Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kala Gundala Murka

6 Maret 2025   17:08 Diperbarui: 11 Maret 2025   17:01 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ketika Gundala Murka.(Gambar oleh Ron van den Berg dari Pixabay)

Bagi mereka, paling penting menghasilkan produk hukum berdasarkan target. Apakah rancangan bisa dioperasikan atau tidak, urusan belakangan. Jikalau terjadi penyimpangan, bisalah bikin rapat-rapat lagi untuk membahasnya. Toh, menghadiri pertemuan tingkat tinggi akan dijamu dengan lipatan-llipatan terbungkus amplop, di luar pendapatan resmi dan fasilitas-fasilitas.

Pelaksanaannya pun kerap tidak menuruti apa yang sudah dikatakan oleh rencana. Selain gambar-gambar dan spesifikasi-spesifikasi yang tidak mudah dinyatakan, upaya pengurangan bahan dan mutu menjadi penafsiran yang diam-diam menjadi lumrah. Lazim berlaku sebagai rahasia umum dalam pelaksanaannya.

Bagi kontraktor pelaksana, paling penting ada cuan bisa dilipat dari proyek-proyek tersebut. Tentu saja, ada bagian cukup bagian untuk pengawas, pemeriksa, dan pemberi pekerjaan.

Pemberi proyek menyetorkan sebagian hasil pengurangan mutu dan bahan kepada atasan. Kepala lebih tinggi itu menyerahkan jatah bagi kepala daerah. Kepala daerah mengumpulkan upeti dari beragam proyek di wilayah kekuasaannya kepada menteri.

Menteri mengumpulkan setoran dari berbagai daerah di seluruh negeri, lalu mempersembahkan kardus-kardus bergambar mi instan berisi setoran-setoran kepada pemimpin tertinggi negeri.

Hasilnya. Berbagai prasarana dan sarana, yang sejatinya untuk kepentingan warga negeri, dibangun secara asal-asalan, tanpa pemeriksaan mutu. Dikerjakan setelah membabat tumbuhan dan pepohonan yang hidup damai di tanah luas.

Pegunungan diratakan. Sawah ladang nan subur dipasang kerangka besi, lalu disiram semen sebagai landasan bagi bangunan dan jalan bebas hambatan tanpa drainase.

Demikian pula dengan cekungan, yang ditimbun dari tanah bekas kikisan gunung. Tengoklah daerah bernama depan "setu" atau "situ" dan "rawa" yang mulanya adalah wilayah dengan tanah berlekuk, kini jadi tanaman beton.

Tidak ada kerja sama dengan alam. Kekeliruan warga negeri menafsirkan pembangunan berkelanjutan malah menghasilkan bencana hidrologi.

Kala air terus menerus tumpah dari dari langit, pucuk gunung polos tiada kesulitan mengalirkannya ke bagian lebih rendah. Membawa ranting-ranting, gelondongan, kasur rusak, sofa terbuang, dan segala sampah yang dibuang sembarangan. Terakhir, air mengisi tanah paling rendah, yaitu cekungan-cekungan.

Kemudian warga negeri menyebutnya sebagai bencana alam, kerusakan yang ditimbulkan oleh alam, seperti banjir bandang, tanah longsor, tanah bergerak, dan banjir atau genangan di berbagai tempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun