Berdasarkan latar belakang di atas, saya mencoba mengusulkan tiga pilar kebahagian berkelanjutan dan merata, yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Pertama, lakukan survei kebahagiaan yang inklusif dan representatif dengan metodologi yang lebih kuat. Pemprov DKI Jakarta seharusnya tidak hanya merayakan hasil survei Time Out, tetapi juga melakukan survei kebahagiaan sendiri yang lebih representatif dan mendalam.
Survei ini harus menggunakan sampling yang memastikan suara dari seluruh segmen ekonomi terdengar: dari warga permukiman kumuh, pekerja informal, hingga kelompok menengah atas.
Indikator kebahagiaan harus diperluas untuk mencakup aspek fundamental, seperti ketersediaan hunian layak, keamanan dari bencana, kualitas udara, dan kesempatan ekonomi.
Survei harus dilakukan secara berkala dan hasilnya dipublikasikan dengan transparansi penuh, termasuk disagregasi data berdasarkan wilayah geografis, tingkat ekonomi, usia, dan gender.
Dengan data yang lebih komprehensif, pemerintah dapat mengidentifikasi kelompok dan wilayah mana saja yang belum merasakan "kebahagiaan" dan mengalokasikan sumber daya untuk mengatasi kesenjangan tersebut.
Kebahagiaan tidak boleh diukur hanya dari persepsi, melainkan juga dari kondisi objektif yang memungkinkan warga untuk hidup dengan layak dan bermartabat.
Kedua, prioritaskan pembangunan infrastruktur dan layanan dasar yang merata di seluruh wilayah Jakarta.
Kebahagiaan yang berkelanjutan membutuhkan fondasi yang kokoh berupa akses universal terhadap kebutuhan dasar.
Pemprov harus mempercepat penyelesaian 161 RW kumuh yang masih menanti penataan dengan menyediakan hunian layak dan terjangkau.
Sistem transportasi publik harus diperluas hingga menjangkau wilayah-wilayah pinggiran yang selama ini terabaikan, tidak hanya fokus pada koridor utama di pusat kota.