Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Apartemen Kosong, Jutaan Warga Terlantar: Apakah Hunian Layak Hanya Ilusi?

6 Oktober 2025   23:33 Diperbarui: 7 Oktober 2025   10:11 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi apartemen. (Shutterstock/Grand Warszawski via Kompas.com)

Paradoks apartemen kosong di tengah krisis hunian mengungkap kegagalan fundamental dalam sistem penyediaan perumahan di Jakarta.

Masalah ini bukan sekadar tentang ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan, melainkan tentang ketimpangan struktural dalam akses terhadap hunian layak.

Apartemen-apartemen yang dibangun oleh pengembang dirancang untuk segmen pasar menengah ke atas, dengan harga yang jauh melampaui kemampuan mayoritas warga Jakarta.

Akibatnya, unit-unit ini tetap kosong karena target pasarnya terbatas, sementara jutaan warga yang membutuhkan hunian tidak mampu menjangkaunya.

Urgensi masalah ini terletak pada dampak sosial dan ekonomi yang masif. Lebih dari 1,7 juta rumah tangga tinggal dalam kondisi tidak layak huni, rumah dengan struktur rapuh, sanitasi buruk, ventilasi tidak memadai, atau bahkan di bantaran sungai dan kolong jembatan.

Kondisi hunian yang tidak layak, tentunya berdampak langsung pada kesehatan, produktivitas, dan martabat kemanusiaan.

Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang tidak sehat, pekerja kehilangan waktu produktif mereka karena jarak tempuh yang jauh akibat tidak mampu tinggal dekat pusat kerja, dan keluarga hidup tanpa privasi dan keamanan dasar.

Keterbatasan lahan di Jakarta memperparah situasi. Pemerintah daerah kesulitan mendapatkan lahan yang dapat dijadikan lokasi rumah susun sederhana sewa, karena harga tanah yang menjulang tinggi dan spekulasi lahan yang tak terkendali.

Memang, Pemprov DKI Jakarta, sudah membangun lebih dari 32.000 unit rumah susun (Rusun). Namun, jumlah tersebut masih jauh dari cukup dengan kebutuhan hunian di Jakarta (JaKita).

Sementara itu, pengembang swasta terus membangun apartemen mewah yang lebih menguntungkan secara komersial, menciptakan siklus ketimpangan yang terus berulang.

Harga hunian yang terlalu tinggi, bukan hanya membuat masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak dapat mengakses rumah, melainkan juga masyarakat berpenghasilan tanggung: guru, perawat, pegawai swasta dengan gaji standar, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi kota.

Kebijakan hunian mesti berorientasi pada hak dasar, bukan sekadar solusi pasar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun