Selasa, 13 Mei 2025 yang lalu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, mengungkapkan fakta mengejutkan, usai pertemuan dengan sejumlah pengembang senior dari Real Estat Indonesia (REI).
Menurutnya, cukup banyak unit apartemen siap huni yang belum terjual, baik di Jakarta maupun di luar Jakarta (Idntimes.com).
Pernyataan ini menambah ironi dalam krisis perumahan yang dialami ibu kota: di satu sisi, apartemen-apartemen modern berdiri megah namun kosong. Di sisi lain, jutaan warga Jakarta masih kesulitan mengakses hunian layak.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Jakarta Kelik Indriyanto mengonfirmasi, kekurangan rumah di Jakarta mencapai 1,3 juta unit (Kompas).
Data lebih rinci menunjukkan, bahwa kekurangan kebutuhan berdasarkan kepemilikan rumah atau kekosongan hunian mencapai 1.195.627 pada 2024, sementara rumah tangga dengan rumah tidak layak huni sebanyak 1.757.106 (Kompas).
Angka-angka ini bukan sekadar statistik belaka, melainkan representasi dari ratusan ribu keluarga yang terpaksa tinggal dalam kondisi tidak manusiawi, atau bahkan tidak memiliki tempat tinggal sama sekali.
Menanggapi situasi ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana bekerja sama dengan pengembang untuk memanfaatkan apartemen-apartemen kosong, serta aset-aset provinsi, guna penyediaan hunian terjangkau milik.
Diketahui bahwa pemerintah provinsi telah menyiapkan anggaran sebesar Rp250 miliar untuk program penyaluran hunian terjangkau milik (Kompas).
Sementara itu, Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia Jakarta, bekerja sama dengan dinas perumahan menyiapkan program hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan tanggung.
Sejumlah apartemen siap huni yang masih kosong, rencananya bakal dilepas dengan harga jual maksimal Rp11,8 juta per meter persegi, ditargetkan berjalan mulai tahun ini (Kompas).
Ketimpangan akses dan kegagalan mekanisme pasar
Paradoks apartemen kosong di tengah krisis hunian mengungkap kegagalan fundamental dalam sistem penyediaan perumahan di Jakarta.
Masalah ini bukan sekadar tentang ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan, melainkan tentang ketimpangan struktural dalam akses terhadap hunian layak.
Apartemen-apartemen yang dibangun oleh pengembang dirancang untuk segmen pasar menengah ke atas, dengan harga yang jauh melampaui kemampuan mayoritas warga Jakarta.
Akibatnya, unit-unit ini tetap kosong karena target pasarnya terbatas, sementara jutaan warga yang membutuhkan hunian tidak mampu menjangkaunya.
Urgensi masalah ini terletak pada dampak sosial dan ekonomi yang masif. Lebih dari 1,7 juta rumah tangga tinggal dalam kondisi tidak layak huni, rumah dengan struktur rapuh, sanitasi buruk, ventilasi tidak memadai, atau bahkan di bantaran sungai dan kolong jembatan.
Kondisi hunian yang tidak layak, tentunya berdampak langsung pada kesehatan, produktivitas, dan martabat kemanusiaan.
Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang tidak sehat, pekerja kehilangan waktu produktif mereka karena jarak tempuh yang jauh akibat tidak mampu tinggal dekat pusat kerja, dan keluarga hidup tanpa privasi dan keamanan dasar.
Keterbatasan lahan di Jakarta memperparah situasi. Pemerintah daerah kesulitan mendapatkan lahan yang dapat dijadikan lokasi rumah susun sederhana sewa, karena harga tanah yang menjulang tinggi dan spekulasi lahan yang tak terkendali.
Memang, Pemprov DKI Jakarta, sudah membangun lebih dari 32.000 unit rumah susun (Rusun). Namun, jumlah tersebut masih jauh dari cukup dengan kebutuhan hunian di Jakarta (JaKita).
Sementara itu, pengembang swasta terus membangun apartemen mewah yang lebih menguntungkan secara komersial, menciptakan siklus ketimpangan yang terus berulang.
Harga hunian yang terlalu tinggi, bukan hanya membuat masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak dapat mengakses rumah, melainkan juga masyarakat berpenghasilan tanggung: guru, perawat, pegawai swasta dengan gaji standar, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi kota.
Kebijakan hunian mesti berorientasi pada hak dasar, bukan sekadar solusi pasar
Hemat saya, pendekatan pemerintah dalam mengatasi krisis hunian Jakarta masih terlalu bergantung pada mekanisme pasar dan belum sepenuhnya mengakui hunian layak sebagai hak dasar warga negara.
Program yang ditawarkan, seperti pemanfaatan apartemen kosong dengan harga maksimal Rp11,8 juta per meter persegi, masih menempatkan hunian sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai kebutuhan fundamental, yang mesti dijamin aksesnya bagi seluruh warga tanpa diskriminasi ekonomi.
Argumen pertama berkaitan dengan ketidakterjangkauan harga yang ditawarkan. Apartemen dengan harga Rp11,8 juta per meter persegi berarti unit berukuran 36 meter persegi akan dijual sekitar Rp424,8 juta.
Dengan asumsi kredit pemilikan rumah selama 20 tahun dengan bunga 8 persen per tahun, cicilan bulanan akan mencapai sekitar Rp3,5 juta.
Jumlah ini, jauh melampaui kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah, yang penghasilannya di bawah Rp5 juta per bulan, bahkan memberatkan masyarakat berpenghasilan tanggung, dengan gaji Rp7-10 juta per bulan.
Dengan kata lain, program ini hanya akan menguntungkan segmen masyarakat menengah, yang memang sudah memiliki akses relatif lebih baik, sementara 1,7 juta rumah tangga yang hidup dalam hunian tidak layak, tetap terpinggirkan.
Argumen kedua menyangkut ketidakadilan dalam alokasi lahan dan sumber daya kota. Ketika pengembang swasta terus membangun apartemen mewah yang akhirnya kosong karena tidak terjangkau, ini menunjukkan lahan terbatas Jakarta tidak dialokasikan untuk kepentingan publik yang lebih luas.
Pemerintah, semestinya memiliki kebijakan yang lebih intervensionis dalam mengatur peruntukan lahan: mewajibkan pengembang menyediakan persentase tertentu dari pembangunan mereka untuk hunian terjangkau, atau mengenakan pajak progresif pada apartemen kosong yang tidak dihuni dalam jangka waktu tertentu.
Membiarkan apartemen-apartemen kosong berdiri megah, sementara jutaan warga tidak memiliki tempat tinggal yang layak, adalah bentuk pemborosan sumber daya kota yang tak dapat dibenarkan.
Argumen ketiga berkaitan dengan kurangnya komitmen anggaran. Anggaran Rp250 miliar yang disiapkan Pemprov DKI untuk program penyaluran hunian terjangkau terdengar besar, namun kalau dibagi untuk kebutuhan 1,3 juta unit hunian, hanya akan menghasilkan subsidi sekitar Rp192 ribu per unit, jumlah yang sangat tidak signifikan, bukan!
Ini menunjukkan bahwa pemerintah belum memprioritaskan penyelesaian krisis hunian sebagai agenda utama. Bandingkan misalnmya dengan anggaran pembangunan infrastruktur jalan atau gedung perkantoran yang mencapai triliunan rupiah.
Prioritas anggaran mencerminkan prioritas politik, dan fakta bahwa hunian layak tidak mendapat alokasi anggaran memadai menunjukkan, bahwa hak dasar warga atas tempat tinggal belum dianggap sebagai prioritas utama.
Tiga pilar reformasi kebijakan perumahan yang patut dipertimbangkan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, saya mengusulkan tiga pilar reformasi kebijakan yang patut dipertimbangkan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Pertama, implementasikan kebijakan rumah susun milik dengan subsidi penuh bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pemerintah DKI mesti membangun rumah susun sederhana milik dengan skema subsidi penuh atau cicilan sangat rendah, yang benar-benar terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan.
Cicilan bulanan tidak boleh melebihi 30 persen dari penghasilan, sehingga untuk keluarga yang berpenghasilan Rp4 juta per bulan, cicilan maksimal adalah Rp1,2 juta.
Untuk mencapai ini, pemerintah mesti menyediakan subsidi signifikan, bukan sekadar Rp250 miliar, tetapi alokasi anggaran triliunan rupiah yang proporsional dengan skala masalah.
Manfaatkan aset-aset Pemprov DKI yang belum optimal, bangun rumah susun dengan konsep fungsi ganda di atas pasar dan kantor seperti yang telah direncanakan, dan pastikan unit-unit ini dialokasikan melalui mekanisme yang transparan dan adil, bukan melalui jalur yang rawan korupsi dan nepotisme.
Kedua, terapkan pajak apartemen kosong dan regulasi wajib hunian terjangkau dalam setiap pembangunan.
Pemerintah DKI mesti berani mengeluarkan regulasi yang mengenakan pajak progresif tinggi pada apartemen yang tidak dihuni dalam jangka waktu lebih dari satu tahun.
Apartemen kosong adalah pemborosan sumber daya kota yang langka, dan pemilik atau pengembang yang membiarkan unit kosong mesti menanggung beban pajak yang signifikan.
Pajak ini akan mendorong pengembang untuk menurunkan harga atau menjual ke pemerintah dengan harga yang wajar untuk program hunian terjangkau.
Selain itu, setiap pembangunan apartemen atau perumahan baru mesti diwajibkan menyediakan minimal 30 persen unit untuk kategori hunian terjangkau dengan harga yang diatur ketat oleh pemerintah.
Aturan ini sudah diterapkan di banyak kota besar dunia, seperti Singapura dan London, dan terbukti efektif mencegah gentrifikasi, serta memastikan keberagaman ekonomi dalam satu kawasan.
Ketiga, bangun ekosistem hunian terjangkau yang terintegrasi dengan transportasi publik dan lapangan kerja.
Hunian terjangkau tidak boleh dibangun di pinggiran kota yang jauh dari akses transportasi dan lapangan kerja, karena ini hanya memindahkan masalah dari ketidakmampuan membeli rumah, menjadi beban transportasi yang tinggi dan waktu tempuh yang panjang.
Pemerintah DKI mesti memastikan setiap rumah susun sederhana yang dibangun terintegrasi dengan stasiun MRT, LRT, atau halte Transjakarta, sehingga penghuni dapat dengan mudah mengakses tempat kerja mereka.
Selain itu, di sekitar hunian terjangkau mesti dikembangkan pusat-pusat ekonomi lokal seperti pasar tradisional modern, ruang usaha mikro dengan sewa terjangkau, dan fasilitas publik seperti sekolah, puskesmas, dan taman.
Konsep kota terintegrasi ini akan memastikan, bahwa masyarakat berpenghasilan rendah tidak hanya mendapat tempat tinggal, tetapi juga akses terhadap peluang ekonomi dan layanan publik yang berkualitas.
Yang juga tak kalah penting dalam kebijakan ini, libatkan warga dalam perencanaan dan pengelolaan hunian melalui sistem koperasi atau paguyuban, sehingga mereka memiliki rasa kepemilikan dan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan hunian.
Penutup
Paradoks apartemen kosong di tengah krisis hunian adalah cerminan dari kegagalan sistemik dalam melihat perumahan sebagai hak dasar, bukan komoditas pasar.
Ketika 1,3 juta unit hunian dibutuhkan sementara ratusan apartemen berdiri kosong karena terlalu mahal, ini bukan sekadar masalah ketidakseimbangan pasar, melainkan masalah keadilan sosial yang mendasar.
Tiga solusi yang ditawarkan: subsidi penuh untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pajak apartemen kosong dan regulasi hunian terjangkau wajib, serta pembangunan ekosistem terintegrasi, adalah langkah konkrit yang membutuhkan kemauan kuat dan komitmen anggaran yang serius.
Pemerintah tidak boleh lagi memperlakukan hunian layak sebagai masalah pasar yang akan terselesaikan dengan sendirinya melalui mekanisme penawaran dan permintaan.
Hunian layak adalah hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945. Saatnya untuk Jakarta membuktikan, bahwa memiliki hunian yang layak bukan lagi mimpi atau ilusi belaka, tetapi hak yang dapat diakses oleh setiap warga, tanpa terkecuali.
Transformasi ini bukan hanya tentang membangun gedung, tetapi tentang membangun kota yang adil dan manusiawi untuk semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI