Saya bertanya ke penjual, adakah penjual rujak cingur di sekitar sini? Saya akan memuaskan diri dengan sering makan rujak cingur, mumpung di Bangkalan.
Mereka menunjuk ke satu titik dan berkata bahwa warung tersebut mulai buka pukul 10.00 WIB. Baiklah, itu akan menjadi target tempat makan siang.
Menyisakan ampas di dasar gelas kopi, lalu saya mencari menu sarapan. Ada beberapa warung. Kami menuju penjual nasi rames dan pecel. Nasi pecel pun menjadi pilihan.
Pagi hingga siang itu saya dan keluarga hanya melihat-lihat lapak penjualan barang oleh-oleh; dagangan golok, pisau, hingga clurit; kaos, batik, pakaian, sarung, dan sebagainya (sebagian besar dibuat di Pekalongan.
Tuntas menunaikan ibadah salat Dhuhur, kami berjalan kaki kurang dari 150 meter. Berhenti tepat di seberang Kantor Kepala Desa Martajasah.
Warung Brejot. What?
Di antara pagar bilah bambu dan rumah tembok berlantai keramik terdapat bangunan sederhana. Tergantung spanduk bertuliskan "Warung Rujak & Soto Brejot".
"Iya, warungnya brejot. Bahasa Indonesianya, reyot hampir roboh," kata ibu penjual.
Ia menyediakan masakan soto daging sapi kuah merah. Kuahnya tidak bening. Tidak kuning. Tidak bersantan. Kuah merah berasal dari cabai merah buang biji dan beragam rempah.
Menu lainnya, rujak cingur yang berisi lontong, potongan aneka buah, sayur matang, tempe tahu goreng, cingur (olahan hidung dan bibir sapi), dan siraman bumbu.
Ada hidangan berbeda. Rujak disiram kuah dan isian soto merah. Namanya, Rujak Soto. Wah, hidangan baru bagi saya yang belum pernah mencobanya.