***
Aku berlalu dari kios loper koran yang terletak di emperan toko baju yang tidak jauh dari lampu merah. Fenomena novel, tabloid, dan stensilan yang dijual di loper-loper koran mencapai puncaknya sekitar akhir 1980-an hingga awal 2000-an.Â
Ramai dijual di loper koran dan kios kecil sejak era Orde Baru, karena media arus utama sangat dikontrol. Tabloid juga menjadi media ekspresi baru pasca reformasi 1988, dengan konten yang lebih berani dan beragam.
Ujung mataku tertuju pada tenda biru berdiri miring di sudut perempatan jalan utama. Langkah kakiku mendekatinya. Â Di bawahnya, koran pagi bertumpuk, tabloid gosip berjejer. Loper tua bernama Pak Samin duduk di kursi plastik, menggulung rokok linting sambil mengamati lalu lintas.
"Mas, edisi yang Mbak Desy cerai udah keluar," kata Pak Samin sambil menyodorkan tabloid dengan senyum penuh rahasia.
Aku bukan penggemar gosip, tapi aku tahu di balik berita berita selebriti itu, ada denyut zaman yang tak bisa diabaikan. Reformasi baru saja lewat, dan media cetak seperti tabloid dan stensilan jadi pelampiasan rasa ingin tahu yang selama ini dibungkam.
***
Aku terdampar di kota ini sebulan menjelang tumbangnya pemerintahan orde baru—akibat krisis moneter yang sampai pada titik nadir.Â
Bertugas sebagai seorang guru baru daerah transmigrasi, di tengah hutan yang baru dibuka bagi penduduk dari jawa, lombok, NTT, Sulawesi dan beberapa penduduk lokal yang bermukim di unit pemukiman transmigrasi.
Rupiah anjlok drastis, inflasi melonjak, dan harga kebutuhan pokok melambung mewarnai tugas pertamaku di kota ini, gajipun belum ada, karena gaji pertama, kata dinas ranting pendidikan, dirapel setelah tiga bulan berjalan pengangkatan sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Untungnya, ada uang jalan yang diberikan dinas provinsi menuju tempat tugas sampai di daerah transmigrasi. Cukup lumayan, Â buat transportasi, makan dan minum, serta menginap di hotel melati beberapa malam saat transit di kota.