Mohon tunggu...
Benyamin Melatnebar
Benyamin Melatnebar Mohon Tunggu... Dosen - Enjoy the ride

Enjoy every minute

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nightmare Basement

30 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   15:20 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab III

Menemukan Rumah

Aku mulai mencari-cari jalan setapak yang tadi kulalui. Entah berapa kali, ranting - ranting kecil melukai betis dan kakiku. Aku terlihat sangat kotor dan menjijikkan. Tangan dan kakiku dipenuhi luka, goresan dan darah yang hampir kering menemani basahnya tubuhku. Aku tidak kuat, karena haus yang teramat sangat. Aku terjatuh dan menabrak sebuah sumur tua, bajuku terkait di bibir sumur. Aku mencoba bangkit, pakaianku robek seketika. Tidak dapat kugambarkan kondisiku saat ini. Pakaianku sudah tidak berbentuk, robek di bagian perut dan noda akibat tanah, lumpur sudah menempel di tubuhku. Aku tidak perduli. Yang aku pentingkan saat ini, aku harus menemukan rumahku dan minta maaf pada ayah.

Dari kejauhan nampak samar, aku merasakan bahwa rumahku sudah dekat. Biasanya feelingku kadang benar. Walaupun pekatnya malam menghalangi pandanganku, aku menerobosnya tanpa henti. Berlari dan terus berlari. Aku lelah dan penuh ketakutan akan situasi alam yang masih sangat baru disekitarku. Aku berhenti sejenak, aku merasakan ada seseorang menguntitku. Sepertinya seorang anak kecil. Aku menoleh ke belakang, tetapi tidak melihat siapa-siapa di belakangku. Lalu aku melihat ke depan lagi. Sekonyong- konyong sebuah potongan kepala sampai ke perut menghadang tepat di depanku, tubuh itu sepertinya bekas potongan. Darah dan luka di seluruh kepala dan badannya. Kepala itu tidak berbentuk, luka bacokan tepat di dahinya. Ia menangis dan minta tolong kepadaku. Aku bergidik ngeri, aku menghindar dari potongan tubuh itu, meninggalkannya dan berlari kembali. Aku ketakutan dan tidak kuasa untuk berdiri. Aku terjatuh dan terjerembab pada sebuah kubangan kotor tempat makanan ternak. Ada makanan ternak, pikirku, berarti ada rumah penduduk di sekitar sini. Aku mulai mencari – cari dalam kegelapan. Terus berlari menerjang kegelapan. Iya, itu dia rumahku. Aku berlari sekencang-kencangnya. Masuk ke rumahku. Pintu tidak terkunci. Aku mulai membuka pintu dan mulai berteriak.

“Ayah, ayah di mana ? ” Tidak ada suara balasan.

Apakah ayah sedang mencariku saat ini? Pikirku. Aku takut sekali di rumah sendirian. Kukunci pintu, melewati ruang tamu menuju lorong ke arah ruang makan, mengambil gelas, menuangkan air dari teko di atas meja makan dan menghabiskan 2 gelas air putih untuk menghentikan dehidrasi berkepanjangan yang aku rasakan sejak siang tadi. Aku menyalakan beberapa lampu teras dan ruang makan. Kunaiki anak tangga dan langsung menuju kamar mandi, kunyalakan shower lalu membersihkan tubuhku. Kulitku terasa sangat perih dan ngilu, terutama akibat luka – luka kecil di tangan, sekitar kakiku dan betisku. Kudengar pintu terbuka. “ Siapa disana? “ Teriakku. Kukeringkan tubuh dan mengenakan pakaian bersih. “ Rifki, ini ayah! “ Teriak suara dari balik pintu. Aku mengeringkan tubuhku, mengenakan pakaian bersih dari lemari, menjemur handukku. Lalu aku buka pintu kamar, menuruni anak tangga, menyusuri lorong dan menuju pintu ruang tamu. Aku buka pintu dan langsung memeluk ayahku.


“ Kamu ke mana, sayang? Ayah mencarimu dari sore tadi. ” Ucap ayahku dengan nada tinggi. Ayah langsung memelukku dan mengatakan, “ kamu tidak apa-apa sayang? “ Aku mengangguk. Kemudian ia mengatakan padaku bahwa, ia tidak akan memaafkan dirinya bila terjadi sesuatu pada diriku. Ia mengatakan dengan lembut bahwa ia sangat menyayangiku.  “ Maafkan aku ayah. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi. “ Dan aku mengatakan perlahan, “ aku juga sayang ayah. “ Ayah memeriksa tubuhku dan melihat beberapa luka di tubuhku. “ Kamu kenapa sampai mendapatkan luka - luka seperti ini? “ Ungkap ayahku. Aku membalasnya, tadi aku terjatuh dan luka - luka itu akibat ilalang dan ranting pohon yang tajam. “  Ayahku berkata, “ kamu tidak bohongkan sama ayah? “ Ia menyusuri lorong dan menuju dapur. Mengambil sebuah wadah diisi air panas yang ia ambil dari dispenser, mengambil obat antiseptik dari kotak P3K di rak bergantung khusus obat di ruangan pemisah antara dapur dan ruang makan, lalu menuangkan obat itu secukupnya, kemudian mengambil beberapa kapas. Ayah kembali menyusuri lorong dan menuju ruang tamu. Ia duduk di sampingku di sofa. Lalu ayah membersihkan luka-lukaku dengan lembut lalu mengoleskan cairan obat antiseptik di tempat luka - lukaku.

Lalu, ayah menuntunku ke ruang makan. Ia telah membeli soto betawi di dekat perkampungan sebelah. Kami menyantap makan malam dan mengobrol berdua. Ayah mengatakan bahwa aku sudah bisa masuk semester baru di kelas lima. Di Sekolah Dasar Negeri dua mulai bulan depan. Itu artinya tiga minggu dari sekarang, pikirku. Aku mengangguk padanya dan berkata “ Baik ayah. “ Selesai makan, aku mencuci piring kotor kami. Lalu, aku segera menyusuri lorong, menaiki anak tangga dan menuju kamar tidurku di lantai dua. Aku menggosok gigi, cuci muka dan kakiku. Kemudian aku Membuka pakaianku dan menggantinya dengan piyama biru muda kesukaanku. Aku melihat bayangan gelap dari luar yang seolah masuk ke kamarku. Huffffttttt, aku menarik nafas panjang, ternyata hanya bayangan ranting pohon kering di area kebunku. Segera aku menutup gorden jendelaku. Sejenak aku berpikir, bukannya aku tadi sudah menutup gorden kamarku, kenapa bisa terbuka lagi? Pikirku.

Ukuran kamarku tidak terlalu besar, di dalamnya ada sebuah tempat tidur terbuat dari kayu jati dengan pahatan seni tinggi ala Jepara. Sebuah lemari tua agak besar berwarna kecoklatan dengan gagangnya yang hampir lepas, lemari ini cukup kokoh. Di dalamnya aku menyimpan pakaianku, buku komik dan tentu saja mainan-mainan kesuakaanku. Di dinding atas, tepat menghadap tempat tidurku ada sebuah lukisan indah bergambar pemandangan yang menceritakan tujuh bidadari yang turun dari khayangan. Aku selalu mengganggap bahwa lukisan itu seperti sungguhan, karena goresan kuas dengan catnya membuatnya seolah – olah nampak hidup. Seakan bergerak menyesuaikan ritme kehidupan yang nyata. Ada sebuah meja belajar, yang di atasnya berserakan buku - buku dan laptop kecil pemberian ibu. Lalu sebuah jemuran kecil tepat di sebelahnya tepat di samping pintu kamar mandi. Iya, kamar mandi ini terletak di sebelah kanan pojok di dalam kamarku. Ayah memilih rumah ini, karena ada kamar mandi ini yang memudahkan aku untuk buang air kecil di malam hari, karena aku tipe anak yang mudah sekali buang air kecil. Haha lucu sekali, pikirku. Ayah masuk ke kamarku dan segera duduk di pinggir tempat tidur. Dan menarik selimutku menutupi diriku sampai ke pinggangku dan mencium keningku. Aku berkata padanya. “ Ayah, kalau aku takut, bolehkah aku tidur bersama Ayah. Aku merasa masih sangat asing dengan lingkungan baru dan rumah ini. Boleh ya yah? “

“ Masak jagoan ayah takut tidur sendirian. “ ucapnya sambil tersenyum. 

“ Baiklah yah, aku berani kok. Aku akan menunjukkan padanya kalau malam ini, aku bisa tidur sendirian. “ ucapku sambil membela diri, bahwa aku berani. Waktu menunjukkan pukul 23.30. Aku tidak bisa memejamkan mataku. Selain karena takut, menurutku rumah ini agak menyeramkan. Aku buka pintu kamarku dan berlari menuruni anak tangga lalu menuju kamar ayah. Aku mengetuk kamarnya dan berkata, “ ayah, aku mau tidur sama ayah. Aku takut, yah. “ Setelah lima menit aku mengetuk, akhirnya ayah membukakan pintu dan kulihat matanya yang terlihat sangat lelah. Kemudian Ia berkata, “ ya sudah tidur sama ayah lagi, tapi kamu jangan berisik ya. Ayah besok harus berangkat pagi – pagi sekali. “ Ucap ayahku dengan suara datarnya. Aku berlari dan melompat di tempat tidur ayahku, karena senang. Ayah lalu mendekapku dari belakang dan berkata “ Selamat tidur sayang. “ Walaupun sudah bersama ayahku, aku tetap tidak bisa tidur. “ Aku haus yah. Yah, ayah dengar aku tidak sih “ Ucap diriku pelan. Tapi ayah sudah terlelap sangat pulas dan mungkin sudah bermimpi entah kemana. Terpaksa aku harus ambil minum sendiri. Bunyi deritan tempat tidur extra large kayu jati ayahku terdengar jelas ketika aku turun dari tempat tidur itu. Aku membuka pintu kamar. Melihat sekeliling gelap gulita dan yang kudengar hanya suara jangkrik di luar. Ubin marmer berukuran 60 x 60 menjadi saksi bisu perjalananku menuju ruang makan. Aduh, gelap sekali, Pikirku. Ayah selalu saja mematikan lampu. “ Tidak tahu apa, kalau anaknya ini penakut. “ Ucap diriku pelan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun