Prioritas anggaran mencerminkan prioritas politik, dan fakta bahwa hunian layak tidak mendapat alokasi anggaran memadai menunjukkan, bahwa hak dasar warga atas tempat tinggal belum dianggap sebagai prioritas utama.
Tiga pilar reformasi kebijakan perumahan yang patut dipertimbangkan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, saya mengusulkan tiga pilar reformasi kebijakan yang patut dipertimbangkan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Pertama, implementasikan kebijakan rumah susun milik dengan subsidi penuh bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pemerintah DKI mesti membangun rumah susun sederhana milik dengan skema subsidi penuh atau cicilan sangat rendah, yang benar-benar terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan.
Cicilan bulanan tidak boleh melebihi 30 persen dari penghasilan, sehingga untuk keluarga yang berpenghasilan Rp4 juta per bulan, cicilan maksimal adalah Rp1,2 juta.
Untuk mencapai ini, pemerintah mesti menyediakan subsidi signifikan, bukan sekadar Rp250 miliar, tetapi alokasi anggaran triliunan rupiah yang proporsional dengan skala masalah.
Manfaatkan aset-aset Pemprov DKI yang belum optimal, bangun rumah susun dengan konsep fungsi ganda di atas pasar dan kantor seperti yang telah direncanakan, dan pastikan unit-unit ini dialokasikan melalui mekanisme yang transparan dan adil, bukan melalui jalur yang rawan korupsi dan nepotisme.
Kedua, terapkan pajak apartemen kosong dan regulasi wajib hunian terjangkau dalam setiap pembangunan.
Pemerintah DKI mesti berani mengeluarkan regulasi yang mengenakan pajak progresif tinggi pada apartemen yang tidak dihuni dalam jangka waktu lebih dari satu tahun.
Apartemen kosong adalah pemborosan sumber daya kota yang langka, dan pemilik atau pengembang yang membiarkan unit kosong mesti menanggung beban pajak yang signifikan.
Pajak ini akan mendorong pengembang untuk menurunkan harga atau menjual ke pemerintah dengan harga yang wajar untuk program hunian terjangkau.