Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

"Paradoks" Belanda dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia

14 Januari 2022   10:40 Diperbarui: 28 Januari 2022   03:52 5013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim sepak bola Hindia Belanda di bawah Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), bertanding di Manila pada 1934, dalam Far Eastern Championship Games ke-10. (Dok. KITLV Leiden, via twitter.com/mazzini_gsp)

Sejarah Sepak bola di Indonesia, bisa kita lacak lebih jauh setidaknya sebelum era Kemerdekaan, yaitu ketika Negeri ini masih dikenal dengan nama Hindia Belanda. Belanda sebagai Negara Kolonial, yang saat itu menjadi salah satu Negara yang punya cukup banyak wilayah Koloni, bisa dibilang cukup berjasa dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan Sepak Bola. Setidaknya di wilayah koloninya, termasuk diantaranya Hindia Belanda (Indonesia).

Karena Sepak Bola sendiri dalam sejarahnya, memang lebih dulu terkenal dan banyak diminati di wilayah Eropa, sebelum akhirnya menyebar luas ke seluruh penjuru dunia. Jika kita bicara peran Negara-negara Kolonial dalam memperkenalkan Sepak Bola, mungkin tidak hanya Belanda saja. Karena ada banyak Negara Kolonial yang saat itu punya banyak wilayah koloni, baik di Benua Amerika, Afrika, maupun Asia. 

Selain Belanda, Negara-negara Kolonial semacam Inggris, Prancis,  Portugal, dan Spanyol, saat itu juga punya banyak wilayah koloni di luar Benua Eropa. Negara-negara Kolonial ini, ternyata punya andil yang cukup besar dalam memperkenalkan dan menyebar luaskan Sepak Bola. Meskipun sebenarnya, jejak-jejak tentang Olah Raga Permainan Bola Kaki sudah muncul di Nusantara (Indonesia) dan wilayah Asia Tenggara lainnya, setidaknya sejak akhir abad 11. 

"Sepak Bola Purba" ini muncul di dalam Kebudayaan Melayu dengan nama Sepak Raga. Robert Crego, dalam buku Sports and Games of the 18th and 19th Centuries (hal 29-31), menuliskan, bahwa Marco Polo pernah mengklaim sebagai Orang pertama yang memperkenalkan Sepak Raga di Asia Tenggara, permainan ini sendiri dibawanya dari wilayah China.

Kemudian, hingga awal abad 20, mulailah diperkenalkan net yang memisahkan dua area untuk masing-masing regu dalam Permainan ini. Sepak Raga, dimainkan oleh sekelompok orang dalam posisi melingkar, satu sama lain menyepak sebuah benda (semacam bola) di udara.

Menurut Anthony Reid, dalam buku Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, khususnya pada bab Pesta Keramaian dan Dunia Hiburan, dituliskan bahwa Permainan ini dimainkan di Birma (Myanmar), Siam (Thailand), Vietnam Selatan, Filipina, dan wilayah Nusantara (Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei).

Di wilayah-wilayah tersebut, Sepak Raga dimainkan dengan cara yang hampir mirip, yaitu beberapa orang membentuk formasi melingkar, lalu memainkan bola satu sama lain agar bolanya tetap melayang di udara dengan cara menyepaknya dengan kaki, lutut atau paha. Bola terbuat dari Rotan Laut yang mirip Keranjang kecil berbentuk bulat.

Anthony Reid juga menuliskan, di masa itu Sepak Raga tidak untuk dipertandingkan. Sepak Raga ditujukan untuk memajukan ketangkasan dan untuk melatih Tubuh, mengembalikan kelenturan punggung serta tulang tungkai yang pegal karena duduk, membaca, menulis atau bahkan bermain (sejenis) catur. 

Dan masih menurut Reid, kesenenangan masyarakat di Asia Tenggara akan Permainan salah satunya dimungkinkan karena iklim yang bersahabat, dan makanan yang cenderung lebih mudah didapatkan dibanding di belahan dunia lainnya. Mereka boleh jadi memiliki waktu senggang yang lebih banyak untuk dimanfaatkan dengan penghiburan, saling bernyanyi, bermain dan menggelar pesta-pesta.

Adapun Kitab yang berjudul Sejarah Melayu yang ditulis pada 1612, telah melaporkan keberadaan permainan Sepak Raga di masa pemerintahan Sultan Alauddin, sekitar abad 13 (1477-1488). Kitab tersebut menuliskan pujian untuk seorang bangsawan Maluku yang mempertontonkan kebolehannya bermain Sepak Raga saat mengunjungi Malaka.

Kutipannya sebagai berikut: ".....Ada pun akan Raja Maluku itu terlalu tabu bermain sepak raga. Maka segala anak tuan-tuan bermainlah dengan... Raja Maluku. Satelah raga datang kepadanya, maka disepaknya sa-rutus.. dua rutus (kali) maka barulah diberikannya kapada orang lain: maka pada barang siapa hendak diberikannya raga, maka ditunjukkannya tiada salah lagi. Satelah itu maka ia pun dudok di atas kursi merentikkan lelah-nya......"

Di sekitar akhir abad 11 pula, Sepak Raga sudah punya sebutan tersendiri di beberapa wilayah di Asia Tenggara. Seperti di pulau Luzon, Filipina, Sepak Raga disebut Sipa. Di Birma (Myanmar), Sepak Raga disebut Chinfhon. Sementara dalam bahasa Thai disebut Takraw. Takraw inilah yang menjadi cikal bakal nama resmi salah satu jenis Permainan Bola Kaki di era sekarang, yaitu Sepak Takraw. Takraw sendiri dalam bahasa Thai berarti "bola anyaman". 

Sementara dalam Kebudayaan Melayu, persamaan istilah untuk Takraw sebagai objek yang ditendang dan disepak disebut Raga. Meskipun secara format permainan sangat berbeda dengan Sepak Bola yang kita kenal saat ini, Sepak Raga setidaknya menjadi bukti bahwa Bangsa Asia Tenggara, khususnya Indonesia, sudah punya "Bekal"pengetahuan terhadap Olah Raga Permainan Bola Kaki sebelum akhirnya Bangsa Eropa memperkenalkan Olah Raga Sepak Bola.

Di kemudian hari, Sepak Raga, sebagai permainan dalam Olah Raga yang sudah lama dikenal di Indonesia, dijadikan dasar oleh Soeratin Sosrosoegondo dalam Penamaan Olah Raga Sepak Bola di awal pendirian PSSI. Soeratin, ketika awal pendirian PSSI pada 1930, menjadikan nama Sepak Raga sebagai nama Olah Raga Bola Kaki modern, untuk menggantikan istilah sebelumnya yaitu Voetball yang diambil dari Bahasa Belanda.

Kembali lagi ke Sepak Bola. Karena disini, Saya juga akan mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan Sejarah Sepak bola di era Indonesia modern. Terutama tentang bagaimana awal mula Sepak bola "masuk" dan diterima sebagai Olah Raga yang populer di Indonesia hinnga era sekarang. 

Belanda, sebagai negara Kolonial yang pernah menjajah negeri ini, ternyata memang punya peranan penting dalam memperkenalkan Sepak Bola. Belanda, bahkan punya peran penting lainnya dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia karena telah membuat pondasi dalam hal pembentukan Klub, Federasi, dan Penyelengaraan Kompetisi, di awal-awal masuknya Sepak Bola ke negeri Ini.

Pemerintah Hindia-Belanda, yang pada faktanya adalah Kepanjangan Tangan dari Kementerian Urusan Tanah Jajahan Kerajaan Belanda  (Ministerie van Kolonin), adalah representasi Belanda sebagai Negara Kolonial, yang punya peranan penting dalam memperkenalkan dan melahirkan Sepak Bola di wilayah Jajahannya.

Di Hindia Belanda sendiri, Orang-orang Belanda yang menggemari Sepak Bola, baik yang lahir di Belanda atau di Indonesia, juga punya andil dalam  menciptakan serta mengembangkan Embrio Sepak Bola di Hindia Belanda. Selain "Jasa-jasa" Belanda dalam melahirkan Sepak Bola di Hindia Belanda (Indonesia), saya juga akan mencoba menggambarkan bagaimana Diskriminasi dan Rasisme dalam Sepak Bola di Hindia Belanda. Apalagi sebagai Negara Kolonial yang sedang menjajah, Belanda juga punya andil besar Terhadap Diskriminasi dan Rasisme di Hindia Belanda.

Dalam Sejarahnya, lahirnya Perkumpulan dan Klub Sepak Bola di Hindia Belanda sendiri, dilatar belakangi oleh mulai banyaknya Klub-klub Sepak bola yang Lahir di Eropa sekitar Abad 18. Hegemoni Negara-negara Eropa yang saat itu sedang "keranjingan" membentuk klub-klub Sepak Bola, terasa hingga ke wilayah Negara Jajahannya seperti Hindia Belanda.

Bahkan di Tahun 1900-an, mulai muncul banyak Federasi di daerah dan juga Bond (Perserikatan) di Hindia Belanda. Bond adalah sebuah Perhimpunan Sepak Bola yang terbentuk dari Klub-klub Kecil, yang kemudian berhimpun lagi untuk membentuk Klub-klub Besar.

Beberapa Federasi dan Bond (Perserikatan) kemudian Lahir di banyak Kota di Hindia Belanda, beberapa diantaranya adalah Solosche Voetbal Bond (SVB), Voetbalbond Semarang en Omstreken (VSO), Voetbalbond Batavia en Omstreken (VBO), Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB), Voetbal Bond Djokja en Omstreken (VBDO), Voetbal Bond Blitar (VBB), Voetbal Bond Bandoeng en Omstreken (VBBO), Voetbalbond Malang en Omstreken (VMO), Voetbalbond Cheribon en Omstreken (VCO), Makassarsche Voetbalbond (MVB), Voetbalbond Padang en Omstreken (VPO), Voetbalbond Hollandia en Omstreken (VHO), Voetbalbond Manado en Omstreken (VMO), Ambonsche Voetbal Bond (AVB), Bandjarmasinche Voetbal Bond (BVB), Madioensche Voetbal Bond (MVB), Pidie Voetbal Bond (PVB), dan lain-lain.

Dan pada 20 April 1919, empat Bond (Perserikatan) dari beberapa kota terpenting di Pulau Jawa, yaitu Batavia, Bandung, Semarang, dan Surabaya, membentuk Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB). Sebagai Induk Organisasi Sepak Bola Pertama di Hindia Belanda, Statuta NIVB diakui pertama kali oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 20 Oktober 1919. 

Selanjutnya, NIVB diangkat sebagai salah satu Anggota FIFA pada 15 April 1924, dan untuk kemudian disahkan sebagai Anggota Resmi pada 24 Mei 1924. Kemudian dalam perjalanannya, jumlah Bond (Perserikatan) yang bergabung kedalam NIVB meningkat setiap tahunnya.

Di kemudian hari, konflik dan kebangkrutan yang terjadi di dalam tubuh NIVB, memunculkan pergolakan diantara para Anggotanya. Konflik ini bermula pada 16 Mei 1932, ketika NIVB mengadakan pertemuan di Surabaya dan mengangkat Willem van Buuren, seorang Notaris dari Surabaya, sebagai Presiden NIVB menggantikan Dijk Veenman. Willem yang merupakan mantan Presiden Federasi Batavia (WJVB) dan juga mantan Presiden Klub Vios Meester Cornelis, kemudian memindahkan kepengurusan NIVB ke Surabaya.

Konflik dalam tubuh NIVB sendiri semakin membesar bak bola salju, setelah VBO (sebelumnya bernama WJVB) dengan tegas menolak perubahan sitem Kompetisi Stedenwedstrijden. Stedenwedstrijden mengharuskan setiap klub bermain di Partai Kualifikasi dalam Liga Mini Daerah, sebelum mendapat kesempatan untuk maju ke Babak Final Kompetisi yang berisi 4 tim pemenang di Liga Mini Daerah. VBO pun akhirnya mundur dari kompetisi ini pada 10 Desember 1933.

Dan pada rapat umum NIVB di Bandung 23 Desember 1933, NIVB memutuskan untuk membekukan VBO. Hanya Federasi dari Buitenzorg (Bogor) yang tidak mendukung pembekuan ini dalam votingnya, sementara Federasi Sukabumi memilih untuk Abstain. Pada akhirnya, Sukabumi juga memilih untuk ikut mundur dari NIVB dan membuat kompetisi antar kota tandingan pada 31 Maret 1934, bersama VBO dan Bandoeng Voetbal Unie (BVU). 

Bandoeng Voetbal Unie (BVU), merupakan Federasi tandingan dari Federasi resmi Bandung yang diakui oleh NIVB, yaitu Bandoeng Voetbal Bond (BVB). Beberapa Federasi lain seperti VSO Semarang, dan bahkan BVB Bandung, ikut menyusul untuk mengundurkan diri dari NIVB. Hingga bulan Juni 1935, hanya tinggal 5 anggota Federasi kota, yaitu Surabaya , Malang, Yogyakarta, Solo, dan Tegal di dalam keanggotaan NIVB.

Pada saat bersamaan, dibentuklah Federasi Sepak Bola Regional bernama West Java Voetbal Federatie (WJVF). WJVF kemudian mengadakan kompetisi Stedenwedstrijden di Batavia, bersama Federasi Batavia (VBO) dan Surabaya, yang diwakili oleh Soerabajasche Voetbal Unie (SVU), SVU sendiri merupakan federasi tandingan dari Surabaya. Selain WJV, VBO, dan SVU, Bandoeng Voetbal Bond en Omstreken (BVBO) yang merupakan hasil penggabungan antara BVB dan BVU, juga ikut bergabung.

Pada kompetisi ini, VBO, SVU, BVBO, Buitenzorg, dan Sukabumi, membentuk Nederlandsch-Indische Voetbal Unie (NIVU). Kemudian pada dua minggu setelah pembentukan NIVU, SVB dan SVU ikut bergabung di dalamnya. Dan seluruh klub SVU kemudian kembali berada di bawah SVB yang telah menjadi anggota NIVU. Lalu pada akhir Juli 1935, NIVB resmi dibubarkan dan digantikan dengan NIVU.

Teddy Kessler dan Leo Lopuisan, diangkat menjadi Ketua pertama dalam Induk Organisasi Sepak Bola Hindia Belanda yang ke dua ini.  NIVU kemudian secara resmi bergabung dan diakui sebagai anggota FIFA pada bulan Mei 1936. Keanggotaan NIVU sendiri tidak hanya sebatas Federasi-federasi dari Pulau Jawa, namun mencakup hampir seluruh wilayah dan Pulau di Hindia Belanda.

Kemudian setelah peresmiannya, NIVU juga memperkenalkan Format kompetisi baru di Persepakbolaan Hindia Belanda waktu itu. Format Kompetisi dengan sistem Promosi dan Degradasi, di mana tim terakhir harus melalui Kualifikasi untuk bertanding di Stedenwedstrijden tahun berikutnya.

Tercatat, sejak 1914 hingga 1950, di Hindia Belanda sendiri Turnamen antar Perserikatan (Bond) sudah banyak digelar. Ada sebanyak 29 kali Gelaran Turnamen antar Perserikatan yang digelar, baik ketika sebelum era NIVB hingga di era NIVU dan ISNIS.

Dari 29 kali Gelaran Turnamen antar Perserikatan ini, Voetbalbond Batavia en Omstreken (VBO) adalah peraih Gelar Juara terbanyak yaitu 12 kali. Peraih Gelar Juara terbanyak ke dua adalah Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB) dengan Raihan 11 kali Gelar Juara. Di urutan ke tiga ada Voetball Bond Bandoeng en Omstreken (VBBO) dengan Raihan 3 Gelar. Sedangkan di tempat ke empat dengan Raihan 1 kali Gelar Juara, adalah Voetbalbond Semarang en Omstreken (VSO) dan Voetball Bond Blitar (VBB) serta VDDO.

Sedangkan sebelum era Kompetisi Perserikatan Hindia Belanda, pada 1910 pernah diadakan turnamen Sepak Bola yang bernama Droogdokbeker di Batavia, yang kebanyakan diikuti oleh para Tentara di Hindia Belanda, baik dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) maupun Koninklijk Leger (KL) . Turnamen ini sempat terhenti akibat seorang Perwira mengeluarkan peraturan yang melarang para Tentara yang bertanding melawan Tentara yang berbeda Pangkat.

Dan untuk Kompetisi Sepak Bola Lokal di Hindia Belanda, pertama kali diadakan di Surabaya pada 1902, lalu di Batavia pada tahun 1904, dan di Medan pada 1907. Namun akibat seringnya terjadi perselisihan yang berbuntut perpecahan di antara Klub dan Pejabat, membuat Kompetisi dan Federasi Sepak Bola lokal yang sudah berjalan sering dihentikan dan kemudian dibubarkan.

Di era NIVU, Hindia Belanda bahkan pernah menjadi kontestan Piala Dunia di Prancis pada 1938. Ini sekaligus menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Kontestan Piala Dunia pertama dari Asia yang pertama. Saat itu ada 3 induk Federasi Sepak Bola di Hindia Belanda, yaitu NIVU, PSSI (Federasi Sepak Bola Pribumi) dan HNVB (Federasi Sepak Bola etnis China). Dan yang diakui oleh FIFA saat itu hanyalah NIVU.

Kemudian sejak kedatangan tentara Jepang dari 1942-1945 praktis NIVU pun bubar. Namun, setelah Jepang menyerah, pada 1945-1950 NIVU kembali lagi dengan nama ISNIS. Setelah tahun 1950, dengan diakuinya Kemerdekan Indonesia oleh PBB, maka FIFA pada tahun 1952 mengakui PSSI sebagai induk Organisasi Sepak Bola di Indonesia.

Jika kita mau melacak lebih mundur lagi, Pada 16 November 1887, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pernah mendirikan sebuah Klub Olah Raga di Kota Medan, dengan Nama Gymnastiek Vereeniging. Di dalam Gymnastiek Vereeniging  sendiri, selain Tim Sepak Bola juga ada Tim Kriket. Pada Waktu itu, Kriket adalah Olah Raga yang lebih terkenal dari Sepak Bola.

Selain Tim Sepak Bola dan Tim Kriket, Gymnastiek Vereeniging sendiri punya Tim Tenis, Tim Senam, dan Tim Atletik. Tim Sepak Bola di Klub Gymnastiek Vereeniging inilah yang tercatat dalam sejarah, sebagai klub Sepak Bola pertama di Hindia Belanda.

Pada awal 1890-an, Gymnastiek Vereniging tercatat pernah menjamu Sebuah Klub Olah Raga dari Penang (Malaysia) untuk Pertandingan Sepak Bola dan Kriket. Pertandingan Kriket diadakan di pagi hari dan di menangkan oleh Tim Penang, sedangkan untuk Sore harinya dilanjutkan dengan Pertandingan Sepak Bola yang menuai hasil seri.

Lalu pada Februari 1893, Klub asal Penang itu berkunjung kembali ke Medan untuk melakukan Pertandingan kembali dengan Gymnastiek Vereeniging. Namun, Klub asal Penang tersebut berhasil memenangkan dua Pertandingan Sepak Bola dengan skor 7-0 dan 4-2. Dan kemudian, kegiatan Sepak Bola dalam Gymnastiek Vereeniging berhenti, sebagian dikarenakan munculnya sebuah Klub Sepeda bernama Deli Wielrders Club pada 1893.

Setelah berdirinya Klub Gymnastiek Vereniging, belum ada catatan yang jelas lagi tentang kegiatan Sepak Bola besar di Hindia Belanda, setidaknya hingga 1899. Karena di Tahun yang sama pada Tanggal 1 Juni, berdiri sebuah klub Sepak Bola lain asal Medan dengan Nama Oostkust Sport Club Sumatra (OSCS) di Medan, yang biasa disebut Sport Club atau SOK. Dan berikutnya, pada1928 berdiri pula Klub Olah Raga lain di Pulau Sumatera, yaitu Sport Vereniging Minang (SVM), di Kota Padang.

Sementara di Pulau Jawa, dalam catatan Sejarah, Sepak Bola Pertama kali Muncul Ketika Bataviasche Cricket-Football Club "Rood-Wit" didirikan pada 28 September 1893 di Batavia (Sekarang Jakarta). Rood-Wit, adalah Klub Olah Raga yang di dalamnya juga terdiri dari Tim Sepak bola dan Tim Kriket. Rood-Wit kemudian secara resmi diakui statusnya pada bulan Mei 1894  oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Dan kemudian di Tahun 1894 juga, John Edgar dan Kawan-kawan mendirikan Sebuah klub  dengan Nama Victoria, di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya. Lalu ada juga Sparta, Klub yang juga dari Kota Surabaya ini berdiri pada Tahun  1895, setahun setelah kelahiran Victoria. Victoria sendiri melakukan Pertandingan pertamanya kontra Sparta Pada Bulan Juni 1896, dengan skor akhir 6-1 untuk kemenangan Victoria.

Pada awal kehadirannya, Sepak Bola memang belum terlalu banyak diminati oleh kebanyakan Warga Hindia Belanda sendiri. Selain karena bukan menjadi Olah Raga yang paling populer, Sepak Bola pada awalnya hanya dimainkan oleh Kaum Kasta teratas dalam Struktur Sosial Masyarakat di Hindia Belanda.  Hal ini juga didasari oleh sikap Pemerintah Kolonianl di Hindia Belanda sendiri terhadap Penduduk Pribumi.

Menurut Raymond Kennedy, Kolonialisme Belanda memiliki ciri pokok yang diantaranya adalah membeda-bedakan Warna Kulit, dan jarak Sosial yang jauh antara Bangsa Terjajah dengan Penjajah. Ini tercermin dalam Stratifikasi Sosial yang ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Stratifikasi Sosial tersebut antara lain adalah, Golongan pertama yaitu Orang Belanda dan Orang Eropa (Kulit Putih). Sementara Golongan kedua adalah Orang Timur Asing (Arab, Tionghoa, India, dll). Dan di Golongan Ketiga barulah Orang Pribumi. Pembagian Golongan dan Kasta yang berdasarkan Ras, Suku Bangsa, dan Warna Kulit pada Penduduk Hindia Belanda ini, juga disahkan melalui Undang-Undang Article 163 Indische Staatsregeling.

Pembedaan Golongan Kelas Sosial berdasar warna kulit tersebut, diikuti pula dengan pembedaan hak dan kewajiban yang diterima. Hal ini bertujuan untuk menjaga prestise Pemerintah Kolonial dengan menciptakan Superioritas Orang Kulit Putih dan Inferioritas Kaum Pribumi. Dari sini, kita bisa membayangkan bagaimana Kesenjangan Sosial dalam kehidupan Masyarakat Hindia Belanda yang juga bisa kita dapati dalam Kegiatan Olah Raga, termasuk Sepak Bola.

Sebagai imbas dari stratifikasi sosial tersebut, lahirlah diskriminasi. Diskriminasi, ada di berbagai sektor kehidupan Masyarakat Pribumi di Hindia Belanda, termasuk juga di Sepak Bola. Bagaimanapun, ini merupakan sebuah ironi, karena pada awal kehadirannya di dunia, Sepak Bola dimaksudkan Sebagai Olah Raga Kolektif yang tak mengenal Latar Belakang dan Kelas Sosial.

Politik Kelas atau Golongan yang dianut oleh Kolonial Belanda pada waktu itu juga berdampak pada Sepak Bola. Beberapa klub yang didirikan oleh etnis tertentu hanya boleh diisi oleh Pemain yang berasal dari etnisnya. Hal ini berdampak pada munculnya Klub Sepak Bola bangsa Eropa, Klub Sepak Bola bangsa keturunan China, dan Klub Sepak Bola Bangsa Pribumi.

Karena setiap etnis melarang pertandingan antar etnis, maka muncullah Klub, Federasi, dan versi Kompetisi Sepak Bola yang berbeda pula untuk setiap etnis tersebut. Akan tetapi pada awalnya, justru hanya kompetisi buatan bangsa Eropa-lah yang mengizinkan pertandingan antar etnis ataupun mengizinkan klub mereka diisi oleh etnis selain Eropa.

Klub-klub yang didominasi oleh Bangsa Eropa asli dan sebagian kecil Bangsa Keturunan (Indo) dan pribumi yang berkompetisi dalam Turnamen Lokal di beberapa kota besar di Jawa, kemudian membentuk Federasi Sepak Bola kota yang mewakili keseluruhan Klub dari masing-masing kota.

Pada akhirnya mereka membuat sebuah Kompetisi antar Federasi yang mewakili Klub-klub kota asal Peserta. Turnamen sepak bola antar Federasi kota pertama yang diadakan diwakili oleh Federasi empat kota besar di Jawa, yaitu Batavia, Surabaya, Bandung, dan Semarang, yang dilangsungkan pada akhir bulan Agustus 1914 di Semarang, dengan nama Koloniale Tentoonstelling.

Pemenang dari turnamen ini adalah Federasi sepak bola Batavia (WJVB). Pemegang trofi pertama kompetisi ini adalah Kapten Kesebelasan Federasi Batavia, yaitu Ben "Jos" Stom yang merupakan mantan Pemain Tim Nasional (Timnas) Belanda, dan pemegang rekor penampilan pertama kali bersama Timnas Belanda dengan 9 penampilan.

Turnamen antar Federasi kembali digelar setiap tahun di tempat yang berbeda. Setahun setelah Turnamen pertama yang diadakan di Semarang, tahun berikutnya diadakan turnamen dengan nama Koloniale Tentoonstelling-Beker di Batavia. Pada turnamen ini,  WJVB masih diperkuat oleh Ben "Jos" Stom, walau trofi juara kemudian hilang karena dicuri pada Kompetisi kedua ini.

Beberapa tahun sesudah diadakan kompetisi antar Federasi oleh etnis Eropa, etnis keturunan China di pulau Jawa juga membuat kompetisi yang serupa, namun diikuti oleh klub Sepak Bola komunitas mereka sendiri yang menjuarai Kompetisi pada setiap kota dan biasanya diadakan pada akhir pekan Paskah.

Kompetisi ini hanya boleh diikuti oleh Klub etnis keturunan China dan para Pemainnya juga haruslah etnis keturunan China. Juara kompetisi ini menerima Trofi Piala yang disumbang oleh pengusaha keturunan China, hingga dibentuk Comite Kampioen Wedstrijden Tiong Hoa (CKTH) sebagai Organisasi Kompetisi pada 1927. Dari CKTH ini, dibentuklah Federasi Sepak Bola untuk Klub keturunan China di Jawa dengan nama Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB).

Pada saat kompetisi NIVB atau setelah NIVU berdiri, ketika HNVB telah bergabung ke dalam NIVB, klub-klub etnis keturunan China sering memenangi kejuaraan dibawah Federasi. Karena Klub etnis Eropa menitik beratkan pada pengorganisasian, bukan memenangi Kejuaraan seperti tujuan Klub etnis China.

Klub UMS menjuarai kompetisi di Batavia pada musim 1932-1933, dan klub etnis China beberapa kali menjuarai Kompetisi di bawah Federasi Surabaya. Mereka bahkan menjadi juara dalam kejuaraan Sepak Bola antar Klub-klub di Pulau Jawa. CSC juga menjuarai kompetisi Federasi Oost Sumatra (Sumatera Timur) pada 1936.

Klub-klub etnis keturunan China di Federasi lain juga menjuarai Liga mereka masing-masing di beberapa kota seperti Buitenzorg (Bogor), Cirebon, Yogyakarta, Malang, Semarang, Sukabumi, dan Tegal. Hanya di Bandung saja yang tidak ada satupun Klub etnis China yang pernah menjuarai Kompetisi Federasi.

Sedangkan untuk Kompetisi antar Federasi (Bond) versi Pribumi, pertama kali berlangsung pada 1930, setelah berdirinya Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) di Yogyakarta. Kompetisi Pribumi ini hanya boleh diikuti oleh etnis pribumi, sama halnya dengan kompetisi etnis keturunan China. Kompetisi inilah yang menjadi cikal bakal Kompetisi Perserikatan di era Federasi PSSI dan setelah Kemerdekaan Indonesia, hingga selanjutnya melahirkan Kompetisi Semi-Profesional dan Kompetisi Sepak Bola Profesional Indonesia seperti di era Sekarang.

Adapun bond pribumi kebanyakan mengambil nama Bond dari nama wilayahnya, seperti Cahaya Kwitang, Sinar Kernolong, atau Si Sawo Mateng. Sebagai contoh dari pembentukan Bond Pribumi di Hindia Belanda, pada 1928 dibentuk Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ). Pendirian VIJ adalah sebagai akibat dari diskriminasi yang dilakukan NIVB.

VIJ sendiri pernah keluar sebagai juara di Kejuaraan PSSI ke-3 pada 1933. Sebelumnya, di Batavia sendiri bahkan sudah dibentuk Persatuan Sepak Bola Djakarta (Persidja) pada 1925. Menysul kemudian pembentukan Bond-bond Pribumi yang lain di berbagai kota di Hindia Belanda.

PSSI sendiri, berdiri pada  19 April 1930 dengan nama awal Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia sebelum akhirnya berganti nama menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Ketua umum pertamanya adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo. PSSI bergabung dengan induk Federasi Sepak Bola Bunia, FIFA, pada 1952, dan Federasi Sepak Bola Asia, AFC, pada 1954, setelah bubarnya NIVU yang sudah berganti nama menjadi ISNIS, dan juga setelah diakuinya Kemerdekaan Indonesia oleh PBB.

Pendiri PSSI, Soeratin Sosrosoegondo, adalah seorang Insinyur Teknik Sipil. Soeratin menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada 1927. Pada 1928, ketika Soeratin kembali ke Tanah Air, ia bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berkantor pusat di Yogyakarta. Di sana, Soeratin merupakan satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan Komisaris Perusahaan Konstruksi tersebut. Namun karena dorongan semangat Nasionalisme yang tinggi, dia kemudian memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut.

Setelah berhenti dari Sizten en Lausada, Soeratin lebih banyak aktif di Pergerakan. Sebagai seorang yang gemar bermain Sepak Bola, dia menyadari kepentingan pelaksanaan butir-butir keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para Pemuda Indonesia pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Soeratin, melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai Nasionalisme di kalangan Pemuda sebagai sarana untuk menentang kuasa Kolonial Belanda.

Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Soeratin mengadakan pertemuan dengan Para Tokoh Sepak Bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan dilakukan dengan kontak pribadi secara diam-diam untuk menghindari sergapan Intelijen Polisi Belanda yaitu Politieke Inlichtingen Dienst (PID).

Kemudian, ketika mengadakan pertemuan di hotel Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, Soeri, ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga pengurus lainnya, mematangkan gagasan agar perlunya dibentuk sebuah Organisasi Sepak Bola Nasional.

Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut dilakukan kembali di Bandung, Yogyakarta, dan Solo, yang dilakukan dengan beberapa Tokoh Pergerakan Nasional, seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A. Hamid, dan Soekarno (Bukan Bung Karno). Sementara itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang.

Kemudian pada 19 April 1930, berkumpullah wakil dari Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ), BIVB (Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond), Persatuan Sepak Raga Mataram (PSM Yogyakarta), Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (VVB), Madioensche Voetbal Bond (VMB), Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM), dan Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB).

Dari pertemuan tersebut, diambillah keputusan untuk mendirikan PSSI, singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Nama PSSI lalu diubah dalam kongres PSSI di Solo pada 1930 menjadi Persatoean Sepak Bola Seloeroeh Indonesia, sekaligus menetapkan Ir. Soeratin sebagai Ketua Umumnya.

Ke 7 Bond pendiri PSSI ini kemudian bertransformasi menjadi Klub-klub Perserikatan setelah berdirinya PSSI. VIJ menjadi Persija Jakarta, BIVB menjadi Persib Bandung, PSM menjadi PSIM Yogyakarta, VVB menjadi Persis Solo, VMB menjadi PSM Madiun, IVBM menjadi PPSM Magelang, dan SIVB menjadi Persebaya Surabaya, dan ke 7 Klub ini masih eksis hingga kini. Namun, dari ke 7 Klub pendiri PSSI tersebut, ternyata tidak ada satupun yang menyandang gelar sebagai Klub Perserikatan Tertua di Indonesia.

Karena Klub Perserikatan Tertua, yang bahkan hingga kini masih eksis di Kompetisi Liga 1 Indonesia adalah PSM Makasar. Klub dari bekas Kota Ujung Pandang itu didirikan pada 2 November 1915, dengan nama awal Makassar Voetbal Bond (MVB). Sedangkan 7 Klub pendiri PSSI semuanya didirikan di era 1920-an.

Sebenarnya, selain ke 7 Klub pendiri PSSI tersebut, sangat banyak klub dari berbagai wilayah di penjuru Nusantara yang ingin menghadiri pembentukan PSSI di Yogyakarta. Namun banyak Klub terkendala masalah transportasi dan finansial hingga akhirnya kesulitan untuk hadir. Akhirnya, hanya tujuh klub yang bisa hadir dalam pertemuan kala itu, itulah gambaran yang dituliskan di buku Sepak Bola Perjuangan (PSSI 1930-1940): Melawan Penjajahan dari Lapangan Hijau.

Dan pada akhirnya, jika kita mau lebih objektif dalam melihat dan mencerna Sejarah, maka kita pun harus menerima "Paradoks" Belanda sebagai bekas Penjajah Kita. Di satu sisi, Belanda yang dulu pernah menjajah kita, memang meninggalkan kenangan yang begitu pahit nan penuh luka di tubuh Ibu Pertiwi ini.

Namun di sisi yang lain, Belanda sebagai Negara Penjajah juga meninggalkan banyak "Warisan" yang hingga kini tetap diteruskan dan dirawat di Negeri Katulistiwa ini. "Warisan" yang hingga saat ini tetap "terawat" dan akan selalu abadi, salah satunya adalah Sepak Bola. Mau tidak mau, jika kita lebih Objektif dalam memandang Sejarah, Belanda memang punya jasa yang tidak sedikit dalam memperkenalkan dan membuat Fondasi dalam "Konstruksi" Sepak Bola di Indonesia.

Sepak Bola, yang di era sekarang sudah banyak melakukan Modernisasi dan bahkan berkembang  pesat menjadi sebuah Industri tersendiri, memang punya pengaruh yang cukup signifikan di berbagai bidang. Baik di Ekonomi, Sosial, Politik, dan bahkan Budaya. Tak dipungkiri lagi, Sepak Bola lewat berbagai macam Modernisasi-nya, telah mampu menyapu bersih kesenjangan Sosial dan diskriminasi yang ada di Masyarakat.

Meskipun hingga hari ini, tidak sedikit kita jumpai kejadian-kejadian rasisme dalam Sepak Bola. Namun, bagaimanapun semangat Egaliterianisme dalam Sepak Bola akan tetap selalu ada, dan akan terus diperjuangkan oleh orang-orang yang memang mencintai Sepak Bola.

(Baca juga: Pemain Abroad: Kisah Petualangan Para Agen Perubahan Sepak Bola Indonesia)

(Sumber: indosport.com ; rsssf.com ; discussion.web.id ; resources.unpad.ac.id ; sport.detik.com ; panditfootball.com ; bola.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun