Argumen pertama berkaitan dengan bias metodologi survei. Survei Time Out yang mengandalkan responden online cenderung menangkap suara kelompok yang memiliki akses internet, literasi digital, dan waktu luang untuk mengisi survei tentang kehidupan malam dan kuliner.
Ini bukan representasi dari seluruh warga Jakarta. Sebagai perbandingan, data BPS menunjukkan, tingkat kemiskinan di Jakarta masih signifikan, dengan Kepulauan Seribu mencatat angka kemiskinan tertinggi mencapai 12,98 persen pada 2017.
Permukiman kumuh masih tersebar di berbagai wilayah, dari Karet Tengsin hingga Tambora. Apakah warga yang tinggal di permukiman kumuh dengan sanitasi yang buruk dan risiko banjir merasakan "kebahagiaan" yang sama dengan responden survei yang menikmati kehidupan malam Jakarta?
Sangat kecil kemungkinannya. Predikat "kota bahagia" yang tidak disertai dengan data disagregasi berdasarkan kelas ekonomi dan wilayah geografis berpotensi menutupi ketimpangan yang sebenarnya.
Argumen kedua menyangkut ketidakberlanjutan kebahagiaan yang bersifat konsumtif. Kebahagiaan yang didasarkan pada akses terhadap kuliner, kehidupan malam, dan ruang publik yang menarik adalah kebahagiaan yang rapuh, karena sangat bergantung pada daya beli.
Ketika ekonomi memburuk, ketika harga sembako naik, ketika pekerjaan hilang, kebahagiaan jenis ini akan segera menguap.
Kebahagiaan yang berkelanjutan, seharusnya dibangun di atas fondasi yang lebih kokoh: jaminan hunian layak, lingkungan yang bersih dan aman, serta kesempatan ekonomi yang merata.
Argumen ketiga berkaitan dengan bahaya narasi kebahagiaan yang mengabaikan masalah struktural.
Ketika pemerintah dan media merayakan predikat "kota bahagia," ada risiko masalah-masalah mendesak yang belum terselesaikan akan terabaikan.
Kemacetan yang tiada henti, proyek galian yang mengganggu lalu lintas, polusi udara yang mencapai level berbahaya, trotoar yang tidak berfungsi karena diduduki pedagang, sistem transportasi yang belum menjangkau seluruh wilayah secara merata, semua ini adalah masalah nyata yang mengurangi kualitas hidup warga sehari-hari.
Ketika narasi kebahagiaan mendominasi, ada bahaya bahwa keluhan-keluhan dari warga akan dianggap sebagai "tidak bersyukur" atau "terlalu pesimis," padahal keluhan ini adalah realitas yang harus dihadapi dan diselesaikan.