Mohon tunggu...
Benyamin Melatnebar
Benyamin Melatnebar Mohon Tunggu... Dosen - Enjoy the ride

Enjoy every minute

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nightmare Basement

30 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   15:20 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Monyet - monyet bergelantungan dari satu ranting kokoh melompat ke ranting pepohonan lainnya, menunjukkan kepiawaian mereka dalam berakrobat. Kucing hutan berlari mencari tikus-tikus tanah untuk di jadikan mangsa, sinaran mata burung elang yang terbang di hamparan luas mencari geliat kelinci - kelinci mungil di darat untuk dijadikan santapan siang bagi anak-anaknya yang masih hijau. Serangga keluar masuk batang pepohonan, mengais rezeki dan membopong mangsanya ke dalam sarang mereka. Intinya, segala binatang boleh dikata, terpenuhi segala kebutuhannya karena hutan ini menyediakan segalanya bagi mereka. Memang kaya sekali sumber daya alam di tanah air tercintaku ini, hanya saja semua sumber daya yang ada belum tereksplore secara sempurna sebagaimanamestinya. Memang hal itulah yang harus menjadi perhatian pemerintah untuk menggalakkan pembangunan terus - menerus yang bukan hanya dilakukan di kota-kota besar, tetapi juga harus menembus ke desa - desa terpencil sekalipun yang belum tersentuh seperti di desa ini. Tidak heran banyak orang asing yang datang ke Indonesia mengambil sumber daya di Indonesia secara semena-mena. Padahal sumber daya itu adalah milik anak bangsa, dan kitalah yang berhak atas segala isinya yang berada di bawah naungan Republik Indonesia.  

Tanpa kusadari, kembali kupandangi sekitarku. Apa ini, pikirku. Aku mulai mengamati bongkahan batu besar diatas tempatku berdiri. Perlahan aku membungkuk dan mencoba menerka tulisan di atas batu itu. Sebuah batu yang tulisannya hampir pudar akibat dimakan usia. Batu itu bertuliskan Sariyem binti Abdulah lahir 27-05-1909, wafat 02-04-1942. Ya Tuhan, ternyata tempat ini adalah kuburan tua. Tapi dimanakah kuburan lainnya, pikirku. Kembali kulihat ada kuburan lainnya, tepat dibelakang sebuah pohon tua dan dua buah batu nisan berukuran kecil. Aku meluncur ke arah pohon tua itu dan menyusuri jalanan berbatu - batu kecil. Aku terperanjat dengan apa yang kusaksikan. Puluhan kuburan tua menantang dengan keusangan nisannya, dan memang hampir tak terjamah oleh tangan manusia. Dapat terlihat semarak rumput dan ilalang tumbuh dengan santainya menyembul liar di tengah badan kuburan. Semilir angin sepoi – sepoi menerpa diriku. Teriknya matahari menyilaukan pandanganku dan menggelontorkan butir - butir keringat disekujur pori-pori kulitku, menyisakan kelelahan yang teramat sangat hingga ke sendi-sendi tulangku. Sepatu sendalku menebal akibat kepungan tanah liat yang menempel tepat di pijakannya. Seketika bulu kudukku langsung berdiri, karena kulihat dengan jelas ada sesosok bayangan hitam yang memandangiku dari kejauhan, tetapi ketika menoleh kearahnya, tidak ada siapa-siapa disana.

Aku berjalan ke arah bayangan itu, mungkin saja bahwa sosok itu adalah penjaga kuburan ini. Bila memang ada penjaga kuburan, berarti dia tidak menjalankan tugasnya dengan baik, karena kuburan – kuburan di sini tidak tertata rapi dan membujur sesuka hati tanpa adanya pengaturan yang sistematis, pikirku. Aku membersihkan tanah liat yang menempel di sepatu sendalku menggunakan pecahan keramik yang kutemukan dan beristirahat sejenak melepaskan lelahku dengan duduk di salah satu batu nisan. Tiba – tiba ada tangan yang memegang pundakku. “ Nak, kamu sedang apa di sini? “ sebuah suara dari seorang pria paru baya dari belakangku. Aku kaget dan melihat ke arahnya. Seorang pria dengan wajah membusuk dengan lendir hijau tepat di kedua matanya. Belatung – belatung berwarna krem berjatuhan dari tangannya dan menimbulkan bau anyir pada indra penciumanku. Aku bergidik ngeri, memakai kembali sepatu sendalku dan tunggang langgang meninggalkan pria mengerikan itu.  Nafasku terengah - engah, sekuat tenaga berlari sejauh - jauhnya menghindari pria tua berwajah mengerikan itu. Aku tidak habis pikir, siang-siang seperti ini ada mahkluk astral memperlihatkan wujud aslinya padaku. Menakutkan sekali, pikirku. Aku berusaha mengatur nafasku. Dan berkata pelan, “ ok Rifki kamu bisa melalui ini. Karena kamu sudah pernah mengalami hal yang lebih berat daripada hal ini. “

Langkah kakiku semakin kupercepat. Jangan sampai aku menghadapi hal – hal yang mengerikan lagi, pikirku. Tiba-tiba, aku mendengar ada beberapa orang sedang bercakap -cakap tepat di bawah bukit tidak terlalu jauh dari kuburan. Mungkin penduduk desa, pikirku. Aku mencari suara – suara itu. “ Halo, apakah ada orang di sana? “ Sahutku. Aneh, sama sekali tidak ada suara balasan. Tidak, aku harus kembali ke rumahku. Bodoh sekali aku, untuk apa aku harus berjalan jauh sampai di tempat angker seperti ini. Aku rasa orang desa inipun tidak tahu ada kuburan tua di sini. Aku berusaha kembali ke arah darimana aku datang. Tapi yang menjadi tidak masuk akal, kenapa ketika aku kembali ke arah sebelumnya, bukan jalan setapak yang tadi aku tempuh. Justru semakin banyak kuburan yang aku lihat.

Jantungku berdegup sangat kencang, nafasku terengah - engah. Aku sangat ketakutan. Langkah kakiku semakin cepat dan lebar. Semakin lama, aku mulai berlari tetapi kuburan-kuburan tua zaman penjajahan Belanda semakin banyak kulihat. Gila pikirku, kenapa bisa jadi seperti ini. Aku menengadah ke atas. Matahari sudah hampir tenggelam, sebentar lagi akan maghrib, namun aku belum menemukan jalan menuju rumahku. “ Ya Allah, aku takut sekali. Aku ada di mana saat ini? Ayah, ayah di mana? Aku takut sekali. “ Aku berkata pelan dan gemetaran. Mataku terasa panas dan aku mulai menangis karena tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Tanpa sengaja, kakiku beberapa kali terantuk batu dan jatuh hingga beberapa kali juga. Lolongan panjang serigala di desa itu membuatku merinding ketakutan.  Ada serigala di desa ini, apa ini tidak salah? Pikirku. Tubuhku terasa panas, jantungku berlomba-lomba naik turun karena panik dan rasa haus yang melanda diriku. Air mataku mengalir deras, perasaanku bercampur aduk. Inilah akibatnya kalau aku kurang ajar terhadap ayahku. “ Ayah, aku minta maaf. Aku sayang ayah? “ Ucapku pelan, sambil menangis tersedu-sedu dan terus melangkahkan kakiku.

Aku terduduk pada sebuah batang pohon yang tumbang. Aku merasakan ada sesuatu yang mengenai punggungku. Saat aku membalikkan kepalaku ke arah belakang. Ada sebuah kepala manusia yang melayang – layang di udara. Kepala itu membusuk dan mengeluarkan darah segar. Kedua bola matanya berjatuhan tepat di depanku, pipi-pipinya tersayat dan seketika ulat - ulat kecil menggeliat keluar dari kulit pipinya. Kedua telinganya mengeluarkan nanah berbau anyir. Seketika aku berteriak, “ Tidakkkkkk”. Aku berlari sekuat tenaga dan tidak menoleh ke belakang sama sekali. Aku berhenti sejenak, sangat lelah dan berusaha mengambil nafas panjang. Aku perhatikan ada sebuah kaki terlihat di tengah hutan, kaki itu sepertinya sedang berjalan. Lalu kemana tubuhnya? Pikirku. Ini gila dan tidak masuk akal, suasana petang menampilkan berbagai keanehan dan menunjukkan betapa menakutkannya desa ini, desa yang akan menjadi tempat tinggalku beberapa bulan ke depan.     


Kepalaku terasa sakit sekali. Aku berusaha bangkit di sebuah hamparan rumput hijau dan ilalang yang cukup tinggi. Kenapa aku bisa ada di sini? Pikirku. Aku memegang hidungku, dan kurasakan darah segar yang kurasakan. Memang seperti ini, bila aku panik. Pasti hidungku akan menggelontorkan butiran darah segar. Sudah malam dan tidak ada penerangan umum di desa terpencil seperti ini. Kenapa aku bisa ada di tempat ini? Pikirku. Aku harus mulai berjalan lagi untuk mencari rumahku. Aku berlari secepat mungkin. Langkahku sangat cepat adanya. Namun pekatnya malam, membuatku tidak bisa melihat apa-apa.

Aku menabrak sesuatu. Sebuah orang - orangan sawah yang sangat menyeramkan rupanya. Orang - orangan sawah itu seperti bernyawa dan sekejap mengalirkan darah di kedua matanya. Aku ketakutan setengah mati. Aku mulai berlari lagi. Itu dia, hutan yang aku lalui sore tadi. Aku masuk kembali ke dalam hutan belantara itu, menghalau tanaman-tanaman yang menghalangiku dan berharap menemukan rumah penduduk, yang mungkin bisa membantuku mencari rumahku. Tetapi, itu semua sia-sia. Tidak satupun kutemui rumah penduduk. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang memegang pundakku, saat aku berbalik. Aku melihat seorang anak setinggi aku dengan wajah rata tanpa mata, hidung ataupun mulut. Tangannya membusuk penuh nanah dan campuran darah segar dengan tulang – tulang rangka yang nyaris terlihat. Ia memegang sebuah batu dan menghantamkannya pada tengkukku. Seketika itu juga aku terjerembab jatuh di hadapannya.

Aku memegang tengkukku karena terasa sakit sekali, saat aku sadarkan diri. Aku melihat sekitar, ternyata aku berada di atas tempat tidurku. “ Thanks God, “ ucapku girang. Ternyata aku hanya bermimpi. Aku bangkit dari tempat tidurku, membuka pintu kamarku dan menuruni anak tangga. Aku melihat banyak orang di lantai bawah. Mereka terlihat sangat kaku, wajah mereka berwarna biru. Aku merasa bahwa mereka sangat aneh dan aku yakin mereka bukan manusia. Lebih tepatnya, mereka adalah mahkluk halus. Siapa mereka? kenapa tiba-tiba ada di dalam rumahku? Aku berteriak-teriak. “ Halo-halo. “ Sambil melambaikan tangan tepat di wajah - wajah mereka. Tetapi percuma, tidak ada satupun yang mendengarkan dan memperhatikanku. Apakah aku sudah menjadi bagian dari mereka, pikirku. Jujur saja aku ngeri melihat pemandangan seperti ini ada di dalam rumahku. Wajah mereka sangat menakutkan. Aku berusaha melewati mereka, menyusuri lorong dan masuk ke kamar ayahku. Di dalam kamar, ayah bersender di tempat tidurnya. Ayah terlihat lebih pucat dari wajah mereka. Tiba – tiba tubuh ayah terangkat ke atas dan melayang – layang ke langit. Dari kaki dan pahanya keluar cacing-cacing pita yang sangat menjijikkan dan berbau busuk. Sambil menegadah ke atas. Aku berteriak, “ Ayah, ayah kenapa? Ayah, mengapa ayah seperti ini? “ Teriakku.

Tiba – tiba pintu kamar ayah terbuka, orang-orang yang berwajah pucat itu datang memegang aku, satu persatu tangan – tangan dan kaki – kaki mereka lepas dari tubuh mereka. Wajah dan tubuh mereka mengeluarkan nanah dan darah segar, ulat-ulat keluar dari mata mereka. Beberapa potongan tubuh mereka mengenai diriku. Aku tidak sanggup lagi. Aku berteriak minta tolong. Supaya siapapun yang mendengarku di luar sana untuk menolongku. Tiba – tiba aku pingsan. Sesaat aku mulai sadar, aku bangun ternyata aku masih berada di tengah hamparan rumput hijau. “ Oh God, ternyata aku masih tersesat dan aku sendiri tidak tahu ada di mana sekarang. “ ucapku panik. Aku harus bangkit, walaupun sekujur tubuhku lemas dan aku sangat kelelahan. Lalu aku berlari sekencang-kencangnya. Tidak mau menoleh ke belakang. Hanya berlari saja.       

Sumber: www.99.co
Sumber: www.99.co

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun