Di balik euforia predikat "kota bahagia," terdapat kesenjangan yang menganga antara persepsi yang ditangkap survei dengan realitas struktural yang dihadapi sebagian besar warga Jakarta.
Seorang warga Jakarta Timur yang aktif membahas Jakarta melalui media sosial mengaku terkejut dengan hasil survei. Ia menyoroti ketimpangan sosial, pembangunan, dan budaya yang masih terlihat jelas di berbagai wilayah
Warga lain menilai, program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, belum sepenuhnya menjangkau masyarakat menengah ke bawah.
Urgensi masalah ini terletak pada pertanyaan mendasar: kebahagiaan siapa yang diukur oleh survei ini?
Ketika metodologi survei mengandalkan responden yang mayoritas merupakan pengguna internet dan memiliki akses terhadap platform internasional seperti Time Out, ada kemungkinan besar suara yang tertangkap adalah suara segmen menengah ke atas, yang memang menikmati perkembangan Jakarta.
Sementara itu, jutaan warga yang tinggal di permukiman kumuh, yang berjuang dengan transportasi yang tidak memadai karena tidak semua wilayah terlayani angkutan umum, yang menghirup udara berpolusi setiap hari, atau yang harus berjalan di trotoar yang dipenuhi pedagang kaki lima, suara mereka kemungkinan tidak terdengar dalam survei ini.
Masalah struktural yang lebih dalam adalah bahwa indikator kebahagiaan yang digunakan survei Time Out lebih menekankan pada aspek gaya hidup dan konsumsi: kehidupan malam, kuliner, budaya, dan pengalaman sehari-hari.
Ini adalah aspek-aspek yang penting, tetapi tidak menyentuh isu-isu fundamental yang menentukan kualitas hidup jangka panjang: ketersediaan hunian layak dengan harga terjangkau, keamanan dari bencana banjir, dan udara bersih.
Seorang warga yang bekerja 12 jam sehari dengan upah minimum, pulang ke rumah kontrakan sempit di kawasan padat, mungkin tidak akan merasa "bahagia," meski Jakarta memiliki banyak restoran dan kehidupan malam yang semarak, karena ia tidak memiliki waktu dan uang untuk menikmatinya.
Kebahagiaan tidak berkelanjutan tanpa keadilan sosial dan pemerataan
Hemat saya, predikat "kota paling bahagia" bagi Jakarta, adalah capaian yang bersifat parsial dan berpotensi menyesatkan jika tidak ditempatkan dalam konteks yang lebih luas.
Kebahagiaan yang diukur oleh survei Time Out lebih mencerminkan kepuasan segmen tertentu masyarakat Jakarta terhadap aspek gaya hidup urban, bukan kebahagiaan yang merata dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Tanpa mengatasi ketimpangan struktural yang ada, kebahagiaan ini hanya akan menjadi ilusi bagi mayoritas warga.