Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

"Paradoks" Belanda dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia

14 Januari 2022   10:40 Diperbarui: 28 Januari 2022   03:52 5012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim sepak bola Hindia Belanda di bawah Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), bertanding di Manila pada 1934, dalam Far Eastern Championship Games ke-10. (Dok. KITLV Leiden, via twitter.com/mazzini_gsp)

Beberapa tahun sesudah diadakan kompetisi antar Federasi oleh etnis Eropa, etnis keturunan China di pulau Jawa juga membuat kompetisi yang serupa, namun diikuti oleh klub Sepak Bola komunitas mereka sendiri yang menjuarai Kompetisi pada setiap kota dan biasanya diadakan pada akhir pekan Paskah.

Kompetisi ini hanya boleh diikuti oleh Klub etnis keturunan China dan para Pemainnya juga haruslah etnis keturunan China. Juara kompetisi ini menerima Trofi Piala yang disumbang oleh pengusaha keturunan China, hingga dibentuk Comite Kampioen Wedstrijden Tiong Hoa (CKTH) sebagai Organisasi Kompetisi pada 1927. Dari CKTH ini, dibentuklah Federasi Sepak Bola untuk Klub keturunan China di Jawa dengan nama Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB).

Pada saat kompetisi NIVB atau setelah NIVU berdiri, ketika HNVB telah bergabung ke dalam NIVB, klub-klub etnis keturunan China sering memenangi kejuaraan dibawah Federasi. Karena Klub etnis Eropa menitik beratkan pada pengorganisasian, bukan memenangi Kejuaraan seperti tujuan Klub etnis China.

Klub UMS menjuarai kompetisi di Batavia pada musim 1932-1933, dan klub etnis China beberapa kali menjuarai Kompetisi di bawah Federasi Surabaya. Mereka bahkan menjadi juara dalam kejuaraan Sepak Bola antar Klub-klub di Pulau Jawa. CSC juga menjuarai kompetisi Federasi Oost Sumatra (Sumatera Timur) pada 1936.

Klub-klub etnis keturunan China di Federasi lain juga menjuarai Liga mereka masing-masing di beberapa kota seperti Buitenzorg (Bogor), Cirebon, Yogyakarta, Malang, Semarang, Sukabumi, dan Tegal. Hanya di Bandung saja yang tidak ada satupun Klub etnis China yang pernah menjuarai Kompetisi Federasi.

Sedangkan untuk Kompetisi antar Federasi (Bond) versi Pribumi, pertama kali berlangsung pada 1930, setelah berdirinya Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) di Yogyakarta. Kompetisi Pribumi ini hanya boleh diikuti oleh etnis pribumi, sama halnya dengan kompetisi etnis keturunan China. Kompetisi inilah yang menjadi cikal bakal Kompetisi Perserikatan di era Federasi PSSI dan setelah Kemerdekaan Indonesia, hingga selanjutnya melahirkan Kompetisi Semi-Profesional dan Kompetisi Sepak Bola Profesional Indonesia seperti di era Sekarang.

Adapun bond pribumi kebanyakan mengambil nama Bond dari nama wilayahnya, seperti Cahaya Kwitang, Sinar Kernolong, atau Si Sawo Mateng. Sebagai contoh dari pembentukan Bond Pribumi di Hindia Belanda, pada 1928 dibentuk Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ). Pendirian VIJ adalah sebagai akibat dari diskriminasi yang dilakukan NIVB.

VIJ sendiri pernah keluar sebagai juara di Kejuaraan PSSI ke-3 pada 1933. Sebelumnya, di Batavia sendiri bahkan sudah dibentuk Persatuan Sepak Bola Djakarta (Persidja) pada 1925. Menysul kemudian pembentukan Bond-bond Pribumi yang lain di berbagai kota di Hindia Belanda.

PSSI sendiri, berdiri pada  19 April 1930 dengan nama awal Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia sebelum akhirnya berganti nama menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Ketua umum pertamanya adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo. PSSI bergabung dengan induk Federasi Sepak Bola Bunia, FIFA, pada 1952, dan Federasi Sepak Bola Asia, AFC, pada 1954, setelah bubarnya NIVU yang sudah berganti nama menjadi ISNIS, dan juga setelah diakuinya Kemerdekaan Indonesia oleh PBB.

Pendiri PSSI, Soeratin Sosrosoegondo, adalah seorang Insinyur Teknik Sipil. Soeratin menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada 1927. Pada 1928, ketika Soeratin kembali ke Tanah Air, ia bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berkantor pusat di Yogyakarta. Di sana, Soeratin merupakan satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan Komisaris Perusahaan Konstruksi tersebut. Namun karena dorongan semangat Nasionalisme yang tinggi, dia kemudian memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut.

Setelah berhenti dari Sizten en Lausada, Soeratin lebih banyak aktif di Pergerakan. Sebagai seorang yang gemar bermain Sepak Bola, dia menyadari kepentingan pelaksanaan butir-butir keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para Pemuda Indonesia pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Soeratin, melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai Nasionalisme di kalangan Pemuda sebagai sarana untuk menentang kuasa Kolonial Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun