Sebuah Kitab yang Hilang
Di sebuah madrasah tua di jantung kota Baghdad, hiduplah seorang ulama besar bernama Syekh Ibrahim. Ia dikenal bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tetapi juga karena kebijaksanaannya dalam mendidik murid-muridnya. Di antara para muridnya, ada seorang pemuda bernama Salim, yang dikenal paling tekun dan setia.
Suatu malam, sebuah kejadian mengejutkan terjadi. Kitab ilmu paling berharga milik Syekh Ibrahim menghilang dari madrasah. Kitab itu bukan sekadar kumpulan tulisan, tetapi berisi hikmah dan ilmu langka yang diwariskan turun-temurun. Dengan suara lirih, Syekh Ibrahim memanggil Salim dan berpesan, "Anakku, kitab itu harus ditemukan. Ia bukan hanya sekadar kumpulan huruf, tetapi cahaya bagi dunia Islam."
Tanpa ragu, Salim berjanji akan menemukan kitab tersebut. Ia memulai perjalanannya dengan mencari petunjuk dari para pedagang, ulama, hingga pengemis di sudut-sudut kota Baghdad. Namun, tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya.
Perjalanan Mencari Kebenaran
Dalam pencariannya, Salim bertemu seorang lelaki tua yang tampak lusuh. "Anak muda, terkadang kebenaran tidak terletak pada apa yang terlihat, tetapi pada apa yang tersembunyi dalam hatimu," ujar lelaki itu sebelum memberikan secarik kertas bertuliskan satu nama: Yusuf Al-Kindi.
Salim segera mencari Yusuf, yang ternyata adalah seorang mantan murid Syekh Ibrahim yang dulu diusir karena kesalahannya. Salim akhirnya menemukannya di sebuah desa kecil di luar kota. Ketika Salim menyebut nama kitab itu, wajah Yusuf berubah pucat.
"Aku tidak mencurinya karena tamak," kata Yusuf dengan suara gemetar. "Aku hanya ingin memahami ilmu yang dulu kutinggalkan." Yusuf kemudian menunjukkan kitab tersebut, masih utuh tanpa ada satu halaman pun yang hilang.
Pilihan yang Sulit
Salim berada di persimpangan. Ia bisa mengambil kitab itu dan kembali ke madrasah, atau ia bisa memilih jalan yang lebih sulit---mengajarkan Yusuf ilmu yang ia cari. Dengan kebijaksanaan yang ia pelajari dari gurunya, Salim memilih yang kedua.
Selama berbulan-bulan, Salim mengajarkan Yusuf isi kitab itu, bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai amalan hidup. Yusuf, yang dulunya keras hati, perlahan berubah menjadi pribadi yang rendah hati dan penuh hikmah.
Kembalinya Cahaya
Akhirnya, setelah Yusuf benar-benar memahami makna ilmu tersebut, ia sendiri yang mengembalikan kitab itu ke madrasah. Syekh Ibrahim, yang kini sudah uzur, tersenyum penuh kebanggaan.
"Ilmu sejati bukanlah yang tertulis di atas kertas, tetapi yang tertanam di hati dan diamalkan dalam kehidupan," ucapnya.
Salim pun tumbuh menjadi ulama besar, melanjutkan perjuangan gurunya dalam menyebarkan ilmu. Kitab yang dulu hilang kini bukan hanya sekadar benda, tetapi telah menjadi warisan dalam hati para pencari ilmu.
Cerita ini mengajarkan bahwa ilmu bukan sekadar sesuatu yang dimiliki, tetapi sesuatu yang harus diajarkan dan diamalkan. Seperti cahaya, ia akan semakin terang ketika dibagikan kepada orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI