Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tertinggal Sunset

8 Juni 2016   18:48 Diperbarui: 8 Juni 2016   18:53 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namun, tak kusangka, ternyata Rita begitu hebatnya. Saat menyambutku di kantornya, sikapnya sungguh-sungguh tertata. Tak sedikit pun terbaca ada rasa gugup, canggung apalagi tatapan sisa-sisa rindu. Tunggu! Bahkan dia pun tak pernah sungguh-sungguh menatapku.

“ Pak Surya, selamat datang dan selamat bertugas. Maaf, sesuai instruksi kantor pusat, kami tidak menyediakan fasilitas hotel untuk menginap. Sudah ada gues house atau wisma perusahaan di sini ”.

“ Tak masalah Bu Rita. Terima kasih untuk sambutannya ”. Uggh! Bekerja keras, aku menahan debar di dada. Di sana berdenyut perih oleh rasa…, ah.., aku tak pantas kecewa. Rita, dia benar-benar tak lagi menganggapku siapa-siapa. Bukan mantan kekasihnya. Dia sanggup membunuh dan melupakan cinta yang dulu pernah ada. Tapi, bukankah itu adalah sikap yang benar? Aku saja yang sungguh bodoh, sekian lama masih saja terjebak dalam jurang rasa.

***

Secepat mungkin aku ingin menyelesaikan tugasku di sini. Tumpukan-tumpukan berkas yang harus kuselesaikan tak menjadikan penghalang. Terselip juga pengakuan, Rita memimpin kantor cabang ini dengan baik. Hampir tak ada masalah krusial yang kutemukan dalam operasionalnya di sini. Hari-hariku di sini jelas-jelas terisi dengan kesibukan tugas. Bahkan tak jarang, banyak berkas yang sengaja kubawa ke wisma untuk kuperiksa di sana. Sejauh mungkin, aku tak ingin bertemu dengan Rita di kantornya. Aku ingin seperti dia, harus bersungguh-sungguh mengubur rasa. Membuang dan melupakan segala kenangan yang pernah ada. Walaupun kuakui, aku sangat tersiksa dengan kenyataan ini.

Hampir seminggu keberadaanku di sini, praktis aku sangat jarang bertegur sapa dengannya, selain diskusi formal mengenai kondisi perusahaan. Hingga menjelang hari-hari terakhir menyelesaikan tugasku, Rita benar-benar mampu, menyikapi keberadaanku dengan biasa-biasa saja. Sedangkan aku, meski terlihat serupa, namun ternyata menahan kesepian jiwa. 

Seringkali aku menggugat diriku sendiri, yang tidak konsisten dalam berkomitmen. Bukankah dahulu, sejak kami memutuskan untuk berpisah, masing-masing berkeras hati untuk saling melupakan? Lalu, mengapa selama ini aku masih saja memelihara harapan? Lalu kecewa, dengan sikap Rita yang tidak menjadikan aku sebagai seseorang yang istimewa? Padahal, sikap Rita itulah sesungguhnya yang harus dilakukan. Aku telah tidak adil dalam menilainya. Dan sekarang, aku harus lebih bersungguh-sungguh berusaha untuk menerima kenyataan. Melupakan. Jangan sampai Rita tahu, kalau selama ini ternyata aku masih menyimpan semuanya di dada. Bukan. Bukan sekedar menutupi rasa malu ini jika itu terjadi. Tapi dari lubuk terdalam pun muncul keinginan agar semua ini tak mengganggu kenyamanan hidup Rita yang pasti telah meniti kebahagiaannya sendiri sekarang.

Sore tadi seharusnya adalah hari terakhirku bertugas di sini. Semua hasil audit telah kuselesaikan. Rita selaku pimpinan cabang pun sudah membubuhkan tanda tangan persetujuan. Di wisma, aku hampir saja usai mengepak seluruh barang yang kubawa, setelah men-scan laporan audit dan mengirimkannya ke kantor pusat via email, meski berlembar-lembar. Aku ingin segera pergi dari sini, terbang ke Jakarta dengan menutup rapat-rapat segala cerita, tentang Rita. Sebelum ketukan pintu itu memaksa aku untuk membukanya. Dia. Dia berdiri di sana. Meski tersenyum, namun kekerdilanku tetap memandangnya menjadi sosok yang angkuh, amnesia! Oh, lagi-lagi, aku tak boleh menilainya seperti itu. Rita bersikap apa adanya. Ramah tapi formal, seperti layaknya tuan rumah terhadap tamu dalam relasi kerja.

“ Selamat sore, Pak Surya. Kalau tidak keberatan, Saya ingin mengajak Pak Surya makan malam di luar. Bukankah sekarang saatnya rileks? ”

Cukup lama aku tertegun. Entah, apakah dia mampu menangkap rasa gundahku kali ini. Aku tak tahu lagi. Seharusnya dan bisa saja aku menolak dan mengatakan bahwa aku hendak pergi sekarang juga. Untuk menunjukkan, aku pun telah mampu melupakan dan menganggapnya bukan siapa-siapa. Tapi, apa bedanya sikapku itu dengan seorang pengecut yang melarikan diri? Semakin terlihat kalau aku masih tak mampu mengendalikan perasaan ini? Apalagi, apa yang dia lakukan adalah sebuah kebiasaan yang wajar selama ini. Menolaknya dapat saja dianggap tidak menghargai sambutan tuan rumah. Dan terus terang, lagi-lagi aku menipu hati kecilku. Selama ini aku berharap hal ini terjadi, meski hanya sekian menit saja nanti. Meski terakhir kali.

“ Tak usah terlalu merepotkan, Bu Rita. Hidangan di sini sudah cukup enak, kok”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun