Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Narsih, Bagian Dua

30 Januari 2019   16:30 Diperbarui: 30 Januari 2019   16:32 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apa kau juga akan menghakimiku?" Narsih balas bertanya, ada ancaman dan sakit hati pada nada suaranya. Sepertinya basa-basi sudah usai.

"Tidak... bukan itu maksudku. Aku hanya ingin tahu. Hidup baru yang ku tahu tidak seperti ini. Kitab suci dan pendeta mengajarkan hidup baru berarti melepas dosa, bebas dari nafsu daging. Aku menyayangimu Narsih, akan selalu begitu, tapi yang ku tahu kau tidak hidup baru," Asih berusaha menerangkan pada kakaknya.

"Siapa bilang hidup baru harus seperti itu? Aku hidup baru, menjadi pribadi yang baru. Aku bukan lagi Narsih yang dulu, Narsih yang bimbang dan ragu-ragu, Narsih yang lemah dan selalu jadi korban. Kalau mau dibilang bebas, sekarang pun aku pun bebas. Aku bebas dari belenggu aturan-aturan manusia yang tidak kupercaya. Aku bebas menjadi diriku, mengikuti aturan yang kumau," Narsih berargumen.

"Jangan bicara begitu, Tuhan bisa marah padamu," jawab Asih tak terima. "Aturan Tuhanlah yang kau sangkal. Aku yakin kau berpikir begitu karena merasa sudah telanjur berdosa. Kisah ini sering kudengar, orang yang merasa berdosa dan tak layak diampuni Tuhan lalu berlanjut menyangkal-Nya.

"Tapi Tuhan tidak begitu. Tuhan maha pengampun, seberapa besar pun dosamu. Aku pun berdosa, tak sempurna. Tapi aku menerima ampunan Tuhan itu dan mensyukurinya. Ayo Narsih, kau pun belum terlambat. Tak pernah ada kata terlambat hingga maut menjelang."

"Kau masih salah paham. Aku tak tahu lagi apa kau memang tak mengerti atau tak mau mengerti. Sudah berapa kali kubilang, ini pilihanku, tidak terpaksa orang ataupun keadaan.

"Coba biarkan aku yang bertanya. Mengapa kau menjadi istri yang setia bagi Mas Bram, ibu angkat yang baik bagi Adinda? Mengapa kau berdoa tiap pagi dan malam, menyembah di gereja setiap akhir pekan? Tidakkah itu semua terpaksa keadaan, karena kau takut hukuman Tuhan dan pengucilan dari sanak dan rekan?"

"Tentu tidak!" jawab Asih, makin tak terima. "Kau pun tahu betapa aku percaya sedari dulu, betapa salehnya dan taatnya aku. Tak pernah aku merasa terancam atau terpaksa."

"Aku tahu Asih. Itulah sebabnya aku sangat menyayangi dan menghormatimu. Kau tidak munafik seperti orang lain yang menghakimiku. Maafkan jika aku menyinggung," jawab Narsih menenangkan.

"Kau percaya Tuhan dan dosa sedari awal dan tidak pernah punya alasan untuk tidak percaya. Itu pilihanmu. Sama seperti ith, ini pun pilihanku. Pilihan yang kuambil saat sadar dan sehat walafiat lahir dan batin. Kita memang kembar, tapi hidup yang kita lalu tidak sama. Pengalaman hidupku membawaku pada pilihan yang berbeda darimu. Dapatkah kau mengerti itu?" tanya Narsih lagi.

Narsih mulai putus asa membuat adiknya mengerti. Ia ingin adiknya paham dan menghormati pilihannya. Ia tak ingin adiknya ikut menghakiminya, mengucilkannya. Ia ingin adiknya menerima bahwa mereka berbeda. Tapi Asih tak juga menunjukkan tanda-tanda paham. Setelah semua yang meninggalkannya, ia tak mau kehilangan kembarannya juga. Narsih takut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun