Mohon tunggu...
Benyamin Melatnebar
Benyamin Melatnebar Mohon Tunggu... Dosen - Enjoy the ride

Enjoy every minute

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nightmare Basement

30 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   15:20 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku beranjak dari kursi di ruang makan dan menuju dapur. Aku menginjak salah satu ubin dan seketika juga terbukalah pintu rahasia menuju ruang bawah tanah. Apa ini, kenapa dengan mudah bisa terbuka, pikirku. Aku turun perlahan menuju ruangan di bawah tanah itu, perlahan kuturuni ratusan anak tangga menuju sentral ruang bawah tanah, tangisan anak kecil itu semakin jelas di pendengaranku. Hampir sepuluh menit aku menuruni anak tangga, sampailah juga aku di ruang bawah tanah. Aku berusaha mencari dengan sabar asal suara anak kecil itu. Aku menyusuri kolam, iya aku menemukannya. Anak itu sepertinya seusiaku, berada sekitar dua meter dari kolam tepat di belakang batu kali besar. Anak itu membungkuk dengan lutut dan kedua siku tangan menutup wajahnya. Rambutnya sangat kotor, lepek, serta terlihat basah dan aku berusaha mendekatinya. Anak itu menengadah ke arahku. Wajahnya mengerikan dan membusuk dengan separuh pipinya di kerubungi oleh ulat dan serangga. Aku tidak kuat, karena hampir muntah. Anak itu meminta tolong padaku. Tangannya di penuhi borok dan nanah. Siku tangannya hampir lepas dari lengannya, jari-jarinya hampir putus dan menimbulkan bau busuk yang sangat keras.

“ Tolong aku. Tolong keluarkan aku dari sini? Tolong aku Rifki “ bisiknya sambil memegang lenganku. Gila, dia bisa tahu namaku, pikirku. Kejadian janggal ini semakin membebani pikiranku. Aku berlari menaiki anak tangga menuju dapur. Anak itu menangis sejadi - jadinya dan berteriak. “ Tolong, Tolong aku Rifki ! “ Aku dihadang oleh seorang pria yang sedang batuk. Pria itu lagi, pikirku. Aku lemas, aku berusaha menghindarinya dan menaiki anak tangga. Anak yang menangis itu tiba – tiba muncul di hadapanku. Kali ini, wajahnya lebih mengerikan dari sebelumnya. Wajahnya bersimbah darah, tetapi bau busuk yang ditimbulkannya tidak bisa ditepis. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku berteriak, “ tinggalkan aku sendiri. “ Ucapku. Tidak terduga, mahkluk - mahkluk astral itu sekejap menghilang dari hadapanku.  

Aku melanjutkan perjalananku menaiki anak tangga dan akhirnya telah sampai pada pintu ruang bawah tanah, pintu itu aku buka dan dengan mudah bisa terbuka. Aku bisa keluar dari tempat menyeramkan itu, pikirku. Aku menyusuri lorong dan menuju ruang tamu Aku membuka pintu dan melihat keadaan di luar sudah sangat gelap, kemudian aku tutup pintu dan menguncinya lagi. Aku menyalakan lampu teras. Aku sangat takut. Aku berlari menuju kamarku. Menyambar handukku dan mulai mandi. Aku tidak percaya, anak itu memegang diriku. Tangannya berlendir, sudah membusuk dan ia memegang - megang lenganku. Aku membersihkan tubuhku dan kukeringkan tubuhku dengan handukku. Seketika aku mendengar ada bunyi langkah sepatu. Pasti ayah sudah pulang. “Siapa di sana? Ayah, apakah ayah sudah pulang? ” Teriakku.

“Ini ayah, Rifki. Kemarilah sebentar. “ Ucap ayahku.

Aku membuka pintu kamar dan menuruni anak tangga lalu memeluk ayahku. Ayah memang memiliki kunci duplikat ruang tamu, sehingga Ia bisa membuka pintu dengan mudah kapan saja. “ Ayah, kenapa malam sekali pulangnya? Aku takut di rumah sendirian. “ Gumamku. “Iya ayah ada urusan di kantor yang harus di selesaikan. Ini, ayah bawakan Sate Ayam kesukaanmu, Ayo kita makan “. Ucap ayahku, sambil mencium keningku. Ayah membuka sepatu dan kaos kakinya. Lalu menaruhnya di rak sepatu. Kemudian Ayah menutup pintu. 

Kami menyusuri lorong, menuju ruang makan. Ayah menuju dapur mencuci tangan. Lalu kembali ke ruang makan. Aku membuka sate yang ayah beli, Jumlahnya ada dua puluh tusuk. Ayah menimba nasi putih untukku dan untuk ayah dan ayah mengambil sepuluh tusuk sate di piringnya dan membasahi nasi putihnya dengan bumbu sate. Aku pun langsung mengambil ke sepuluh satenya ke dalam piringku. Aku menuangkan air putih untuk ayah. Kami menikmati santap malam kami, sambil menceritakan kejadian aneh yang terjadi selama satu hari ini. Respon ayahku sangat datar dan tidak memperdulikannya. “ Itu hanya ilusi kamu, sayang. Tidak ada lagi hal-hal seperti itu di zaman modern seperti sekarang ini. “ Ungkapnya. “ Yah, sudahlah kalau ayah tidak percaya padaku,” ucapku pelan. Kami telah menyelesaikan makan malam kami. Ayah mengambil piring kotor kami berdua menuju dapur, aku membuntutinya dari belakang. Kemudian ayah mencucinya. Ayah kemudian menuju kamarnya mengambil pakaian kotornya dan menyuruhku juga untuk mengambil pakaian kotorku dari kamarku. Aku bergegas menaiki anak tangga dan sampai di kamarku. Kamarku sangat gelap, aku melihat ada seseorang di atas tempat tidurku, Aku bergidik ngeri. “ Siapa itu? “ Aku berteriak. Aku segera menyambar keranjang pakaian kotorku dan segera membanting pintu kamarku. Aku tidak percaya dengan kegilaan di rumah ini. Aku ke kamar ayahku. “ Ayah, kita pindah saja yah, dari rumah ini. Aku takut ” Ucapku keras. “ Ayahku menatapku dan berkata, “ Kamu kenapa lagi? ”


“ Percuma saja, kalau aku cerita, pasti ayah tidak percaya padaku.” Kataku dengan suara yang meninggi. Ayah keluar dari kamarnya sambil membawa keranjang baju kotornya, menyusuri lorong dan menuju dapur. Aku ikut dari belakang sambil menyeret keranjang baju kotorku dan tangan kiriku menarik baju ayah. Lalu ayah menyalakan mesin cuci dan mulai memisahkan pakaian kotorku dengan pakaian kotornya, untuk dimasukan ke dalam mesin cuci. Aku naik di meja dapur menggunakan kursi kecil. Lalu aku hanya duduk saja di sana, memperhatikan ayah mencuci baju kami. Butuh 45 – 90 menit, ayah mencuci dan mengeringkan pakaian kami. Kemudian ia membuka pintu belakang yang jarang sekali kami buka. Lalu menjemur pakaian itu. Ayah terlihat sangat lelah dan berkeringat. Aku membantu mengembalikan ember ke tempat semula. Ayah mengunci kembali pintu belakang itu. Aku harus meyakinkan ayah tentang kejadian aneh di rumah ini. Aku harus melakukannya atau pindah rumah adalah jalan satu-satunya, pikirku.

“Tapi ini yang terjadi, aku sungguh mengatakan yang sebenarnya! Mengapa ayah tidak percaya padaku. ” Ungkapku dengan putus asa dan hampir menangis. Aku keluar menuju pekaranganku. Membanting pintu karena merasa kesal pada ayah. Lalu aku berjalan sejenak untuk mencari kesegaran. perasaan sumpek dan ketakutan di dalam rumah membuatku ingin melepas lelahku di suasana dinginnya malam hari. Cukup sejuk diluar, semilir angin menambah keanggunan bintang - bintang yang mengintip di balik awan. Rembulan yang malu - malu mulai menampakkan kepiawaiannya dalam menerangi kegelapan malam. Aku berjalan menyusuri jalanan yang sedikit basah. Dan tanpa kusadari aku telah berjalan sampai ke empang milik Roni. Aku melihat empang ini, dan ingin memanggil Roni untuk bermain denganku, tapi sudah agak larut juga kalau aku mengajaknya bermain, pikirku.

Aku tiba-tiba mendengar ketiga kuli bangunan yang bekerja di rumah Roni sedang bercakap - cakap di dekat empang. Aku jongkok dan menyimak pembicaran mereka. Mereka sedang merencanakan sesuatu. Maman berkata, “ Lebih kita tunggu saat mereka keluar rumah!”  Balas Ridwan sekenanya, “ Baik Bos. ”  Dodi yang sedang mengepulkan asap dari kedua hidungnya berkata, “ Tapi kita harus berhati-hati, jangan sampai orang lain sampai tahu. “ Apa maksud mereka, pikirku.  Tiba - tiba aku tidak sengaja menginjak sebuah ranting pohon dan krekkk. “ Siapa disana! “ Teriak Maman. “ Ada yang nguping pembicaraan kita, bos. “ Seru Dodi. Mereka tiba-tiba beranjak dari tempat mereka dan mulai mencari aku. Perlahan aku menyelinap melalui samping rumah Roni, melewati kebun belakangnya. Tiba – tiba Ridwan berkata, “ Bos, itu di sana.” Aku semakin panik. Lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu, dan berusaha mencari jalan tikus untuk kembali ke rumahku. Iya itu dia rumahku, segera aku buka pintu, mengunci pintu, menyusuri lorong dan menaiki anak.tangga menuju kamarku. “ Rifki, apakah itu kamu? ” Ayahku berteriak dari ruang makan. “ Iya, yah ini aku.  “ Aku membalas pertanyaannya. Aku tidak mau menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Pasti ayah juga menganggapku hanya berhalusinasi. Aku masuk kamar, sikat gigi, cuci kaki – tangan dan cuci muka. Mengeringkannya lalu aku ganti piyama. Aku kemudian turun kembali untuk mengobrol dengan ayah di ruang tamu.   

Sumber: www.idntimes.com
Sumber: www.idntimes.com

Bab VI

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun