Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ada Asa dalam Cinta - Bagian 45

8 Januari 2015   23:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:31 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14174301761325464123

Kisah sebelumnya: (Bagian 44)

(Bagian 45)

“Sesuatu yang lain” itu tentulah perasaan hatinya yang kacau-balau. Ia tidak menduga sama-sekali, momentum bertemu Carmen secara tidak sengaja saat sedang jogging di Gelora Bung Karno akan membuatnya berubah. Tadinya, saat bertemu Cinta di sebuah mini-market dan kemudian dilanjutkan makan malam bersama, ia mengira akan mulai menyukai kembali teman SMA-nya itu. Apalagi dahulu ia memang pernah “naksir berat” kepada Cinta. Tetapi saat ia tahu Carmen punya hobby yang sama dengan adiknya, ia malah merasa seperti ada “klik” dengan sahabat Cinta itu.

Baru saja ia kembali berkomunikasi via SMS dengan Carmen. Mereka kembali membicarakan basket dan pengaturan waktu agar Carmen bisa bertemu adiknya. Disepakati Sabtu pekan ini mereka akan kembali bertemu. Bertiga dengan adik kandungnya. Dan entah kenapa, rencana itu saja sudah membuat Borne merasa perlu mempersiapkan sesuatu. Tapi apa?

Saat ini, Borne tidak punya sahabat. Ia kebingungan hendak “curhat” kepada siapa untuk persoalan pribadi seperti ini. Kalau sekedar soal pekerjaan atau keahlian, ia punya banyak teman untuk itu. Tetapi ini soal hati, kepada siapa ia musti berkonsultasi?

Entah datang dari mana ide itu, Borne malah memikirkan Cinta. Apakah mungkin baginya bicara soal ini kepada Cinta? Setelah beberapa menit merenungkannya, Borne memutuskan tidak ada salahnya. Maka, ia pun mengirimkan SMS kepada Cinta.

-Halo Cinta… lagi sibuk apa nih di kantor?-

Setelah meletakkan smartphone-nya, Borne pun kembali melanjutkan pekerjaan. Waktu hampir jam setengah dua belas siang. Sebentar lagi jam istirahat makan siang.

Tak lama, muncul balasan dari Cinta.

- Hai Borne. Gue lagi di luar kantor sih… Apa kabar nih?-

Borne pun membalas lagi.

- Gue baik dan sehat. Eh, elu ada waktu kosong nggak? Gue mau ngobrol nih…-

Sesaat, tidak ada balasan dari Cinta. Dan ketika SMS masuk, jawabannya mengejutkan Borne.

- Sekarang ada. Mau lunch bareng?-

Tawaran itu segera disambarnya.

- Boleh. Mau di mana?-

Cinta segera menjawab.

- Gimana kalau di Sarinah Thamrin? Banyak pilihan di sana…-

Borne pun segera setuju.

- OK. Ketemu jam berapa di sana?-

Cinta menjawab cepat.

- Yah, paling telat jam 1an deh. Tapi gw sih bisa smp sblm itu… terserah lu aja-

Borne menjawab segera.

- Siap. G naik busway aja biar cepet… Kontak2an aja kalo udah smp TKP-

Jawaban Cinta pun datang mengakhiri komunikasi SMS yang berlangsung tak lebih dari 2 menit itu.

- OK. C u there-

Borne pun memutuskan mengakhiri pekerjaannya yang memang sedang tidak dateline itu. Ia save semua progress dan mematikan laptop-nya. Menyambar sling bag-nya, Borne pun pergi keluar kantor menuju ke Sarinah Thamrin.

Meski secara geografis dekat, tetapi dari kantor Borne di gedung World Trade Center jalan Sudirman menuju ke Sarinah Thamrin harus memutar di jembatan Semanggi. Seperti biasa, lalu lintas di kawasan segitiga emas Jakarta selalu padat di tiga waktu: pagi hari waktu berangkat kantor, siang hari waktu makan siang, dan sore hari waktu pulang kantor. Maka, sudah harus dimaklumi bila siang itu macet. Dengan alasan logis itu, Borne memilih meninggalkan mobil mahalnya di kantor dan menggunakan sarana transportasi umum Trans Jakarta yang secara salah kaprah disebut “busway”.

Meski dijanjikan terjadwal, tetapi jelas semua tahu kalau “maklum” dan “sabar” merupakan kata yang harus diterapkan saat menggunakan angkutan umum. Borne pun harus melakoninya. Sekitar 10 menit ia menunggu bus yang tak kunjung datang. Terlihat sebentar, tetapi tentu terasa lama karena harus berdiri. Maka, ketika bus jurusan Blok M-Kota itu datang, Borne pun segera naik.

Di dalam bus, matanya bersirobok dengan seorang wanita yang duduk di area khusus penumpang wanita. Borne merasa mengenalinya. Dan wanita yang dipandanginya pun merasakan hal yang sama. Ia melambaikan tangan dan Borne membalasnya dengan tersenyum. Sayangnya Borne tak bisa mendekati karena area itu terlarang bagi lelaki.

Setibanya di halte Sarinah Thamrin, Borne pun turun. Tanpa diduganya, wanita itu juga turun. Mereka terpaut jarak beberapa langkah. Ketika sudah turun dari jembatan dan tiba di areal parkir, terdengar suara teriakan wanita itu memanggil, “Borne! Tungguin gue dong! Borne!”

Mendengar namanya dipanggil, serta-merta Borne melambatkan langkah, berhenti dan menoleh. Ia melihat wanita di dalam bus tadi berlari-lari kecil ke arahnya. Borne memainkan smartphone-nya sembari menunggu wanita itu mendekat.

“Hai! Lu kok lari aja sih? Gak suka ya ketemu gue?” sapa wanita itu begitu mereka sudah bertemu. Berdua, mereka melanjutkan perjalanan.

“Yah, gimana? Gue gak tahu lu juga turun di sini…,” jawab Borne diplomatis.

Wanita itu meninju lengan Borne, “Ah, sombong lu sekarang… Sok gak kenal…”

“Sok gak kenal gimana? Ini kan gue nungguin lu…” tukas Borne.

“Gimana kabar lu cinta?” tanya wanita itu sambil memandangi Borne yang berjalan lurus menatap ke depan.

“Baik. Masih bisa jalan…,” ujar Borne singkat.

“Ah, lu mah gitu… sinis banget sih sama gue?” wanita itu seperti merajuk.

“Sinis gimana? Gue kan cuma jawab apa adanya…,” ujar Borne santai.

“”Ya udah, mau ke mana lu?” tanya wanita yang mengenakan pakaian khas pekerja kantoran. Rok mini dipadu atasan kemeja putih berpola polkadot hitam kecil. Di lehernya dipermanis dengan kalungan syal berwarna-warni.

“Lunch-lah… ke mana lagi?” jawab Borne seperti tidak berminat bercakap-cakap. Dan memang ia tidak berminat bicara panjang dengan wanita itu sebenarnya.

“Ah, cinta… lunch di mana? Gue ikut dong…,” wanita itu mengajukan diri.

Borne berhenti di depan sebuah restoran cepat saji. “Caroline, berhenti manggil gue cinta. Kan kita udah gak ada apa-apa toh? Dan sori, lu gak bisa ikut gue lunch. Gue ada janji sama temen.”

Wanita yang ternyata bernama Caroline itu mengernyit, “Ah, elu… beneran jadi sombong sih. Eh, temen apatemen?”

Borne berkata tegas dan singkat, “Temen. Udah ya…” Dan Borne pun melangkah lebih dulu meninggalkan Caroline di belakang. Tak mau ditinggal, Caroline segera mengejar dan tetap menjajari Borne. Saat itu, terasa di tangannya smartphone yang digenggam bergetar. Borne pun segera mengangkatnya tanpa permisi kepada Caroline.

“Halo Cinta, udah di mana?” sapa Borne membuka percakapan. Ia berhenti dan menepi agar tidak menghalangi arus hilir-mudik mobil di areal parkir tersebut.

Suara di ujung sana menjawab, “Gue baru parkir nih. Lu udah sampe?”

“Udah, gue udah turun dari busway kok. Udah di parkiran juga. Mau ketemuan di mana?” tawar Borne.

“Ya terserah, lu yang pilih. Mau nraktir gue kan?” tembak Cinta langsung.

Borne terkekeh. “Iya deh…. Emang gue yang ngajak sih. Jadi wajar aja kalo gue wajib nraktir. Mmm… tapi enaknya di mana ya?”

Cinta menyela, “Eh, boleh usul nggak?”

Borne yang memang sedang ‘males mikir’ menjawab cepat, “Sok atuh... malah seneng gue.”

Cepat Cinta menyambar usulan itu. “Gimana kalo di resto Jepang? Mau lu?”

“Gue mah apa aja. Yang penting kenyang…,” jawab Borne.

“Ya udah. Eh, tapi kita ketemu dulu biar masuk sananya bareng. Daripada cari-carian di dalam resto malah gak enak. Di mana lu sekarang?” tanya Cinta.

Borne menjawab cepat seraya menyebutkan lokasi berdirinya saat itu di depan sebuah restoran cepat saji asal negara Paman Sam. Cinta pun setuju untuk menuju ke tempat Borne berada. Ia meminta Borne menunggu karena ia masih harus memasang kunci stang sebelum turun dari mobil. Borne setuju.

“Ciee…. Udah ada cinta yang lain nih? Udah move on ceritanya?” ledek Caroline. Borne seperti baru tersadar masih ada wanita itu di sampingnya.

“Eh, elu tuh ya… kepo banget. Temen gue ini emang namanya Cinta, tau?” jawab Borne sambil mendelik kepada Caroline.

“Oh, gitu? Romantis amat… dobel cinta dong?” Caroline tertawa.

“Dobel cinta gimana?” Borne bingung.

“Yaaa… kan kalo lu lagi ngerayu, Cinta… gue cinta sama lu… Gitu kan?” Caroline menjelaskan dengan nada mengesalkan.

Borne menampakkan wajah kesal, “Eh, elu tuh ya… Gue kan udah bilang, dia itu temen.”

“Temen kok muka lu merah gitu?” ledek Caroline.

“Merah gimana? Ini kepanasan tauk!” kilah Borne. Siang itu, matahari memang terasa terik menyengat. Caroline tertawa. Alasan Borne memang masuk akal, tetapi terasa seperti dicari-cari. Karena wajah pria itu memang sumringah saat bicara di telepon dengan Cinta.

Dari kejauhan,Borne melihat Cinta datang ke arah mereka. Ia terpaksa mempersiapkan diri memperkenalkan mereka berdua. Satu hal yang membuatnya enggan karena tampaknya justru hal itulah yang diinginkan Caroline. Tentu Borne enggan mantan pacarnya yang pernah menyakiti hatinya itu justru harus diperkenalkan kepada wanita yang berprospek menjadi pacarnya. Borne sendiri masih membuka kemungkinan hatinya untuk Cinta. Walau ia sungguh tidak tahu bagaimana perasaan Cinta kepadanya. Tiga pertemuan dalam empat hari mungkin bisa menunjukkan indikasi bahwa Cinta sendiri merasa tidak masalah dengan pertemanan mereka sekarang. Wanita yang pernah marah kepadanya di masa SMA itu tampaknya tahu bahwa Borne sudah berubah jauh. Dan dengan kedewasaannya, ia mau menerima kembali hadirnya Borne dalam kehidupannya.

“Hai Borne! Gue gak tau lu sama temen…,” sapa Cinta begitu mereka bertemu. Caroline yang semula membelakangi arah Cinta datang menoleh. Ia melihat sosok wanita cantik yang begitu percaya diri.


Dengan berat hati, Borne memperkenalkan mereka berdua, “Cinta, kenalkan ini Caroline. Caroline, Cinta.”


“Halo…. Nama kamu bagus banget…,” puji Caroline sambil tersenyum.

“Ah, biasa aja… namamu kali yang cakep… secakep orangnya,” Cinta balas memuji.

“Hehe… nama gue mah kayak suara yang jawab kalo telepon ke CS-nya provider ponsel…,” seloroh Caroline. Cinta berpikir sesaat, ia baru ingat kalau salah satu penyedia layanan telepon genggam di Indonesia memang pernah menggunakan singkatan nama Caroline untuk menamai jasa customer service-nya. Tapi ia tentu tidah hendak memakai itu untuk merendahkan wanita di hadapannya. Maka ia hanya berkilah, “Ah, bisa aja… Btw, kita makan yuk…”

Borne gelagapan dan segera menyela, “Eh, kita itu gue sama lu aja Cinta… Caroline ini ada keperluan lain… Dia udah mau pergi kok. Iya kan?”

Mata Caroline tampak berkilat, ia melihat ada kesempatan untuk ‘masuk’ ke area privasi Borne, “Sebenernya sih nggak…” Ia lalu memandang ke arah Cinta, “Boleh nggak gue gabung sama kalian? Eh, kalau gak ganggu kencannya lho…”

Sebagai sesama wanita, tentu tidak elok apabila menolak permintaan itu. Maka dengan ringan Cinta menjawab, “Why not? Lagian gue gak kencan kok… Cuma lunch bareng aja… Aduh!” Cinta melotot. Lengan kanannya tiba-tiba dicubit Borne dengan tangan kirinya. “Apaan sih?”

Borne malah balik melotot kepada Cinta, mulutnya bergerak-gerak tapi tanpa suara. Menunjukkan gesture jengkel. Caroline pura-pura tidak melihat. Borne menggelengkan kepala sambil tetap melotot.

“Buat alesan, dia jangan ikut,” Borne berkata tanpa suara.

Cinta membaca gerak bibir Borne dan membalas, “Kenapa?”

“Udah, entar aja. Jangan,” Borne masih berkata tanpa suara dengan gesture jelas menunjukkan rasa keberatan bila Caroline bergabung makan siang dengan mereka.

Cinta kebingungan mencari alasan. “Caroline, sori, kayaknya gue musti pergi dulu deh bareng Borne ke satu tempat sebelum makan. Sori ya…. gue lupa,” akhirnya Cinta mengeluarkan “jurus menghindar”-nya.

Caroline tahu itu tidak benar, cuma alasan belaka. Tapi tentu tidak sopan kalau ia memaksa. Meski gayanya sepa’, tapi toh Caroline masih tahu diri. Maka ia pun menjawab santai, “Oh, ya udah kalo gitu. Gue cabut deh… Dah Cinta… Bubay cinta…” Tanpa diduga, Caroline mencium pipi kanan Borne sekilas. Lalu melambai sebelum melangkah pergi. Borne terkejut, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghindarinya karena cepatnya kejadian itu. Sementara Cinta mengernyitkan dahi melihatnya.

(Bersambung besok)

Catatan: Mohon maaf karena kesulitan teknis, kemarin Rabu (7/1) serial ini absen hadir).

---------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun