Kelopak mata rapuh tak mampu membendung air mata menetes. Menitik. Titik-titik air mata menjelma sebagai rintik yang kian lama kian deras.
Semesta mendukungku melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan Sang Maha Pembuat Hukum.
Langit gelap. Petir berkilatan disertai guruh bersahut-sahutan. Aku terus menitikkan air mata dan terus melaksanakan tugas dengan bahagia. Air mata bercucuran kian deras dan kian deras. Bunyinya di atas genting, "tik, tik, tik." Air turun dengan jumlah tiada terkira ke bumi.)***
Bumi iklhas menerima lebatnya air mata yang membasahi tanah, bergulung-gulung, mengaliri gunung-gunung tanpa pepohonan, meluncur bebas menghanyutkan segala hambatan, menghantam jembatan tidak bermutu, membelah tanah, longsor, menimpa jalan berkualkitas, dan berakhir dengan menggenangi cekungan-cekungan.
Warga negeri mendadak bingung. Berpasang-pasang mata ketakutan memandang air berwarna cokelat, yang mengombak kemudian merendam rumah-rumah dan kendaraan. Kacau balau.
Pikiran mereka kalut sebab terjebak dalam ruang-ruang penuh air, yang tadinya mulai surut. Kini air meninggi lagi, dan makin tinggi. Menggema teriakan-teriakan menyayat hati.
Dalam murkanya, sesungguhnya Gundala dengan tulus membantuku menyelesaikan tugas, sesuai jadwal dan ketentuan, yang ditetapkan sejak awal penciptaan bumi dan berlaku hingga nanti.
Keterangan:
* Gundala pada judul adalah tokoh komik ciptaan Hasmi. Muncul tahun 1969 dalam "Gundala Putra Petir" (Wikipedia).
** Aeolian, dengungan yang dihasilkan angin saat menerpa objek seperti bangunan atau kabel (Britannica).
*** Menyadur sebagian lirik lagu "Tik Tik Tik Bunyi Hujan" ciptaan Ibu Sud.
Biodata Penulis: Lansia warga Kota Bogor. Waktunya amat luang. Hobi jalan pagi. Suka menulis apa saja, termasuk bersenang-senang bikin cerpen.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI