jendela besar wisma ini. Pipinya mulai membasah, oleh anak sungai kecil yang mengalir dari sudut matanya. Bahunya terguncang oleh isakan yang tak sanggup lagi ia tahan.  Seekor kupu-kupu putih hinggap di jendela, hampir saja terbang memasuki ruangan ini, namun kemudian pergi. Mungkin berubah pikiran, karena tertarik oleh bunga-bunga di taman samping. Aku menunggu, sebab kulihat bibirnya bergetar, hendak mengucapkan sesuatu. Aku yakin, inilah jawaban yang menjadi alasan utama, agar aku melupakannya.

“ Aku,..aku tak pantas lagi untukmu, Mas Surya…”

“ Maksudmu?”

“ Setahun yang lalu, rahimku sudah diangkat,….endometriosis…”

Kulihat kupu-kupu putih itu akhirnya hinggap. Pada bunga mawar merah, yang tetaplah menarik hatinya, meski putik bunga itu terlihat mengering. Aku memeluk Rita erat-erat, kubiarkan tangisnya tumpah di dadaku. Aku tahu, bertahun-tahun tangis ini ia simpan. Hanya untukku.

“Rita,…kemarin kita tertinggal sunset…”.

Sebentar lagi,..masih ada sunrise,… Mas Surya”. Dia tersenyum, di sela sisa isaknya.

***

Dengan bersiul-siul aku memasuki ruang kerja Bu Martha, atasanku. Aku tahu, dia akan sedikit menggerutu sebab jika dihitung, aku telah mundur selama satu minggu berada di Bali. Ah, biarkan saja, akan kuanggap angin lalu. Bukankah dia yang memaksaku pergi ke sana.

“ Yaaa, ampuuun. Suryaaaa…., ngapain saja kamu lama sekali di Bali?”

“ Kan, laporanku sudah ku-email, Bu?”

“ Iya, tapi kenapa semua nomor kontakmu kau matikan?”

“ Sibuk, Bu…,..hehe..”

“ Sibuk?? Sibuk apaan??”

“ Nikah..”

“ Apaaaa? Serius kauuu??”

“ Iyalah,..masa’ nikah-nikahan..”, jawabku sambil ngeloyor.

“ Eh.., Surya…, tunggu…tunggu!”

“ Kenapa, Bu? Mau ngasih Surat Peringatan? SP saja,..tak mengapa”

“ Bukan. Bukan itu. Emmmm…., …Rita?”

Aku agak kaget. Kok dia tahu?

“Kok, Ibu tahu?”

“ Hei..heii, Surya. Kau lupa ya? Aku bukan orang baru di sini”.

“ Oh, iya juga, ya. Kupikir ibu sudah lupa..”

“ Nggak, lah. Selamat, ya…dan berterima kasihlah padaku..”

“ Hehehe..tentu. Makasih banyak, Bu.”

Kurasakan. Hari ini semua terlihat begitu cerah.  Kubiarkan rekan-rekanku terbengong melihatku. Kuakui, selama tujuh tahun berlalu mereka tak pernah melihatku seceria ini.

***

Tamat

C.S.

Sunset: 8/6/16

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun