Restoran yang saya duga mampu menampung 100 atau lebih pengunjung itu terdiri dari dua area. Indoor dan outdoor. Tempatnya bagus dan luas, tapi tidak terlihat tamu lain di ruang dalam. Sekitar 20 pengunjung berkumpul di saung (bangunan kecil di kebun) pada bagian luar.
Saya memilih meja di bagian luar. Bisa menghirup udara segar dan memandang kebun talas serta telaga di kejauhan pandangan.
Pada menu, saya menunjuk nasi liwet dan gurame bakar lengkap dengan pendamping, lalapan, sambal, dan karedok. Paket untuk 4 orang, kami 3 orang. Tidak menjadi soal, nasi dan lauk tersisa bisa dibawa pulang.
Pegawai restoran memberi tahu, mereka perlu mematangkan masakan dalam 25 menit. Pelayanan bagus, restoran menyampaikan waktu tunggu kepada tamu.
Tidak masalah. Tidak ada waktu yang mesti diburu. Pun, makhluk di perut belum ribut lalu bakar-bakar ban berunjuk rasa.
Akhirnya, server mengantarkan kastrol berisi nasi berbumbu dan tampah berisi aneka lauk dan sambal lalap. Perhatian tertuju ke kastrol isi nasi berbumbu. Nasi liwet Sunda. Bukan nasi liwet Solo
Nasi liwet Solo bersantan dan dimasak dengan beragam rempah. Dihidangkan dalam pincuk (wadah dari daun pisang) bersama sayur labu, suwir ayam kampung, telur pindang, dan disiram areh (olahan santan kental).
Sementara, nasi liwet ala tanah Jawa Barat merupakan hasil olahan beras, air, teri, dan bumbu-bumbu. Tidak memakai santan.
Pada nasi liwet tersebut terdapat teri, daun salam, batang serai, potongan bawang merah, cabai rawit utuh, dan daun kemangi segar sebagai hiasan. Bisa jadi bumbu lain, semisal bawang putih dan garam, telah dihaluskan.