Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Narsih, Bagian Dua

30 Januari 2019   16:30 Diperbarui: 30 Januari 2019   16:32 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kenapa kau tak pernah menghubungiku?" tanya Asih akhirnya. "Yang aku tahu saat itu hanyalah kau bunting dengan seorang yang kau temui di kelab malam. Lalu kau menikah dan tak pernah berkabar sebelas tahun lamanya. Kukira selama itu kau hidup bahagia dan masalah baru muncul beberapa saat sebelum kau kabur."

Narsih hanya tersenyum dengan mata berkaca, menyembunyikan luka. Ia sering mendengar pertanyaan itu dari polisi dan aparat lain yang menguruskan perceraiannya ketika itu. Kenapa tak meminta bantuan? Mengapa tak lapor tetangga, aparat desa? Ia sudah muak mendengarnya. Tapi demi kasihnya pada Asih ia berusaha sabar.

"Aku tak bisa cerita," jawan Narsih perlahan. "Aku selalu dikurungnya dalam rumah, tak pernah diijinkan keluar kecuali saat pergi ke pasar. Itu pun hanya ketika ia tak mabuk dan dapat mengantarkanku, seperti sipir mengantar tahanannya. Hidupku seperti campuran anjing dan budak, kegiatanku hanya makan, berak, dan melakukan pekerjaan rumah."

"Lalu mengapa baru kini kau cerita padaku? Bukankah kau sudah lepas darinya sejak enam tahun lalu?" tuntut Asih lagi. "Bahkan ketika kau kembali kau tak bercerita sebanyak ini. Kau hanya berkata kau menderita dan disiksa, nyawa anakmu terancam. Kau tak pernah cerita sudah terjadi berapa lama."

"Bagaimana aku bisa cerita? Ayah dan ibu sudah memperingatkanku sedari dahulu: jangan pergi ke kelab malam, jangan dekati lelaki itu, jangan percaya bujuk rayu. Aku membangkang lalu seketika itu juga aku menderita. Aku sudah tau reaksi mereka jika kuberitahu itu. Tak mungkin simpati yang kudapat, atau belas kasihan. Yang akan kudapat hanya wejangan dan penataran."

Asih terdiam tak mampu berkata-kata. Matanya menatap Narsih, nanar dan prihatin. Alisnya ditekuk, seperti berpikir serius. Mungkinkah Asih mulai memahami pilihannya?

"Itukah alasan kau meninggalkan Tuhan dan bekerja seperti sekarang? Penderitaan?" tanya Asih akhirnya, pelan.

Narsih menggeleng. "Bukan hanya penderitaan. Awalnya aku masih berharap, bukankah sudah kukatakan padamu? Saat itu aku kira ini adalah hukuman. Aku berdosa, saat itu pun aku sudah tahu. Aku berzina dan melawan orang tua, itu sudah dua dari sepupuh hukum Tuhan yang kulanggar. Belum lagi aku tidak pernah menguduskan Sabatnya. Lalu aku percaya bahwa penderitaan yang kutanggung, siksa yang kujalani adalah hukuman. Bajingan itu kulihat seperti malaikat Tuhan yang menjatuhkan hukum keadilan-Nya. Jika aku sabar dalam menanggungnya suatu saat Tuhan akan mengampuniku dan membebaskanku dari belenggu, begitu pikirku

"Tapi hari menjadi minggi, minggu menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun. Waktu berlalu dan Adinda sudah tumbuh dari bayi menjadi balita, lalu menjadi anak sekolah. Hukuman itu terasa panjang dan semakin panjang saja, tak kunjung terlihat tanda akan usai. Aku mulai kehilangan harapan. Jika ini hukuman di mana adilnya? Apakah kesalahanku, bersenang-senang dan bercinta tanpa kehendak-Nya, layak dihukum seberat ini? Jika ini bukan hukuman, Tuhan mana yang setega ini membiarkanku menderita seorang diri?

"Setelah sepuluh tahun akhirnya harapan itu benar-benar pupus. Malam itu dengan, satu lagi lebam baru di tubuh, kuputuskan ini bukanlah hukuman atau kehendak-Nya. Ini hanyalah hasil perbuatan lelaki jahanam dan kebodohan seorang anak perempuan yang termakan bujuk rayunya. Setelah itu selama setahun aku berusaha melarikan diri mencari celah, sedikit saja, untukku dan Adinda lepas dari belenggu bajingan itu.

"Akhirnya aku berhasil. Dengan tubuh dan jiwa terluka aku mencari satu-satunya sisa harapanku akan Tuhan dan manusia: ayah dan ibu. Ketika malam itu kuketuk pintu depan rumah masa kecil kita dan kulihat wajah ayah yang membukakan pintu, aku tahu Tuhan dan manusia tak bisa diandalkan. Aku bayangkan akan disambut seperti anak yang hilang dalam kitab Lukas tapi ternyata ia memandangku seperti anjing kudis yang terdampar di selasarnya, menajiskannya. Aku yakin jika bukan karena kau yang meyakinkannya untuk membantuku ketika itu tentu aku sudah diusirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun