Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Renjanaku (12) Home Sweet Home

3 Oktober 2025   18:00 Diperbarui: 3 Oktober 2025   18:10 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://asset-2.tribunnews.com/prohaba/foto/bank/images/ilustrasi-jatuh-cinta.jpg

"Semua ini adalah milik dan tanggung-jawabku juga sebagai anak mereka, tetapi mengapa aku tidak pernah merasa memilikinya? Aku termenung..."

Aku selonjoran di sofa TV sambil ngobrol dengan mama. Aku bercerita banyak soal Martha, Jenny, Rini dan juga pekerjaanku. Tiba-tiba aku tidak tahan lagi. Sambil menangis tersedu-sedu seperti anak kecil, aku memeluk mama sambil berkata, "ma, Ricky cape banget, stress.. uda bosen sama semuanya. Jenuh banget, gak tahan lagi"

Sudah lama sekali aku tidak menangis sebegitu hebatnya. Mungkin terakhir sewaktu dimarahi Papa gara-gara tidak mau kuliah ke Amerika. Mama terkejut melihat aku menangis di pelukannya. Beliau hanya bisa terdiam dalam herannya. "Wah, anak durhaka dan sombong ini ternyata bisa juga nangis lagi," mungkin begitu pikirnya. Namanya juga seorang ibu. Matanya kemudian berkaca-kaca lalu memelukku dengan erat.

Sambil menepuk-nepuk bahuku, beliau berkata, "ngak apa-apa Rick.. kalau kamu jenuh, ya sudah kamu berhenti saja. Ngapain juga kamu cape-cape, wong di sini saja banyak kerjaan. Kalo kamu nggak mau ikut papa ya ngurusin kebun kita. Kalau nggak cocok di kebun, kamu saja yang ngurusin bisnis mama. Lagian dari dulu kamu ditawarin nggak pernah mau. Sementara ini kamu nggak usah juga ngapa-ngapain, istrahat saja dulu, kamu di sini saja dan ini kan memang rumah kamu "

Aku terdiam, busett...ini memang rumahku. Pekerjaan yang mau diurusin di sini juga banyak sekali, kenapa aku tidak pernah selama ini merasakannya. Dan mengurusi bisnis keluarga sebenarnya adalah tanggung-jawabku juga sebagai anggota keluarga. Kenapa aku selama ini tidak pernah memikirkannya?

Sampai kapan aku membiarkan kedua orangtua ini harus memikulnya. Mereka sudah mulai menua. Semua ini adalah milik dan tanggung-jawabku juga sebagai anak mereka, tetapi mengapa aku tidak pernah merasa memilikinya? Aku termenung...

Untuk pertama kalinya, aku menyadari bahwa aku itu sebenarnya sangat dibutuhkan oleh keluargaku. Apa sebenarnya yang aku cari dalam perjalanan hidupku selama ini?

Aku toh belum kemana-mana juga. Belum Ke Nepal, Tibet, Amazon, tidak juga ke Karibia. Aku tidak pernah kemana-mana, dan aku tersesat dalam kesombonganku yang semu. Aku terlalu egois, hanya mementingkan kepentinganku sendiri, tanpa pernah mempedulikan keluargaku yang begitu baik kepadaku. Sangat memalukan!

Aku anak kedua dari tiga orang bersaudara. Kakakku Tommy dan adikku Clara yang baru saja selesai menjadi dokter umum. Sebenarnya tanggung-jawab mengurusi bisnis keluarga tidak harus bebanku melulu sendiri.

Clara selama ini selalu membantu mama mengurus bisnisnya. Namun setelah ia mengikuti koskap, praktis Clara lebih banyak berkutat di rumah sakit. Ia bahkan sering tidak pulang ke rumah kalau dapat jadwal jaga malam. Setelah selesai wisuda dan menjalani internship, barulah Clara bisa membantu mama.

Namun mama selalu mendesak Clara untuk mengambil program spesialis. "Mumpung kamu masih muda dan semangat, ntar kalau sudah married, repot kan belajar sambil mikirin anak dan suami?" kata mama kepada Clara.

Aku hanya tertawa saja,"bukannya lebih enak kawin dulu, punya anak, baru sekolah?" kataku sekenanya.
"Halah, kawin, kawin. Enaknya cuma sebentar doang, yang ianya banyak repotnya. Udah bener itu sekolah dulu. Soalnya dua tahun pertama jadi Residen itu berat sekali, ntar tahun ketiga baru dipikirin kawinnya."

Aku kaget mendengar jawaban mama. Ini ibu zaman now. Kalau ibu zaman old, anak sudah selesai sekolah dan sudah kerja, langsung disuruh cepat-cepat kawin supaya bisa ngasi cucu.

Kebetulan mamaku ini seorang dokter umum. Dulu mama bercita-cita menjadi seorang dokter Obgyn, tapi tidak kesampaian.

Menikah, punya tiga anak, tidak disupport kedua keluarga, plus papa masih baru meniti karir di pekerjaannya membuat mama kemudian melupakan impiannya.

Biaya sekolah spesialis sangat mahal, plus dokter yang sekolah tidak bisa bekerja, yang tentunya tidak ada pendapatan. Tanpa disupport keluarga, mustahil bisa menjadi dokter spesialis. Kecuali dokter tadi punya warisan atau tabungan jumbo...

Mama lalu memilih menjadi dokter Puskesmas dan kami tinggal di rumah dinas dokter. Papa awalnya tidak mau karena malu kepada keluarganya, tapi mama ngotot karena tinggal di rumah dinas itu gratis. Jadi mereka tidak perlu keluar duit untuk sewa rumah.


Pagi mama bekerja di puskesmas, sore hingga malam praktik di klinik. Kata papa, seluruh biaya hidup kami ditanggung oleh mama. Mama bahkan masih bisa menyicil dua unit ruko untuk kliniknya. Sedangkan seluruh gaji dan bonus papa ditabung untuk modal usaha kelak.

Lima tahun bekerja papa kemudian resign dan memulai bisnis baru. Setahun kemudian kami pindah dari rumah dinas dokter ke rumah yang baru. Mama juga kemudian resign dari puskesmas. Aku masih SD ketika itu. "Mobil lu keren banget, lu anak orang kaya ya?" kata tetangga baruku...

Tommy sedari awal kuliah dan bekerja di Amerika. Papa kemudian menyuruhku untuk menyusul Tommy, tapi aku tak mau. Tommy anak baik, sangat mandiri dan ulet. Nasibnya selalu saja bagus. Tahun lalu Tommy ditempatkan perusahaannya di Singapura. Aku tahu, sama seperti papa, Tommy juga mencari "jam terbang" dengan bekerja sebagai pegawai di perusahaan tempatnya bekerja. Pada akhirnya ia akan memulai bisnisnya kelak.

Tommy telah menikah dan mempunyai sepasang anak kembar. Isterinya cantik, sangat baik dan ramah. Ia memang lelaki beruntung. Jadi memang tidak ada alasan bagi Tommy untuk bekerja di perusahaan keluarga saat ini. Apalagi karirnya sedang bagus-bagusnya.

Sekalipun Tommy sibuk, setidaknya lima sampai enam kali dalam setahun ia pulang dan menginap di rumah bersama keluarganya. Tommy memang beruntung, ia sudah berhasil sementara aku, Jomblo, prihatin dan kere. Hiks!

Hampir sebulan ini aku tinggal di rumah, dan aku balik lagi ke kamarku yang dulu. Hanya sesekali aku ke apartemenku. Tinggal sejenak di rumah ternyata membuat perubahan besar dalam hidupku. Waktuku kini lebih banyak kuhabiskan bersama keluargaku. Ngobrol dengan Papa, Mama, juga dengan Clara bersama Randy pacarnya. Aku benar-benar sangat menikmatinya.

 

Kemarin Tommy datang dengan keluarganya. Bertemu dengan Tommy merupakan hal yang luar biasa bagiku. Dulu aku tidak akrab dengannya, bahkan terkadang membencinya.

Ia selalu lebih dariku. Lebih pintar, lebih cakep, lebih memikat, lebih beruntung dan entah kenapa, uangnya selalu lebih banyak dariku. Aku cemburu kepadanya, terkadang ada kesan aku berusaha mencoba untuk melebihi dia dengan caraku sendiri, dan biasanya hal itu malah memperburuk keadaan.

Namun kali ini, kami ngobrol dengan enak dan saling menghormati. Tidak ada sedikitpun perasaan merendahkan atau menggurui dari Tommy. Aku merasakan perhatian dari seorang saudara yang benar-benar sayang kepadaku, dan aku sangat terkesan dengannya. Untuk pertamakalinya aku benar-benar sayang dan menaruh hormat pada Tommy. I love you bro...

Satu perubahan yang kurasakan, aku sekarang lebih tenang dan lebih percaya diri karena merasa ada keluarga yang akan selalu mendukungku. Ini membuat "egoku" sebagai lelaki benar-benar telah kembali, membuatku tidak perlu takut kepada siapapun, kecuali barangkali kepada.. suster ngesot.

Aku sudah benar-benar muak dengan Rini. Ia terus mencari-cari kesalahanku, terutama perihal kontrak penjualan yang gagal kemarin. Padahal aku sudah mencoba menjelaskannya secara detail, tetapi ia mengabaikannya. Secara terang-terangan, ia menyindirku dengan mengatakan bahwa aku menghamburkan waktu dan dana perusahaan demi ambisiku mengharapkan komisi penjualan.

Padahal ini pekerjaan kolektif, bukan hanya aku saja yang bekerja untuk kontrak penjualan tersebut. Tetapi semua terdiam, tidak ada yang membelaku, dan untuk setiap masalah, harus ada yang dipersalahkan. Ini sudah keterlaluan, untuk hal ini aku rasa sudah cukup. Aku tidak betah lagi di sini, aku tinggal mencari momen yang pas, bila perlu diusahakan saja!


(Bersambung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun