Curacao memiliki populasi yang sangat kecil, hanya sekitar 159.000 jiwa. Sepak bola pun belum menjadi olahraga utama di sana—masih kalah populer dari baseball, olahraga yang telah melahirkan banyak atlet berbakat dari kawasan Karibia.
Kompetisi domestik Curacao pun jauh dari kata kompetitif. Hanya terdapat segelintir klub, sebagian besar dari ibu kota Willemstad, dan hampir semuanya berstatus amatir atau setengah profesional.
Untuk mengatasi keterbatasan ini, Kluivert memanfaatkan hubungan historis Curacao dan Belanda. Mirip dengan bagaimana PSSI kini membangun timnas lewat pemain-pemain keturunan di Eropa.
Dengan reputasinya sebagai legenda sepak bola, Kluivert berhasil meyakinkan beberapa pemain diaspora untuk membela Curacao. Nama-nama seperti Eloy Room (kiper Vitesse Arnhem saat itu), Leandro Bacuna (Aston Villa), Juninho Bacuna (adik kandung Leandro), serta Felitciano Zschusschen bergabung ke dalam tim.
Dengan kekuatan pemain diaspora, Curacao memulai perjalanan di Kualifikasi Piala Dunia 2018. Mereka mengalahkan Montserrat di putaran pertama dengan agregat 4-3, lalu mengejutkan publik dengan menyingkirkan Kuba di putaran kedua.
Namun di putaran ketiga, Curacao menghadapi El Salvador—negara dengan sejarah panjang di kancah sepak bola Amerika Tengah. El Salvador pernah dua kali lolos ke Piala Dunia dan dua kali menjadi runner-up Piala Emas Concacaf.
Sayangnya, Curacao kalah di dua leg dengan skor identik 0-1. Mereka pun tersingkir dengan agregat 0-2.
Tidak Layak Disebut Gagal
Sekilas, hasil tersebut memang tampak mengecewakan. Tapi jika kita menelaah secara obyektif, Kluivert justru melampaui ekspektasi.
Lolos ke putaran ketiga kualifikasi sudah menjadi catatan terbaik sepanjang sejarah Curacao. Bahkan saat masih bernama Netherlands Antilles, mereka tak pernah melangkah sejauh ini. Biasanya mereka mentok di putaran kedua.
Dalam periode Maret 2015 hingga Juni 2016, Kluivert mencatatkan rekor 6 kemenangan, 3 imbang, dan 3 kekalahan. Ini menyamai total kemenangan Curacao selama tiga tahun sebelum kedatangannya (2011–2014): 6 menang, 6 imbang, dan 20 kalah.
Artinya, hanya dalam waktu kurang dari setahun, Kluivert mampu mengangkat performa tim secara signifikan. Peningkatan ini tentu layak diapresiasi.