Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Apartemen Kosong, Jutaan Warga Terlantar: Apakah Hunian Layak Hanya Ilusi?

6 Oktober 2025   23:33 Diperbarui: 7 Oktober 2025   10:11 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi apartemen. (Shutterstock/Grand Warszawski via Kompas.com)

Hemat saya, pendekatan pemerintah dalam mengatasi krisis hunian Jakarta masih terlalu bergantung pada mekanisme pasar dan belum sepenuhnya mengakui hunian layak sebagai hak dasar warga negara.

Program yang ditawarkan, seperti pemanfaatan apartemen kosong dengan harga maksimal Rp11,8 juta per meter persegi, masih menempatkan hunian sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai kebutuhan fundamental, yang mesti dijamin aksesnya bagi seluruh warga tanpa diskriminasi ekonomi.

Argumen pertama berkaitan dengan ketidakterjangkauan harga yang ditawarkan. Apartemen dengan harga Rp11,8 juta per meter persegi berarti unit berukuran 36 meter persegi akan dijual sekitar Rp424,8 juta.

Dengan asumsi kredit pemilikan rumah selama 20 tahun dengan bunga 8 persen per tahun, cicilan bulanan akan mencapai sekitar Rp3,5 juta.

Jumlah ini, jauh melampaui kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah, yang penghasilannya di bawah Rp5 juta per bulan, bahkan memberatkan masyarakat berpenghasilan tanggung, dengan gaji Rp7-10 juta per bulan.

Dengan kata lain, program ini hanya akan menguntungkan segmen masyarakat menengah, yang memang sudah memiliki akses relatif lebih baik, sementara 1,7 juta rumah tangga yang hidup dalam hunian tidak layak, tetap terpinggirkan.

Argumen kedua menyangkut ketidakadilan dalam alokasi lahan dan sumber daya kota. Ketika pengembang swasta terus membangun apartemen mewah yang akhirnya kosong karena tidak terjangkau, ini menunjukkan lahan terbatas Jakarta tidak dialokasikan untuk kepentingan publik yang lebih luas.

Pemerintah, semestinya memiliki kebijakan yang lebih intervensionis dalam mengatur peruntukan lahan: mewajibkan pengembang menyediakan persentase tertentu dari pembangunan mereka untuk hunian terjangkau, atau mengenakan pajak progresif pada apartemen kosong yang tidak dihuni dalam jangka waktu tertentu.

Membiarkan apartemen-apartemen kosong berdiri megah, sementara jutaan warga tidak memiliki tempat tinggal yang layak, adalah bentuk pemborosan sumber daya kota yang tak dapat dibenarkan.

Argumen ketiga berkaitan dengan kurangnya komitmen anggaran. Anggaran Rp250 miliar yang disiapkan Pemprov DKI untuk program penyaluran hunian terjangkau terdengar besar, namun kalau dibagi untuk kebutuhan 1,3 juta unit hunian, hanya akan menghasilkan subsidi sekitar Rp192 ribu per unit, jumlah yang sangat tidak signifikan, bukan!

Ini menunjukkan bahwa pemerintah belum memprioritaskan penyelesaian krisis hunian sebagai agenda utama. Bandingkan misalnmya dengan anggaran pembangunan infrastruktur jalan atau gedung perkantoran yang mencapai triliunan rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun