Aku mulai paham, itu sebabnya setiap warga di kampung ini menaruhkan sapu lidi dibelakang pintu rumah. Baik di pintu depan maupun di pintu dapur.
"Parakang itu bisa menjadi benda-benda, seperti kaleng krupuk, kong guan, jadi hewan seperti sapi, kucing, yang ciri khasnya tidak memiliki ekor.Â
Kalau ketemu di jalan ada sapi tanpa ekor, atau kucing tanpa ekor masuk ke rumah bapak, pukul saja Pak Riduan" kata Pak M sambil menyeruput secangkir kopinya yang tinggal setengah.
***
Tak terasa sudah larut malam. Aku pamit pulang dari rumah Pak M. Beliau menawarkan agar aku menginap saja di rumahnya. Tapi tidak enak menginap di rumah Pak M.Â
Saat aku pulang, jam sudah menunjukkan pukul 12.00 Wita malam. Sepanjang jalan yang di lalui menuju rumah tempat tinggalku tidak ada penerangan jalan. Kiri kanan ditumbuhi ilalang yang tinggi.Â
Berbekal lampu senter, aku menyelusuri jalan setapak menuju pulang ke rumah.
Tiba-tiba, lolongan suara anjing bersahutan dari ujung jalan. Lolongannya menyayat, bagaikan ada sesuatu yang dilihat. Suaranya tidak merata, bergelombang dari ujung jalan sampai keujung jalan lainnya.Â
Ujung lolongan tepat berada di sebuah rumah panggung yang terletak di ujung jalan.
Rumah itu berbentuk panggung, dengan bangunannya bertingkat dua. Rumah tersebut lumayan besar, dan terbuat dari kayu ulin. Ada yang terlihat dari bentuk bangunan rumah tersebut, di bagian atasnya terdapat beberapa jendela kecil yang mengeliling.Â
Saat saya berdiri didepan ujung jalan, karena rumah tersebut berada di persimpangan empat. Dan salah satu simpang menuju rumah Pak M yang berada di dalam jalan simpangan selurus dengan rumah keluarga yang dianggap Parakang.