Ingatan itu membecak di sudut hati, seperti hujan lama yang enggan surut, menyimpan jejak langkah yang tak pernah benar-benar pergi.
***
Malam ini, kusempatkan  duduk di angkringan yang terletak di depan Gedung Balai Pertemuan Umum (BPU), memesan secangkir Susu Madu Telor Jahe (STMJ). Aku menyesap STMJ hangat perlahan, merasakan jahe yang membakar tenggorokan dengan lembut.
Aku teringat, di gedung balai itu aku pernah mengikuti seleksi CPNS dengan jumlah peserta yang memenuhi seluruh ruangan. Bukan hanya formasi guru, tetapi juga formasi dari berbagai instansi lintas daerah.
Aku berada di Kota ini merupakan pilihan mencari peruntungan sebagai CPNS Guru untuk menata hidup mengejar bayang masa depan.
Mengikuti seleksi CPNS ibarat bertarung di medan sunyi—berbekal pensil 2B, lembar jawaban, dan harapan yang digoreskan di atas kertas, di ruang ujian yang panas dan penuh ketegangan.
Tidak mudah bisa lulus seleksi CPNS di zamanku, karena adanya tes wawancara penelitian khusus (litsus) yang menyatakan bersih lingkungan.Â
Salah menjawab atau terpeleset lidah bisa mengakhiri harapan menjadi CPNS, bahkan masuk daftar hitam sebagai calon pegawai negeri selama rezim berkuasa.
***
Namun tekad tak surut. Aku merantau jauh dari kampung halaman, meninggalkan suara riuh pasar dan aroma tanah basah selepas hujan, demi mengadu nasib di kota yang asing, di negeri orang yang tak mengenal namaku.
Disana, aku belajar menahan rindu, numpang tidur di rumah orang baik yang mau menampung. Walaupun tidur di ruang tamu dengan seadanya.Â