Mohon tunggu...
Benyamin Melatnebar
Benyamin Melatnebar Mohon Tunggu... Dosen - Enjoy the ride

Enjoy every minute

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nightmare Basement

30 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   15:20 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu penjual itu menjelaskan, “ pak Nazril itu dulu tinggal, di rumah jalan Wates 3 yang ada pohon jambu airnya” . Aku mengatakan padanya, “ Iya, pak. Itu rumahku yang sekarang aku tempati dengan ayahku” . Penjual itu berkata lagi, “ pak Nazril meninggal di Singapura sewaktu mengobati penyakit TBCnya selama bertahun-tahun. Ia dimakamkan di Singapura berdekatan dengan orangtuanya yang juga dikuburkan di sana. Tapi sebelumnya kami dengar ada desas-desus bahwa istri pak Ilham ada selingkuh dengan pak Nazril. Aku harus mengetahui ada apa gerangan ini, pikirku. “ Tapi memang den, istri Pak Ilham itu orangnya genit dan menikahi pak Ilham karena pak Ilham adalah salah satu orang terkaya di desa ini, dia itu adalah ibu tiri Roni. Kadang, bila Pak Ilham ke Sawah, Roni sering sekali di pukuli oleh ibu tirinya itu. “ Kami orang kampung tidak suka dengan istrinya itu. “ Ungkap penjual bubur itu dengan suara berbisik. Wah ternyata Roni adalah anak tiri nyonya Ifa. Setiap petunjuk menjadikan semua teka – teki ini menjadi menarik untuk diidentifikasi, pikirku.

Aku berjalan menyusuri jalanan kampung yang becek, sedang berpikir dan tanpa sengaja aku melewati rumah pak Ilham. Perlahan aku ke arah samping melewati rumahnya dan menuju ke arah pekarangan belakang rumah pak Ilham. Seorang wanita cantik berkerudung merah muda sedang bercakap-cakap di telepon sambil mengepulkan asap rokok dari kedua hidungnya yang bangir. Siapa wanita itu, wajahnya tidak terlalu jelas karena tertutupi oleh gorden berwarna abu-abu transparan. Apakah itu nyonya Ifa? Tadi ayah mencoba telepon Nyonya Ifa, tapi ponselnya tidak bisa dihubungi. Padahal nyonya Ifa sepertinya ada di rumah, ini sangat aneh menurutku. Aku masih menduga-duga, mengingat rumah pak Ilham, akhir- akhir ini sering dikunjungi keluarganya. Memang gorden bertirai abu - abu mengaburkan pandanganku ke dalam kediaman pak Ilham. Aku bisa mendengar jelas. Wanita itu memaki – maki orang di telepon genggamnya. “ Urus Ilham segera, atau saya yang akan mengurus pemakamanmu, dasar bodoh!” Bentak Wanita itu dengan kasar. “ Dasar manusia tidak berguna, apa tangan-tangan lentik ini yang harus mengurus semuanya ! “ Ungkap wanita itu dipenuhi senyuman sinis di wajahnya.

Bab IX

Petunjuk jitu

Klakson motor ayah terdengar jelas dari kejauhan. Wah ayah pulang cepat, pikirku. Aku melihat jam dinding berbentuk kereta api yang terpampang di atas pesawat televisi, di ruang tamu kami. Jarum jam, baru menunjukkan pukul 15.00. Ayah tiba di depan pekarangan rumah. Aku membuka pintu. “ Ayah, “ aku berteriak. Ayah turun dari motor besarnya dan melepas helmnya dan menaruhnya di kaca spion bagian kanan. Aku memeluk ayah, ayah terlihat sangat besar dengan jaketnya. Ayah menhujaniku dengan ciuman di leherku sesekali menggesekan kumis dan jenggotnya yang tipis, aku kegelian. Lalu Ia membuka tas ranselnya mengeluarkan sebuah kardus kecil berisi helikopter mini dengan remote dan dua buah batere. “ Wah, terima kasih ayah. “ Ucapku. Aku melihat mainan baru yang ayah berikan. Ini adalah mainan yang aku inginkan sejak dulu karena aku sudah melihat iklannya di layar televisi beberapa minggu lalu sebelum kami pindah di rumah ini. “ Kamu suka? “ Ucap ayahku. “ Iya, aku sangat menyukainya. “ Ayah menyodorkan pipinya dan menunjuk dengan jari telunjuk kanannya, sebagai aba-aba padaku untuk segera menciumnya. Aku mencium ayahku berkali - kali. Karena merasa senang dengan mainan yang dibelikannya. Setidaknya mainan ini bisa melupakan kejadian – kejadian aneh yang menyeramkan di rumah ini.

Kami berdua masuk ke rumah. Ayah duduk di sofa. Membuka kaos kaki dan sepatunya. Menaruhnya di rak sepatu dekat dengan sofa. Beranjak dari sofa membuka jaketnya, lalu membawa jaket dan ranselnya menyusuri lorong dan menuju ke kamarnya. Seperti biasa aku mengikuti ayah dari belakang. Aku berlari ke atas tempat tidurnya dan berguling-guling sesukanya. Ayah menaggantung jaketnya di gantungan pakaian di belakang pintu, menaruh ransel di atas meja kerjanya. Kemudian ia mengganti seragamnya dengan celana pendek dan kaos oblong. Aku melihat ayah mengangkat keranjang berisi pakaian yang kuangkut dari jemuran sebelumnya. Ia membawa keranjang itu dan menaruhnya tepat di depan lorong di depan kamarnya. Aku mengikutinya dari belakang. Ayah menuju ruang tamu, mengunci pintu. Lalu berjalan kembali menyusuri lorong, membawa keranjang. Aku hanya mengikutinya dari belakang. Pasti ayah akan menyetrika baju-baju kami.


Oh Tuhan, aku melihat ada bayangan di ruang tamu dan sesosok manusia tertunduk di depan lorong rumahku.. Aku merasa sangat takut. Maka aku menarik baju ayah dari belakang. Aku berkata, “ ayah lihat ke sana. “  Ucapku sambil jari telunjukku menunjuk ke arah sosok itu. Ayah menoleh dan berkata, “ Memangnya ada apa Rifki, ayah tidak lihat apa apa di sana? “

“ Masak, ayah tidak lihat apa - apa, coba lihat baik – baik Yah “ ucapku keras

Ketika aku memperhatikannya kembali, sosok manusia itu melihat kami dengan tajam. Tapi percuma saja, ternyata ayah tidak lihat apa yang bisa aku lihat. Memang aku sudah menyadari sejak lama bahwa aku bisa melihat hal-hal yang tidak kasat mata dan sebagai anak indigo aku harus berani menghadapi hal-hal ini. Tidak tahu apakah talenta yang diberikan Allah ini adalah anugerah atau bencana. Sungguh ironis menurutku. Ayah tidak memusingkan apa yang kukatakan. Ia tetap menyusuri lorong dan menuju dapur, ayah sudah membuka meja setrikaan dan mulai menyetrika baju – baju kami. Aku mengisi air di ceret, lalu menaruhnya di atas kompor. Mengambil gelas dan menggunting satu sachet kopi dari dalam tempat penyimpanan roti tawar di dapur. Mengguntingnya dan menuangkannya dalam cangkir kopi ayah, lalu mengambil toples berisi gula dan menuangkan satu sendok teh ke dalamnya. Lalu aku mengambil sebuah gelas yang berukuran paling besar di rumah, itu adalah gelas air putih ayah. Menuangkan air putih ke dalam dan memberikan kepada ayah. Ayah menerimanya sambil tersenyum kemudian meminumnya hampir setengah dari isinya. Aku mengisinya kembali dan membawa gelas itu dan menaruhnya di atas meja makan.

Tiba -  tiba aku kaget, karena ceret berbunyi. Sudah mendidih, pikirku. Aku ke dapur, mematikan kompor lalu menuangkan air panas ke gelas yang berisi kopi dan mengaduknya menggunakan sendok berukuran mini. Aku membawa gelas itu menuju ruang makan dan menaruhnya di meja makan dekat dengan gelas besar ayah dan berkata, “ ayah kopinya sudah jadi ya. “  Ayahpun membalas, “ terima kasih Rifki. ”  Ayah sudah selesai menyetrika kemudian menyuruhku untuk membawa pakaianku ke kamarku. Ia merapikan meja setrika, melipat meja itu dan mendirikannya dekat dengan pintu belakang dapur yang bersebelahan dengan mesin cuci. Aku mengambil pakaianku dan menyusuri lorong, menaiki anak tangga dan menuju kamarku. Aku menaruh pakaianku di atas tempat tidur, kemudian membuka lemariku. Sekonyong – konyong muncul sebuah kepala bocah yang seusia denganku, berlumuran darah, kedua matanya hampir keluar dan di kepalanya ada bekas bacokkan. Aku berteriak dan spontan membanting pintu lemari, “ tidakkk. “

“ Rifki, kamu kenapa. “ Ayahku berteriak dari lorong di bawah. “ Tidak yah, tidak apa – apa. “ ucapku datar. “ Kamu ini buat ayah panik saja. “ Suara ayahku dari lorong, dan lama – kelamaan menghilang. Percuma saja aku berkata padanya, pasti ayah juga tidak percaya. Memang benar, ketika aku membuka kembali lemariku. Tidak ada apa di sana, bahkan setetes darahpun tidak nampak di sana Lalu aku memasukan pakaianku satu persatu ke dalam lemari. Sore menjelang, matahari mulai menunjukkan kesederhanaannya dengan menyelinap masuk secara perlahan di ufuk barat. Biasanya kalau sudah sore, ayahku berolahraga lari keliling desa. Dan akan kembali ke rumah menjelang mahgrib. Ayah berteriak dari bawah, “ Rifki, ayah olah raga dulu ya. “

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun