Aku punya keinginan besar buat ngubah nasib, nentuin arah hidup, dan dapetin kerja tetap sebagai CPNS guru. Itu jadi motivasi utama. Dan jujur aja, langkah ini tuh kayak momen langka banget—“one in a million”—yang bakal ngaruh besar ke hidup aku ke depannya.
Tahun 1997 itu, jadi guru PNS di kota tuh susah banget. Pemerintah Orde Baru (Orba) enggak buka formasi baru di daerah perkotaan waktu itu.
Tapi kalau jadi guru honorer masih bisa, soalnya banyak sekolah yang nerima—walaupun ya, gajinya seadanya banget.
Setelah lulus dari D2 Keguruan, aku sempat jadi guru honorer di salah satu sekolah negeri. Gajinya? Rp90.000 sebulan—iya, segitu. Itu pun dibayar dari uang SPP yang dikumpulin lewat iuran orang tua murid.
Dulu tuh belum ada dana yang namanya dana BOS, baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Tunjangan insentif atau tambahan buat guru juga belum kepikiran. Yang ada cuma gaji resmi dari pemerintah, sama uang SPP yang dikumpulin tiap bulan dari iuran orang tua murid buat bantu operasional sekolah.
Nah, uang SPP itu biasanya dipakai buat bayar gaji guru honorer, nutup biaya listrik, air, sama perawatan sekolah. Kadang juga dipakai buat dukung kegiatan belajar, termasuk ekstrakurikuler.
● ● ●
Hidup yang Berat
Aku lahir dari keluarga yang biasa aja—enggak miskin, tapi juga nggak bisa di bilang kaya. Setelah kena PHK dari kerjaan di perusahaan alat berat, bapak banting setir jadi sopir taksi colt—jaman dulu tuh masih populer banget.
Tiap pulang sekolah, aku ikut ngernet, bantuin nyari penumpang sampai larut malam. Terus pas taksinya dijual, bapak mulai bertani. Nanem padi di sawah, ngurus kebun juga. Aku ikut turun tangan, nyangkul, nanem, bantuin sebisanya.
Pas kuliah pun enggak bisa leha-leha. Aku nyambi kerja diproyek perumahan, jadi pembantu tukang bangun rumah, bahkan sempat jadi buruh harian di perusahaan alat berat, ngecor lantai segala. Pokoknya, hidup tuh beneran dari bawah—tapi justru dari situ aku belajar banyak soal kerja keras, susahnya cari uang, dan enggak gampang menyerah.
Hidup itu enggak selalu mulus, kadang kita juga harus jatuh dulu biar tahu rasanya bangkit. Nggak semua hal datang dari keberuntungan—banyak yang harus diperjuangkan, dijalani pelan-pelan, sambil nahan lelah dan kadang nangis diam-diam. Tapi justru dari situ, kita belajar jadi kuat, jadi tahu arah, dan ngerti arti "hidup" yang sebenarnya: bukan cuma soal hasil, tapi soal proses yang bikin kita tumbuh.
Kerja keras tuh udah bagian hidup aku dari dulu. Tenaga, keringat, semua dikeluarin. Setiap hari nyangkul—kadang bantuin bertani, kadang ngurus kebun—biasanya sepulang sekolah atau pas libur. Enggak ada istilah rebahan kalau udah urusan ladang.
Malamnya? Enggak kalah sibuk. Aku jaga ayam potong di pondok, soalnya bapak juga sambil pelihara ayam. Lokasinya lumayan jauh dari rumah, berada dipinggiran hutan. Jadi setiap malam aku harus jalan ke sana dan tidur di pondok, tengah malam bangun, kontrol kandang ayam potong biar ayamnya enggak diganggu binatang liar—ular, tikus, dan lainnya.
Aku percaya banget, hidup susah tuh berubah asal kita punya niat dan enggak males buat usaha. setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya, cuma kadang kita harus sabar nunggu waktunya. Yang penting tetap bersyukur, tetap jalanin, dan jangan nyerah. Tuhan enggak tidur—kalau kita serius, pasti ada aja kemudahan yang datang.
Momen Nekat dan Yakin
Modal nekat dan keyakinan, dari sinilah momen"one in a million" itu lahir—momen yang nggak akan pernah aku lupakan seumur hidup.
Awalnya cuma guru honorer selama enam bulan. Mulai dari ikut bantu jadi pembina pramuka, di ajak oleh teman guru di sekolah itu, eh tiba-tiba di panggil kepala sekolah. Aku diminta ngajar bahasa inggris. Nggak lama, saya mulai pegang kelas sendiri, karena memang linear dengan ijazah yaitu: Guru Kelas SD.
Singkatnya, aku ikut seleksi CPNS di daerah berau, ambil formasi guru di wilayah transmigrasi. Waktu itu, jujur aja, wawasan aku soal daerah transmigrasi tuh minim banget. Soalnya dulu belum segampang sekarang buat cari info digital—aksesnya terbatas, referensi juga nggak sebanyak sekarang.
Tapi karena niat dan tekad udah bulat, aku tetap jalanin aja. Nggak banyak mikir, yang penting coba dulu. Kadang, langkah nekat itu justru jadi awal dari cerita besar.
Waktu ikut seleksi CPNS di daerah Berau, aku harus berangkat langsung ke sana, soalnya lokasi tes sesuai sama daerah yang kita pilih. Semua dokumen juga harus disesuaikan sama tempat penyelenggara tes.
Akses ke sana cuma lewat laut atau udara. Lewat darat belum ada sama sekali. Kalau mau naik pesawat, pilihannya terbatas banget, masih pakai pesawat perintis pula. Jadi satu-satunya cara yang murah dan masuk akal ya naik kapal laut.
Itu jadi pengalaman pertama aku naik kapal penumpang dari kayu. Tiket yang dibeliin teman itu tiket ekonomi, jadi aku nggak dapat tempat tidur. Akhirnya tidur di emperan kapal, beralaskan tas dan jaket seadanya. Rasanya campur aduk—antara capek, deg-degan, tapi juga penuh harapan.
Akhirnya, nyampe juga di Tanjung Redeb, Berau. Kota kecil yang tenang, ada di pinggir Sungai Segah. Kapal kayu yang aku tumpangi berlabuh di pelabuhan teratai. Transportasinya masih sederhana banget—becak jadi andalan. Ada sih mobil taksi, tapi bisa dihitung jari. Jadi, kebanyakan orang naik becak buat keliling kota.
Selama nunggu jadwal tes CPNS, aku numpang nginap di rumah teman kuliah. Dia tinggal di rumah dinas yang nyatu sama area SMP tempat kakaknya mengajar di sekolah tersebut. Lumayan banget, bisa istirahat seadanya, di ruang tamu yang sempit sambil nyiapin mental buat tes.
Beberapa teman dari Samarinda juga ikut seleksi CPNS, dan kami sama-sama nginap di satu rumah sederhana di Berau. Suasananya penuh harap—semua pengen lulus dan bisa diangkat jadi guru CPNS, ngisi formasi di daerah transmigrasi.
Kalau lihat dari data di atas kertas sih, peluang kami gede banget. Guru yang dibutuhkan ada 25 orang, sementara yang ikut seleksi cuma sekitar 10 orang, dan semuanya lulusan dari kampus yang sama. Jadi, secara hitungan, harusnya sih kami lolos semua.
● ● ●
Yang Menentukan Nasib dan Perjalanan di Rantau
Setelah tes CPNS selesai, tinggal nunggu pengumuman kelulusan. Hampir tiga minggu nunggu, dan infonya cuma bisa dicek lewat media lokal. Selama menunggu, aku mulai kenal lebih dekat sama lingkungan kota tempat aku bakal ditugaskan nanti.
Walaupun belum tahu pasti bakal ngajar di daerah transmigrasi yang mana, banyak daerah transmigrasi di berau dan banyak juga lokasinya yang jauh dari Kota Tanjung Redeb.
Aku tetap coba nikmatin suasana, selama menunggu pengumuman hasil tes. Jalan kaki keliling Tanjung Redeb tuh enggak butuh waktu lama—kurang dari sejam aja udah bisa muterin semua sudut kota. Jalan-jalan utamanya juga gampang dihapal .
Akhirnya, pengumuman hasil seleksi CPNS keluar juga. Dimuat di koran harian lokal, lengkap sama daftar kelulusan dari seluruh Kalimantan Timur.
Tapi yang bikin campur aduk, dari semua teman yang ikut tes di Berau, cuma aku dan satu teman dari Samarinda yang lolos. Teman-teman lain, termasuk yang asli Berau, nggak ada yang lulus. Rasanya senang banget, tapi di sisi lain juga ikut ngerasain kecewa buat mereka yang udah berjuang bareng tapi belum dapat hasil.
Itu jadi momen yang nggak akan lupa—antara bahagia dan haru, karena perjuangan kami nggak semua berakhir manis. Tapi ternyata, formasi guru di wilayah Berau malah diisi sama kakak-kakak kelas yang ikut seleksi dari kabupaten lain—ada yang dari Pasir, Kutai Kartanegara, sama Bulungan. Sementara teman-teman yang langsung ikut tes di Berau sendiri justru nggak ada yang lulus.
Untungnya, beberapa kakak kelas yang dinyatakan lulus itu akhirnya mundur pas daftar ulang. Nah, karena ada yang mundur, formasi itu bisa diisi sama teman-teman yang ikut seleksi di Berau—yang memang asli sana, istilahnya putra daerah. Jadi, tetap ada harapan buat mereka yang udah berjuang dari awal.
Di momen itu, aku sempat jatuh sakit—kena types. Badan panas, demam, lemas banget. Sementara daftar ulang CPNS tinggal hitungan hari. Masalahnya, uang buat berobat nggak ada. Mau minta bantuan ke orang tua di Samarinda juga nggak segampang sekarang yang tinggal transfer lewat rekening dan dengan mudah melalui e-banking.
Dulu, komunikasi masih pakai telepon rumah. Kalau mau nelpon keluarga, harus lewat wartel—warung telekomunikasi. Itu pun harus disambung dulu ke telepon rumah orang lain. Dan jarak ke wartel lumayan jauh, mesti jalan kaki dulu. Jadi, buat sekadar bilang "Aku sakit, dan minta dikirimkan sejumlah uang buat berobat" aja, butuh perjuangan.
Waktu itu, satu-satunya cara berkirim kabar dengan orang tua lewat surat kilat dari kantor pos, yang pengirimannya melalui teman mengantarkan ke kantor pos, karena aku dalam kondisi sakit. Beberapa hari berikutnya, orang tua mengirimkan wesel—semacam surat kiriman uang dari kantor pos.
Biasanya lewat weselpos instan atau weselpos Prima. Prosesnya lumayan ribet kalau dibandingkan sekarang. Tapi ya itu satu-satunya jalan, dan waktu itu rasanya udah cukup banget buat bantu aku bertahan.
Begitulah secuil cerita perjuanganku jadi guru CPNS di daerah transmigrasi. Nggak gampang, penuh lika-liku, dari kapal kayu sampai tidur di emperan, dari sakit types sampai kirim wesel lewat kantor pos. Tapi semua itu justru jadi bagian paling berharga dalam perjalanan hidupku.
Kadang, jalan yang berat justru ngasih kita pelajaran paling dalam. Dan dari situ, aku belajar: kalau niat udah bulat, tekat udah kuat, insyaAllah jalan akan selalu ada. Bagi Sahabat pembaca Kompasianer yang budiman ingin berdiskusi, silahkan tinggalkan komentar di kolom di bawah artikel ini. Salam Kompasianer. (*)
Samarinda, 09 September 2025
Riduannor
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI