Mohon tunggu...
Bobby Nabil Ihsan
Bobby Nabil Ihsan Mohon Tunggu... Mahasiswa Semester 2 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan NIM 12405021030061

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Manusia-Manusia TMII, Mereka yang Menjaga Warna Budaya Nusantara

21 Juli 2025   07:59 Diperbarui: 7 September 2025   23:54 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewi dan dua rekannya menari tari lenggang Jakarta dalam ujian kompetensi tari nasional di TMII | Sabtu (12/07/2025) (Sumber: Dioumentasi Pribadi)

Pada minggu pagi itu, bisingnya langkah kaki pengunjung mulai terdengar di pelataran Taman Mini Indonesia Indah (TMII). 

Sementara banyak dari mereka datang untuk berswafoto di depan rumah adat, atau menonton parade seni, ada segelintir orang yang hadir dengan alasan yang lebih dalam, yaitu merawat, menampilkan dan menyampaikan kisah Nusantara.

Salah satunya adalah Rizki Novit Maulana (23). Ia sudah menjadi bagian dari tim koleksi Museum Indonesia sejak tahun 2023.

"Setiap benda yang ada disini adalah warisan budaya leluhur yang harus dirawat dan dijaga," ujar Rizki.

Tugasnya sebagai staf tim koleksi tidak sesederhana yang terlihat. Ia bertanggungjawab atas desain pameran, katalogisasi, pembersihkan artefak-artefak, hingga konservasi terhadap kain dan barang koleksi. 

Museum Indonesia sendiri memiliki ribuan koleksi dari seluruh penjuru Indonesia, mulai dari senjata, tenun, topeng, hingga fosil manusia purba.

Dalam kesehariannya, terkadang ia berada di belakang museum mencatat dan mendokumentasi setiap artefak baru atau lama yang sedang atau ingin dipamerkan kedalam katalog museum. Sementara di hari lainnya, ia bekerja di bagian depan sebagai pusat informan yang bertugas memberi informasi dan mengawasi pengunjung museum.

Rizki sendiri berharap agar masyarakat Indonesia lebih taat aturan, dan menghargai serta mempelajari koleksi museum sebagaimana mestinya. Ia juga berharap agar para pengurus museum lebih semangat dalam bekerja.

"Mungkin masyarakat dapat lebih taat pada peraturan yang ada, jangan usil tangannya, karena demi menjaga koleksi museum dan demi kenyamanan bersama," harapnya seraya mengingatkan pengunjung dengan mikrofon.

Di sisi lain TMII, tepat di depan pintu masuk anjungan Lampung, dua pemuda-pemudi berdiri dengan anggun mengenakan pakaian adat Lampung, lengkap dengan sanggul dan biskap. Mereka adalah alya (17) dan ingki (18), siswa SMA yang didaulat oleh pihak TMII untuk menjadi duta adat di hari itu.

Selama lima hari terakhir, alya dan Ingki menjadi wajah budaya Lampung, mereka disana bertugas sebagai welcome staff yang dengan hangat menyapa pengunjung. Terkadang mereka juga menjelaskan sedikit makna simbolik dari budaya Lampung, mulai dari pakaian, arsitektur, hingga filosofi budaya Lampung.

"Kita biasanya start datang jam 8 terus briefing dulu, habis itu mulai ganti baju jam 9, terus langsung stay di sini" ujar Alya, menceritakan kesehariannya.

Bagi mereka, menjadi duta adat bukan hanya soal tampil menawan di depan kamera, tetapi juga menjadi jembatan bagi masyarakat lokal hingga mancanegara untuk mengenalkan dan mencitai budaya yang ada di Indonesia. Mereka sadar, meski di usia muda mereka tetap mempunyai tanggungjawab yang sama besarnya dalam melestarikan budaya.

"Kita harus lebih peduli soal budaya Indonesia, kita harus menunjukan bahwa kita orang Indonesia dengan beragamnya budaya kita, dan dengan menjadi duta adat kita isa menjadi garda terdepan dalam mengenalkan budaya Indonesia," ujar Ingki.

Dewi dan dua rekannya menari tari lenggang Jakarta dalam ujian kompetensi tari nasional di TMII | Sabtu (12/07/2025) (Sumber: Dioumentasi Pribadi)
Dewi dan dua rekannya menari tari lenggang Jakarta dalam ujian kompetensi tari nasional di TMII | Sabtu (12/07/2025) (Sumber: Dioumentasi Pribadi)

Tidak jauh dari sana, lebih tepatnya di dalam anjungan adat Bali dentuman gendang mengalun dari panggung terbuka TMII. tiga orang gadis muda melangkah menarikan tari lenggang Jakarta. Ia adalah Dewi (17), seorang pelajar yang sedang mengikuti uji kompetensi tari tradisional nasional mewakili sanggar puspita sari.

"Awalnya deg-degan, tapi setelah musik dimulai, aku langsung masuk ke dunia saya sendiri," ujarnya setelah selesainya acara.

Dewi belajar tari sejak usia 8 tahun sanggar kecil dekat rumahnya. Ia menekuni berbagai tarian daerah, dan kini sedang memperluas kemampuannya untuk menjadi penari profesional dan guru tari.

"Target saya bukan hanya menjadi seorang penari. Saya mau menjadi guru tari. Supaya semakin banyak generasi muda yang mencintai budaya," ujar Dewi.

Tari tradisional adalah tarian yang tercipta dari suatu adat masyarakat yang diwariskan turun-temurun melintasi masa. Tari jenis ini menjadi identitas budaya dan sejarah bangsa, yang jika hilang maka sama dengan menghilangkan budaya. Dewi menjadi salah contoh seorang yang mencoba melestarikannya dan perlu diperhatikan.

Dewi sendiri berpendapat bahwa kelestarian budaya bergantung pada masyarakat yang membawannya.

"Penari tradisional bukan hanya penghibur, tetapi penjaga warisan budaya bangsa yang perlu mendapat perhatian yang lebih serius, baik kesejahteraan pelatih dan penari hingga mempopulerkan tarinya itu sendiri, mulai dari masyarakat hingga pemerintah," tutur Dewi.

Tiga kisah sederhana di atas mungkin tampak sederhana. Tapi mereka adalah potongan dari bingkai besar bernama Indonesia. 

Ketika modernisasi berjalan cepat, budaya asli perlahan kehilangan panggungnya. Dalam situasi ini, manusia-manusia seperti seperti Rizki, Alya, Ingki, dan Dewi hadir sebagai penjaga kobaran api untuk tetap menyala.

Mereka bukan selebritas, bukan tokoh besar. Tetapi merekalah yang memastikan warisan leluhur tetap hidup. Bukan sebagai fosil di museum, tetapi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

TMII sendiri bukan sekedar destinasi wisata. Ia adalah ruang pendidikan dan budaya yang hidup. Oleh karena itu, dukungan pada mereka yang menjaga budaya harus diperluas melalui kebijakan pendidikan yang pro-budaya, fasilitas komunitas seni, hingga promosi pelibatan generasi muda melalui lomba dan pelatihan.

Budaya tidak akan bertahan hanya dengan dikenang. Ia bertahan karena dihidupi. Di Tengah ingar-bingar dunia modern, mereka adalah pengingat bahwa Indonesia ada karena budayanya. Dan budaya hidup karena ada yang terus menjaganya.

Di antara anjungan, museum, dan panggung budaya, ada mereka yang bekerja di balik sorotan. Merekalah wajah-wajah penjaga warna budaya Indonesia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun