Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Penulis

Menjadi penulis adalah menjadi saksi: terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap sejarah yang terus bergerak.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Benarkah Pok-pok, dan Parakang Itu Ada?

2 Oktober 2022   07:03 Diperbarui: 2 Oktober 2022   07:09 1215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan menuju kampung K saat bertugas (Foto Istimewa/RIDUANNOR | Dokumen pribadi

Prolog

Kejadian ini memang benar terjadi. Antara nyata dan tiada. Kejadian antara tahun 2003-2004, saat aku berpindah tugas dari kampung transmigrasi, ke kampung yang sudah berdiri lama. Sebut saja Kampung K, dari sinilah berawal aku mengenal sebuah mitos  Pok-pok dan parakang. 

Sebagai seorang guru yang bertugas di perantauan. Memang kata orang kenyang dengan pengalaman. Pengalaman bertugas dengan berbagai situasi dan keadaan, tidak bisa didapat dibangku kuliah, tapi harus dirasakan dan dijalani.

Seorang dosen, mungkin hanya bisa berteori dan memberikan penggambaran, bagaimana rasanya seorang guru yang bertugas di daerah terpencil, tertinggal, dan terluar. Sementara dia sendiri tidak pernah mengalami langsung walau sehari.

Pok-pok dan parakang, sama-sama sejenis makhluk jadi-jadian, yang berasal dari mitos masyarakat sulawesi. Baik pok-pok dan parakang mempunyai kesamaan, sama-sama siluman yang bisa terbang di malam hari. 

***

Ketika saya berada di kampung K, dan menjalankan tugas sebagai guru mengajar di sekolah yang ada di kampung tersebut. Aku mendapatkan cerita, dari teman yang guru disekolah tersebut. 

Dulu, dikampung ini banyak Parakang. Bahkan dikampung K, terkenal bermukimnya parakang. Memang di siang hari susah membedakan, mana yang menjadi manusia biasa dan  jadi-jadian. 

Kampung ini agak unik, berada di pinggir jalan raya yang setiap hari dilalui kendaraan roda empat yang hilir mudik. Mata pencarian penduduknya dari berladang dan berkebun lada dan kopi, dan sebagian menanam padi.

Selain itu penduduknya juga memelihara sapi, yang dibiarkan lepas kandang. Hidup berkeliaran di samping-samping rumah warga. Yang bila pagi terlihat meninggalkan tumpukan-tumpukan kotoran di teras rumah warga, ataupun di jalanan.

***

Tapi buatku, waktu itu cerita-cerita yang di sampaikan oleh Pak S, tak lebih sebuah mitos yang setiap daerah, punya cerita sendiri. Dikalimantan juga punya mitos makhluk jadi-jadian bernama "Kuyang", apa bedanya kuyang, pok-pok, dan parakang?.

Rasanya sama saja, hanya beda penyebutan. Tapi kok masih ada mitos-mitos seperti itu di zaman modern sekarang ini. Aku memang terbiasa berpikir realistis, dan kurang mempercayai yang sipatnya tahayul.

Saat tugas di daerah transmigrasi, aku juga tinggal sendiri di sebuah rumah, dipermukaan bukit yang kiri-kanannya hanyalah hutan. Kalau malam, sunyinya mencekam. Tidak ada listrik, gelap. Hanya berteman lampu lentera kapal sepanjang malam. Dan suara jangkrik.

Secara kasat mata, tidak pernah aku bertemu dengan sosok ghaib yang membuat rasa takut, menampakkan  diri ketika berbaring di dipan kayu yang ada di kamarku. Atau saat di dapur, memasak makanan sendiri, ditemani lentera yang cahayanya meliuk-liuk ditiup angin.

Di Kampung K agak lumayan, listrik PLN sudah masuk. Dan lampu sudah menyala 12 jam, walaupun hanya pada malam hari. Terkadang juga mati lampu, kalau ada pohon yang rebah menimpa kabel PLN. Bahkan lampu listrik bisa tidak menyala berminggu-minggu kalau dalam perbaikan.

*** 

Ketika, Aku menginjakkan kaki pertama kali. Aura kampung ini terasa beda. Aroma mistiknya terasa kuat sekali. Penduduknya tidaklah terlalu banyak, dan dihuni oleh suku tertentu. 

Aku tugas di kampung ini, ketika rame-ramenya film Kolor Ijo yang di putar TPI setiap malam secara berseri. Bila pemutaran flm tersebut, rumah warga yang mempunyai parabola, rame di serbu warga kampung yang ikut numpang nonton televisi.

Saat berada di kampung ini pula aku mulai dari awal lagi, beradaftasi menyesuaikan diri dengan keadaan dan lingkungan sekitar. Bilang orang lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.

Aku tinggal di sebuah rumah yang dulunya bekas posyandu. Rumah tersebut berada tepat dipinggir jalan raya. Kiri kanan, dan depan ada rumah warga. Tinggal disini tidak sesunyi waktu di daerah transmigrasi. 

Bahkan bisa dikatakan terlalu rame. Karena dikiri dan kanan penghuninya menyukai musik dangdutan dengan menggunakan salon besar, seolah saingan dalam memutar musik.

Untuk menghindari keramaian tersebut, saya hampir setiap malam berkunjung ke rumah teman. Dan kembali lagi kerumah setelah jauh malam. Atau menginap di rumah teman yang saya kunjungi.

Dari kunjungan ke rumah satu ke rumah lain saya mencoba menggali kebenaran adanya makhluk jadi-jadian bernama Parakang dan Pok-pok yang menjadi mitos di kampung ini.

Bahkan seorang bapak yang cepat akrab dengan saya ketika baru saja pindah tugas di kampung ini bernama Pak M, membenarkan cerita yang saya dengar dari pak S. 

Bahkan Pak M mengatakan keluarga yang bisa jadi Parakang tersebut cuman berjarak beberapa rumah dari rumah posyandu yang saya tinggali.

***

Merinding juga mendengar cerita Pak M. Sambil menonton film Kolor Ijo, dan ditemani secangkir kopi dan singgong goreng dan rebus disajikan isteri Pak M, untuk menemani obrolan kami.

" Yang tinggal dirumah ujung jalan itu Pak Riduan, satu keluarga sudah jadi semua, kecuali satu orang yang anak-anak masih usia SD" Kata Pak M.

" Benar Pak Riduan, hati-hati?," Isteri Pak M menimpali.

Aku hanya terdiam. Pak M juga berpesan, orang yang jadi Parakang itu pendiam, tidak banyak bicara. Keluarga yang rumah diujung jalan tersebut, dulunya sangat miskin ketika datang di kampung ini. 

Untuk makan pun mereka mendapatkan belas kasihan warga, yang bisa berbagi sekaleng atau dua kaleng susu berupa beras yang bisa di masak di rumah.

Kemudian suami-isteri itu pulang kesulawesi, setelah beberapa bulan berikutnya mereka kembali lagi ke kampung tersebut. Kehidupan mereka agak sedikit berubah. Kebun ladanya menghasilkan panen yang berlipat, dibanding hasil panen warga lainnya.

Setiap panen lada mereka menghasilkan lada yang berton-ton dikeluarkan dari kebunnya. Bahkan keluarga tersebut saat menurunkan ladanya sampai menjelang magrib karena sangking banyaknya.

Lada tersebut diangkut menggunakan sepeda, dan dibawa ke sungai.

Bila panen lada, anak sungai kecil yang ada dikampung ini, dipenuhi dengan karung-karung lada, yang direndam di air. Dari ujung keujung anak sungai isinya adalah karung lada. Sehingga air sungai berbau lada.

Air sungai dikampung ini tidak begitu dalam, hanya sampai dada orang dewasa dalamnya. Tapi tidak pernah kering, walaupun kemarau panjang. Konon anak-anak sungai yang mengalir di kampung K, bersumber dari mata air yang berada di tengah hutan.

Air yang mengalir di kampung K memang jernih, layaknya air mineral yang terdapat dipegunungan. Namun air sungai tersebut berebah keruh dan hitam bila musim warga kampung merendam lada di sungai.

***

Kedua suami isteri tersebut pulang kampung, konon menuntut ilmu hitam. Dengan perjanjian supaya bisa menjadi kaya raya. Mereka berputus asa dengan kehidupan miskin yang mereka rasakan bertahun-tahun selama ini.

Dari ilmu tersebutlah kata Pak M, mereka menjadi Parakang. Kata Pak M semua warga kampung yang tinggal disini mengetahunya. Dan menjadi rahasia umum, dan warga berjaga-jaga melindungi keluarga mereka dengan barang-barang yang ditakuti Parakang.

"Kalau bertemu Parakang, pukul sekuatnya menggunakan sapu lidi, sekeras-kerasnya, tapi cukup sekali", ujar Pak M yang diamini oleh isterinya.

"Kok bisa begitu Pak?," tanyaku penasaran.

"Pukulan cukup sekali, kalau kita pukul lagi, itu jadi obat. Maka Parakang itu kembali menjadi kuat, dan dengan mudah dia akan mencelakai kita" jelas Pak M.

Aku mulai paham, itu sebabnya setiap warga di kampung ini menaruhkan sapu lidi dibelakang pintu rumah. Baik di pintu depan maupun di pintu dapur.

"Parakang itu bisa menjadi benda-benda, seperti kaleng krupuk, kong guan, jadi hewan seperti sapi, kucing, yang ciri khasnya tidak memiliki ekor. 

Kalau ketemu di jalan ada sapi tanpa ekor, atau kucing tanpa ekor masuk ke rumah bapak, pukul saja Pak Riduan" kata Pak M sambil menyeruput secangkir kopinya yang tinggal setengah.

***

Tak terasa sudah larut malam. Aku pamit pulang dari rumah Pak M. Beliau menawarkan agar aku menginap saja di rumahnya. Tapi tidak enak menginap di rumah Pak M. 

Saat aku pulang, jam sudah menunjukkan pukul 12.00 Wita malam. Sepanjang jalan yang di lalui menuju rumah tempat tinggalku tidak ada penerangan jalan. Kiri kanan ditumbuhi ilalang yang tinggi. 

Berbekal lampu senter, aku menyelusuri jalan setapak menuju pulang ke rumah.

Tiba-tiba, lolongan suara anjing bersahutan dari ujung jalan. Lolongannya menyayat, bagaikan ada sesuatu yang dilihat. Suaranya tidak merata, bergelombang dari ujung jalan sampai keujung jalan lainnya. 

Ujung lolongan tepat berada di sebuah rumah panggung yang terletak di ujung jalan.

Rumah itu berbentuk panggung, dengan bangunannya bertingkat dua. Rumah tersebut lumayan besar, dan terbuat dari kayu ulin. Ada yang terlihat dari bentuk bangunan rumah tersebut, di bagian atasnya terdapat beberapa jendela kecil yang mengeliling. 

Saat saya berdiri didepan ujung jalan, karena rumah tersebut berada di persimpangan empat. Dan salah satu simpang menuju rumah Pak M yang berada di dalam jalan simpangan selurus dengan rumah keluarga yang dianggap Parakang.

Aku merasakan aura mistis saat menatap rumah tersebut. Rumah itu pas jam 12.00 Wita, lampunya dipadamkan di bagian depan. Kesan angkernya sangat terasa. 

Rumah itu sebenarnya dihuni satu keluarga yang terdiri pasangan suami isteri, tiga orang anaknya satu prempuan dan satu anak laki-laki yang sudah remaja, dan satu anak-anak yang masih usia kelas 1 SD.

Aku ingin buru-buru pulang kerumah. Namun seakan kakiku terpaku, tidak bisa digerakkan. Makin di lawan seakan menguras energi yang luar biasa. Sehingga untuk bergerak selangkahpun tidak bisa. 

Apa yang akan terjadi?. lolongan anjing kian kencang. Ada puluhan anjing berlari di sekitar rumah tersebut. Aku hanya pasrah apa yang akan terjadi, sambil membaca doa di dalam hati. Minta perlindungan kepada Tuhan yang Maha pemilik segalanya.

Apapun makhluk yang nantinya akan kulihat, dari keributan yang diikuti lolongan anjing bersahut-sahutan. Anjing berlarian, semua menuju arah rumah tersebut. 

Tidak lama, yang mengerikan dan seumur-umur belum pernah kulihat, akhirnya terlihat juga. Dari jendela-jendela kecil yang ada diloteng rumah tersebut.

Bayangan yang tidak begitu jelas, melesat dari lubang-lubang jendela tersebut. Seperti kepala yang terbang, melayang-layang diudara. Ada sekitar 4 kepala terbang bersamaan, ketika jendela kecil di loteng rumah tersebut terbuka. 

Kepala-kepala itu terbang dengan cepat menuju kearah kampung yang pernah ku bertugas dulu. Lolongan anjingpun mengikutinya. bersahut-sahutan, hingga suara-suara anjing tersebut menghilang.

***

Suara hening kembali. Suara jangkrik malam-malam, terdengar satu-satu. Rumah yang kulihat itu seakan kosong, tidak berpenghuni. Dan senyap sama sekali. 

Keringat dingin membanjiri bajuku. Cepat-cepat aku bergegas pulang kerumah. Apa tadi yang kulihat. Apakah itu Parakang?, atau ini Kuyang. Atau hanya ilusi penglihatanku saja. Aku merasa kurang yakin dengan penglihatan tersebut.

Kalau ilusi, mengapa kakiku terpaku di bumi tidak bisa bergerak. Seakan ada satu kekuatan yang memaksaku untuk menyaksikan kejadian penuh misteri tersebut. 

Energi yang ada di dalam tubuhpun, seakan terkuras, seperti orang sedang berjalan jauh. Hingga keringat dingin membasahi seluruh tubuh.

Syukurnya aku tidak diapa-apakan saat itu. Aku hanya bisa terus berdoa, dilindungi dari berbagai makhluk terkutuk apapun itu namanya. 

Setelah kejadian malam ini, hari-hari berikutnya teror mulai terjadi. Rupanya kejadian yang kulihat baru bagian awal dari mitos Parakang yang ada di kampung ini. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun