Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

4 Tindakan Preventif agar Kisah Cinta Tidak Berakhir dengan KDRT

14 Februari 2023   07:06 Diperbarui: 15 Februari 2023   18:28 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Freepik/Master1305 via Kompas.com

Seorang sastrawan juga penulis yang saya kagumi dengan karya-karya sastranya, menulis banyak autobiografi. Sebagian besar autobiografinya ditulis dalam bentuk novel. Dalam sebagian karya+karyanya tersebut dikisahkan tentang kehidupan biduk rumah tangganya. 

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah karakter suami si penulis. Suaminya memiliki karakter kasar dan pemarah. Suaminya gampang sekali tersulut emosi bahkan hanya karena hal-hal kecil. 

Sebelum menikah, perilaku asli suaminya tidak kelihatan. Saat pacaran, suaminya berlaku lemah lembut dan penyayang. Si penulis pun seperti tersihir akan panah asmara yang ditembakkan. 

Takbutuh waktu lama pacaran, si penulis langsung menerima lamaran sang kekasih. Si penulis pun berhenti dari pekerjaannya sebagai pramugari, dan mengikuti suaminya yang seorang diplomat. 

Usai menikah, sifat asli suaminya muncul. Berbanding terbalik dengan yang ditunjukkan saat masa pacaran. Suaminya sering melontarkan bentakan dan makian. 

Tidak hanya itu, sikap suaminya pun sering kali begitu merendahkannya. Suaminya lebih mendengarkan pendapat orang lain daripada pendapat istrinya. Termasuk dalam hal pengasuhan anak. 

Ketika pertengkaran terjadi, teriakan-teriakan suaminya memenuhi rumah. Anak-anak mereka yang lahir kemudian sering ketakutan karenanya. Terlebih ketika suaminya ketahuan selingkuh, pertengkaran kerap terjadi.

Suaminya memang tidak melakukan kekerasan secara fisik, tetapi kekerasan secara psike (jiwa). Sang penulis hidup dalam situasi batin yang tertekan, bertahun-tahun. 

Sangat disayangkan, penulis dan suaminya tidak mampu memperbaiki pernikahan mereka. Sang penulis pun berselingkuh dengan seorang pelaut. Pasangan ini akhirnya resmi bercerai setelah lebih dari 20 tahun berumah tangga.

***

Dikutip dari Direktorat Jenderal Hak Asasi manusia, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) mencakup segala bentuk kekerasan yang disebabkan oleh karena adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban yang terjadi dalam rumah tangga. 

KDRT dapat terjadi dalam hubungan antara suami dan istri, pun antara orangtua dan anak. Tidak hanya fisik. Kekerasan yang menekan jiwa atau emosional seseorang pun bisa sangat menyakitkan.

Siapapun yang sudah menikah tidak ingin kisah cintanya berakhir dengan KDRT. Hanya saja, seringkali impian indahnya pernikahan tidak terwujud.

Hal ini bisa terjadi, mungkin saja karena beberapa sebab. Salah satunya adalah karena mengabaikan beberapa hal saat masa pendekatan atau masapacaran. Padahal beberapa hal tersebut sangat penting sebagai tindakan preventif agar tidak masuk dalam pernikahan yang rentan KDRT.

Ambil waktu dan buka mata lebar-lebar

Sebelum memutuskan untuk menikah, sebaiknya kita mengenal calon pasangan dengan sesungguhnya. Baik karakter, perilaku, pekerjaan, keluarga, teman-teman, latar belakang, budaya, suku, pandangan hidup, dan sebagainya. Hal ini bertujuan agar kita tidak menjatuhkan pilihan pada orang yang salah. 

Untuk bisa mengenal seseorang dengan lebih dalam, membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Saya rasa membutuhkan waktu paling tidak satu tahun.

Tidak mungkin bisa mengenal seseorang hanya dalam waktu satu dua bulan. Apalagi bila jarang bertemu dan jarang berkomunikasi.

Masa pacaran sebaiknya dijadikan momen untuk saling mengenal satu sama lain. Buka mata lebar-lebar, terutama pada karakter dan perilaku calon pasangan.

Misal, bagaimana sikapnya ketika berjumpa masalah, dan apa saja yang bisa menyulut emosinya. Masa pacaran juga kita jadikan sebagai masa penilaian dan adaptasi. 

Sering berkomunikasi dan diskusi pun menjadi salah satu cara mencari tahu karakter asli pasangan. Banyak hal bisa menjadi topik diskusi. Berbagai masalah dalam pekerjaan salah satunya.

Dalam berdiskusi akan terlihat bagaimana sikap calon pasangan kita. Apakah ada percikan-percikan emosi dalam pembicaraan. Atau apakah ada lontaran makian dan kata-kata kotor yang keluar.

Meskipun makian dan perkataan kotor itu ditujukan pada pihak-pihak lain, bukti tersebut menunjukkan sebagian karakternya yang emosional. Bukan tidak mungkin, setelah menikah nanti, makian dan perkataan-perkataan kotor itu ditujukan kepada pasangannya.

Sebaliknya, kita juga bisa mengumpulkan nilai plus dalam setiap diskusi. Sikap tenang dan emosi yang terkontrol dari calon pasangan bisa menjadi nilai plus. Apalagi ditambah dengan perkataan-perkataan sopan, nilai plusnya semakin meningkat.

Sangat berbahaya jika tetap memaksa meneruskan hubungan dengan seorang yang emosional. Apalagi dalam masa pacaran sudah berani membentak-bentak, memaki, terlebih "main tangan".

Hanya sayangnya, banyak orang yang menuup mata saat pacaran. Terjadi pada kaum hawa, khususnya. 

Dengan alasan sudah telanjur cinta, enggan mengakhiri hubungan. Tetap keukeuh menikah meski mengetahui pasti calon suaminya seorang pemarah dan emosional.

Padahal, menjalani pernikahan tidak cukup dengan modal perasaan dan cinta. Apalagi cinta buta. Pikiran rasuonal juga harus dikedepankan. 

Bila menutup mata dari segala kekurangan calon pasangan, bisa fatal akibatnya. Alih-alih surga, neraka yang dijumpai dalam pernikahan. 

Temukan pasangan yang seimbang

Kita sering mendengar orang berkata, cari pasangan yang penting seiman.

Namun, saya mendengar seorang penasihat pernikahan pernah berkata, seiman saja ternyata tidak cukup. Bukan hanya seiman, kita juga sebaiknya menemukan pasangan yang seimbang dengan kita.

Karena pasangan yang seiman saja belum tentu seinbang. Misalkan saja, sama-sama Kristen. Seiman sih, tapi yang satu lebih suka pergi ke gereja, yang satu lebih suka ke diskotek. Tentu ini tidak seimbang. Jomplang sekali. 

Atau seperti saya. Saya tidak suka laki-laki perokok. Maka ketika gadis dulu, saya mencari pria yang seiman, juga yang tidak merokok. Jadi seimbang, kami sama-sama tidak suka rokok. 

Seandainya saya hanya mengedepankan jodoh yang penting seiman, tetapi pria itu perokok, akan fatal akibatnya. Pastinya rumah tangga kami akan ribut setiap hari gara-gara rokok. 

Artinya, ketidakseimbangan dapat menyulut konflik. Konflik bisa muncul dari hal-hal kecil. Hal-hal kecil ini pula yang sering kali diabaikan saat pacaran. 

Akhirnya, hal -hal kecil ini menjelma menjadi masalah begitu menikah. Bila dibiarkan terus, konflik-konflik tersebut akan membesar. Dapat memicu KDRT baik fisik maupun mental. Terakhir, bisa berujung menghancurkan biduk pernikahan.

Seimbang disini bukan berarti harus sama persis, tetapi minimal tidak ada perbedaan yang mencolok. Diantaranya juga seimbang dalam hal visi misi dan dalam pandangan hidup. Termasuk juga seimbang dari sisi prinsip-prinsip dalam menjalani kehidupan.

Adanya keseimbangan antara dua orang dalam wadah pernikahan akan memperkecil konflik. Hal ini terjadi karena ada keselarasan dalam menjalani hidup. Arah biduk rumah tangga akan semakin jelas dengan adanya keseimbangan. 

Membuat kesepakatan

Sebelum menikah, saya banyak ngobrol dan diskusi dengan suami. Melalui obrolan dan diskusi, kami menyelaraskan visi dan misi kami ke depan setelah memasuki pernikahan. 

Dalam beberapa sesi obrolan kami juga membuat beberapa kesepakatan. Ide kesepakatan tersebut datang dari saya. Ide tersebut muncul karena saya tidak mau mengalami hal buruk dalam pernikahan saya. 

Salah satunya tentang kesetiaan. Sejak semula saya tegaskan bahwa saya hanya menginginkan pernikahan monogami. Hal ini seturut dengan ajaran iman percaya kami.

Jadi, no poligami, no poliandri, no divorce, dan tidak ada perselingkuhan dalam pernikahan. 

Saya nengajak suami untuk bersepakat dulu dengan hal tersebut. Ketika suami bersepakat, barulah kami melangkah lebih jauh. 

Banyak rumah tangga yang berujung pada KDRT karena ketidaksetiaan. Mulai dari kebiasaan suami yang suka "jajan", selingkuh, punya wanita simpanan, bahkan menikah lagi. 

Oleh sebab itu kesepakatan perlu dilakukan. Sebelum menikah, setiap pasangan bisa membuat kesepakatan terhadap berbagai hal. Terutama dalam hal-hal yang bersifat prinsip. 

Tujuannya, tidak lain agar suami dan istri seiring sejalan. Tidak satu ke utara, satu ke selatan. Pun agar rumah tangga tentram dan damai. Jarang ribut-ribut, minim pertengkaran, apalagi sampai terjadi KDRT.

Pertimbangkan pendapat orang terdekat

Bila perlu, kita bisa meminta pendapat orang terdekat. Orang yang sudah berpengalaman lebih dulu menjalani hidup. Misalnya orangtua. 

Bagaimanapun, orangtua sudah lebih dulu menjalani kehidupan rumah tangga. Mereka sudah lebih dulu berlayar dalam asam manisnya pernikahan.

Oleh karena itu, kemungkinan mereka pun sudah memiliki intuisi yang lebih baik dari kita. 

Kita minta pendapat mereka perihal calon pasangan kita. Bagaimana pandangan mereka terhadap pilihan kita. 

Jika tidak ada pandangan negatif dari mereka, artinya jalan kita lancar. Namun, bila ada pandangan negatif, kita bisa mempertimbangkannya. Jangan sampai ada penyesalan di kemudian hari. 

***

Beberapa poin yang saya sampaikan di atas bukan hanya sekadar opini/teori tanpa pratik. Justrru opini di atas berangkat dari pengalaman sendiri.

Saya lakukan poin-poin di atas sebelum memutuskan menikah dengan suami, 15 tahun silam. Puji Tuhan, saya mendapatkan suami yang luar biasa sabar. (MW) 

***

Artikel event KPB
Bulan kasih sayang
Say no to KDRT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun