Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jakarta Kota Bahagia: Antara Survei Internasional dan Realitas Keseharian Warga

15 Oktober 2025   09:54 Diperbarui: 15 Oktober 2025   18:16 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bahagia, negara paling bahagia di dunia. (Freepik via Kompas.com)

Baru-baru ini, media asal Inggris, Time Out, menobatkan Jakarta sebagai kota paling bahagia urutan ke-18 di dunia berdasarkan survei tahunan yang melibatkan lebih dari 18 ribu penduduk kota di berbagai negara.

Jakarta, bersanding dengan kota-kota besar, seperti Tokyo, Sydney, Abu Dhabi yang menempati posisi pertama, Medellin di urutan kedua, dan Cape Town di posisi ketiga.

Survei tersebut, menggunakan sejumlah indikator: seni dan budaya, kuliner, kenyamanan berjalan kaki, keterjangkauan, kualitas hidup, kebahagiaan, dan kehidupan malam.

Khusus untuk kebahagiaan, ada lima indikator utama yang diukur, mulai dari apakah kota membuat bahagia, hingga apakah rasa kebahagiaan di kota tersebut telah tumbuh pesat belakangan ini.

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, pun menanggapi hasil survei ini dengan antusias, meski dengan nada bercanda.

Dilansir dari Kompas.com, dalam pernyataannya di Kebayoran Lama Utara pada 13 Oktober 2025, ia mengatakan pencapaian ini sejalan dengan visinya: "Yang seperti saya lakukan berulang kali, saya memang ingin Jakarta itu menjadi aman, nyaman, bahagia."

Ia, bahkan melontarkan komentar jenaka: "Saya tidak tahu, mungkin yang survei Time Out itu tahu gubernurnya suka bahagia sehingga surveinya menjadi bahagia."

Pramono menilai, peringkat ini mencerminkan kebersamaan dan gotong royong warga setelah melewati berbagai dinamika, mencontohkan bagaimana aktivitas publik seperti Car Free Day kembali ramai dengan kegiatan lari dan masyarakat yang ingin menikmati hidup.

Dilansir dari Berita Jakarta, Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta, Muhammad Thamrin, juga mengaku bangga atas capaian ini, menilainya sebagai bukti Jakarta terus berkembang tidak hanya sebagai pusat ekonomi, tetapi juga sebagai kota yang semakin nyaman untuk dihuni.

Ia mengapresiasi pengembangan budaya, kuliner, dan ruang publik yang semakin menarik. Namun, ia juga mengakui, pencapaian ini justru menjadi motivasi untuk terus memperbaiki diri karena masih banyak aspek yang perlu ditingkatkan seperti transportasi publik, kualitas udara, ruang terbuka hijau, dan pemerataan akses fasilitas publik.

Kesenjangan antara persepsi survei dan kenyataan struktural

Di balik euforia predikat "kota bahagia," terdapat kesenjangan yang menganga antara persepsi yang ditangkap survei dengan realitas struktural yang dihadapi sebagian besar warga Jakarta.

Seorang warga Jakarta Timur yang aktif membahas Jakarta melalui media sosial mengaku terkejut dengan hasil survei. Ia menyoroti ketimpangan sosial, pembangunan, dan budaya yang masih terlihat jelas di berbagai wilayah

Warga lain menilai, program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, belum sepenuhnya menjangkau masyarakat menengah ke bawah.

Urgensi masalah ini terletak pada pertanyaan mendasar: kebahagiaan siapa yang diukur oleh survei ini?

Ketika metodologi survei mengandalkan responden yang mayoritas merupakan pengguna internet dan memiliki akses terhadap platform internasional seperti Time Out, ada kemungkinan besar suara yang tertangkap adalah suara segmen menengah ke atas, yang memang menikmati perkembangan Jakarta.

Sementara itu, jutaan warga yang tinggal di permukiman kumuh, yang berjuang dengan transportasi yang tidak memadai karena tidak semua wilayah terlayani angkutan umum, yang menghirup udara berpolusi setiap hari, atau yang harus berjalan di trotoar yang dipenuhi pedagang kaki lima, suara mereka kemungkinan tidak terdengar dalam survei ini.

Masalah struktural yang lebih dalam adalah bahwa indikator kebahagiaan yang digunakan survei Time Out lebih menekankan pada aspek gaya hidup dan konsumsi: kehidupan malam, kuliner, budaya, dan pengalaman sehari-hari.

Ini adalah aspek-aspek yang penting, tetapi tidak menyentuh isu-isu fundamental yang menentukan kualitas hidup jangka panjang: ketersediaan hunian layak dengan harga terjangkau, keamanan dari bencana banjir, dan udara bersih.

Seorang warga yang bekerja 12 jam sehari dengan upah minimum, pulang ke rumah kontrakan sempit di kawasan padat, mungkin tidak akan merasa "bahagia," meski Jakarta memiliki banyak restoran dan kehidupan malam yang semarak, karena ia tidak memiliki waktu dan uang untuk menikmatinya.

Kebahagiaan tidak berkelanjutan tanpa keadilan sosial dan pemerataan

Hemat saya, predikat "kota paling bahagia" bagi Jakarta, adalah capaian yang bersifat parsial dan berpotensi menyesatkan jika tidak ditempatkan dalam konteks yang lebih luas.

Kebahagiaan yang diukur oleh survei Time Out lebih mencerminkan kepuasan segmen tertentu masyarakat Jakarta terhadap aspek gaya hidup urban, bukan kebahagiaan yang merata dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Tanpa mengatasi ketimpangan struktural yang ada, kebahagiaan ini hanya akan menjadi ilusi bagi mayoritas warga.

Argumen pertama berkaitan dengan bias metodologi survei. Survei Time Out yang mengandalkan responden online cenderung menangkap suara kelompok yang memiliki akses internet, literasi digital, dan waktu luang untuk mengisi survei tentang kehidupan malam dan kuliner.

Ini bukan representasi dari seluruh warga Jakarta. Sebagai perbandingan, data BPS menunjukkan, tingkat kemiskinan di Jakarta masih signifikan, dengan Kepulauan Seribu mencatat angka kemiskinan tertinggi mencapai 12,98 persen pada 2017.

Permukiman kumuh masih tersebar di berbagai wilayah, dari Karet Tengsin hingga Tambora. Apakah warga yang tinggal di permukiman kumuh dengan sanitasi yang buruk dan risiko banjir merasakan "kebahagiaan" yang sama dengan responden survei yang menikmati kehidupan malam Jakarta?

Sangat kecil kemungkinannya. Predikat "kota bahagia" yang tidak disertai dengan data disagregasi berdasarkan kelas ekonomi dan wilayah geografis berpotensi menutupi ketimpangan yang sebenarnya.

Argumen kedua menyangkut ketidakberlanjutan kebahagiaan yang bersifat konsumtif. Kebahagiaan yang didasarkan pada akses terhadap kuliner, kehidupan malam, dan ruang publik yang menarik adalah kebahagiaan yang rapuh, karena sangat bergantung pada daya beli.

Ketika ekonomi memburuk, ketika harga sembako naik, ketika pekerjaan hilang, kebahagiaan jenis ini akan segera menguap.

Kebahagiaan yang berkelanjutan, seharusnya dibangun di atas fondasi yang lebih kokoh: jaminan hunian layak, lingkungan yang bersih dan aman, serta kesempatan ekonomi yang merata.

Argumen ketiga berkaitan dengan bahaya narasi kebahagiaan yang mengabaikan masalah struktural.

Ketika pemerintah dan media merayakan predikat "kota bahagia," ada risiko masalah-masalah mendesak yang belum terselesaikan akan terabaikan.

Kemacetan yang tiada henti, proyek galian yang mengganggu lalu lintas, polusi udara yang mencapai level berbahaya, trotoar yang tidak berfungsi karena diduduki pedagang, sistem transportasi yang belum menjangkau seluruh wilayah secara merata, semua ini adalah masalah nyata yang mengurangi kualitas hidup warga sehari-hari.

Ketika narasi kebahagiaan mendominasi, ada bahaya bahwa keluhan-keluhan dari warga akan dianggap sebagai "tidak bersyukur" atau "terlalu pesimis," padahal keluhan ini adalah realitas yang harus dihadapi dan diselesaikan.

Tiga pilar kebahagiaan berkelanjutan dan merata

Berdasarkan latar belakang di atas, saya mencoba mengusulkan tiga pilar kebahagian berkelanjutan dan merata, yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh Pemprov DKI Jakarta.

Pertama, lakukan survei kebahagiaan yang inklusif dan representatif dengan metodologi yang lebih kuat. Pemprov DKI Jakarta seharusnya tidak hanya merayakan hasil survei Time Out, tetapi juga melakukan survei kebahagiaan sendiri yang lebih representatif dan mendalam.

Survei ini harus menggunakan sampling yang memastikan suara dari seluruh segmen ekonomi terdengar: dari warga permukiman kumuh, pekerja informal, hingga kelompok menengah atas.

Indikator kebahagiaan harus diperluas untuk mencakup aspek fundamental, seperti ketersediaan hunian layak, keamanan dari bencana, kualitas udara, dan kesempatan ekonomi.

Survei harus dilakukan secara berkala dan hasilnya dipublikasikan dengan transparansi penuh, termasuk disagregasi data berdasarkan wilayah geografis, tingkat ekonomi, usia, dan gender.

Dengan data yang lebih komprehensif, pemerintah dapat mengidentifikasi kelompok dan wilayah mana saja yang belum merasakan "kebahagiaan" dan mengalokasikan sumber daya untuk mengatasi kesenjangan tersebut.

Kebahagiaan tidak boleh diukur hanya dari persepsi, melainkan juga dari kondisi objektif yang memungkinkan warga untuk hidup dengan layak dan bermartabat.

Kedua, prioritaskan pembangunan infrastruktur dan layanan dasar yang merata di seluruh wilayah Jakarta.

Kebahagiaan yang berkelanjutan membutuhkan fondasi yang kokoh berupa akses universal terhadap kebutuhan dasar.

Pemprov harus mempercepat penyelesaian 161 RW kumuh yang masih menanti penataan dengan menyediakan hunian layak dan terjangkau.

Sistem transportasi publik harus diperluas hingga menjangkau wilayah-wilayah pinggiran yang selama ini terabaikan, tidak hanya fokus pada koridor utama di pusat kota.

Kualitas udara harus menjadi prioritas dengan pengendalian emisi kendaraan yang lebih ketat, penanaman pohon masif, dan pengurangan aktivitas industri yang berpolusi.

Trotoar harus benar-benar dikembalikan kepada fungsinya untuk pejalan kaki, termasuk penyandang disabilitas, dengan menata pedagang kaki lima ke lokasi alternatif yang layak.

Investasi dalam infrastruktur dan layanan dasar ini mungkin tidak seksi dan tidak menghasilkan publisitas seperti festival seni atau kehidupan malam yang semarak, tetapi inilah yang akan menciptakan kebahagiaan jangka panjang yang merata.

Ketiga, bangunlah mekanisme partisipasi warga dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan secara berkelanjutan.

Kebahagiaan tidak dapat ditentukan oleh pemerintah atau survei internasional semata. Warga sendiri yang harus menjadi subjek aktif dalam mendefinisikan apa yang membuat mereka bahagia dan bagaimana mencapainya.

Pemprov DKI harus membangun mekanisme partisipasi yang memungkinkan warga dari semua latar belakang untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, dan usulan secara berkala.

Forum musyawarah warga harus dilembagakan di setiap kelurahan dengan kewenangan nyata untuk mempengaruhi anggaran dan kebijakan di wilayah mereka.

Platform digital pengaduan dan saran harus responsif dengan jaminan tindak lanjut yang transparan. Pemerintah harus secara rutin melaporkan progres penyelesaian masalah-masalah yang dikeluhkan warga, bukan hanya melaporkan capaian yang terlihat bagus.

Libatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok-kelompok rentan dalam proses perumusan kebijakan untuk memastikan kebijakan benar-benar menyentuh kebutuhan mereka.

Dengan partisipasi yang bermakna, kebijakan tidak akan lagi bersifat top-down, melainkan akan mencerminkan aspirasi nyata warga, dan ini akan menciptakan rasa kepemilikan dan kebahagiaan yang lebih autentik.

Penutup

Sebagai penutup, predikat Jakarta sebagai kota paling bahagia urutan ke-18 di dunia versi Time Out adalah capaian yang patut disyukuri, tetapi tidak boleh membuat kita berpuas diri.

Di balik angka survei tersebut, masih ada jutaan warga Jakarta yang berjuang dengan ketimpangan, keterbatasan akses, dan ketidakadilan struktural.

Kebahagiaan yang dirayakan oleh survei internasional mungkin nyata bagi segmen tertentu masyarakat Jakarta, tetapi belum menjadi kenyataan bagi seluruh warga.

Tiga solusi yang ditawarkan: survei kebahagiaan yang inklusif dan representatif, prioritas pada infrastruktur dan layanan dasar yang merata, serta mekanisme partisipasi warga yang bermakna, adalah langkah konkrit untuk mengubah kebahagiaan yang parsial menjadi kebahagiaan yang berkelanjutan dan merata.

Kebahagiaan sejati bukan hanya tentang kuliner yang beragam, kehidupan malam yang semarak, atau Car Free Day yang ramai.

Kebahagiaan sejati adalah ketika setiap warga Jakarta, tanpa terkecuali, dapat hidup dengan layak dan bermartabat: memiliki tempat tinggal yang aman, bernapas dengan udara bersih, berjalan di trotoar yang nyaman, dan memiliki kesempatan ekonomi yang adil.

Jakarta dapat menjadi kota yang benar-benar bahagia, tetapi hanya jika kebahagiaan itu dibangun di atas fondasi keadilan sosial dan pemerataan pembangunan.

Saatnya kita tidak hanya merayakan angka survei, melainkan bekerja keras untuk memastikan bahwa kebahagiaan itu dapat dirasakan oleh setiap warga Jakarta, dari Kepulauan Seribu hingga Jakarta Timur, dari penghuni gedung pencakar langit hingga warga permukiman kumuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun