Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 8) - Catatan Perjalanan Dua

20 Maret 2024   13:00 Diperbarui: 20 Maret 2024   13:12 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

 

Awal melihat Buton yang ada di pikiran adalah pulau benteng. Pulau-pulau di sini rata-rata memiliki benteng, terutama di tempat-tempat yang menjadi pelabuhannya. Jika masuk dari arah selatan atau timur maka yang akan dijumpai pertama kali adalah kapal-kapal perang. Mereka menjaga jalan masuk yang sering dilalui. Sedangkan jika dari barat dan utara hanya akan ditemui kapal-kapal dagang yang berlalu lalang menuju pulau utama. Tapi ada puluhan meriam yang siap sedia di balik benteng jika terjadi apa-apa. Tujuan utama biasanya hanya satu, pasar Wolio. Pasar terbesar yang pernah aku dan Dalem lihat! Hampir seluruh barang yang kita inginkan ada di sini, mulai dari makanan, pakaian, hingga senjata khas daerah tertentu dari seluruh Nusantara. Kapten Sudirman berkata bahwa tempat ini tepat di tengah-tengah, menghubungkan barat dengan timur dan utara dengan selatan. Aku bertanya utara itu mana, beliau menjawab Brunei, Bumi Kenyalang, bahkan hingga Moro. Mereka tidak perlu berlayar hingga ke Mataram untuk mendapatkan Asam Jawa dan Bibit Jati. Para pedagang dari seluruh penjuru Nusantara datang dan berkumpul di sini membawa produk unggulan mereka. Biasanya ada broker yang membeli banyak dari para pedagang atau bila beruntung mereka bisa bertemu pembeli langsung, yang biasanya, bahkan bertanya kapan mereka akan ke Wolio lagi untuk memesan barang yang serupa. Kemudian tinggal membuat janji saja tanggal berapa mereka akan bertemu kembali di Wolio. Para Broker biasanya menjadi perantara mereka yang datang jauh dari daratan Tiongkok maupun Arab.

Pertemuan awal dengan Ustad Murhum sunggguh sangat mengejutkan. Aku dan Dalem tak menyangka dapat melihat langsung peristiwa Qishas. Pembunuhan memang seharusnya dibalas dengan pembunuhan, begitu pula kejahatan lain pada dasarnya didasarkan pada Qishas, yakni pembalasan serupa dengan kejahatan yang dilakukan. Aku dan Dalem membahasnya dan kami sepakat bahwa inilah dasar keadilan itu. Meskipun ada kejadian-kejadian tertentu dimana keluarga korban menerima diyat karena kejahatan yang dilakukan merupakan kecelakaan. Qishas menjaga masyarakat Buton untuk hidup saling menghormati dan menghargai satu sama lain, melewati batas-batas kasta dan suku, karena memang cukup banyak suku bangsa yang hidup di sini.

Banyaknya ragam suku juga menyebabkan banyaknya bahasa yang digunakan. Nah, uniknya mereka sering menggunakan bahasa Arab pada tulisan-tulisan yang mereka buat. Perpustakaan banyak dihiasi karya-karya berbahasa Arab, banyaknya bisa dibandingkan dengan apa yang dimiliki Mataram. Menulis adalah adat yang mereka jaga hingga saat ini. Banyaknya daftar buku-buku dan karya yang ada di sana tidak memungkinkanku membuat resume untuk kesemuanya, tapi coba tebak, kami menemukan pula satu buku yang ada di perpustakaan Mataram, Naskah Kakawin Negarakertagama! Di dalam karya yang ditulis oleh Mpu Prapanca ini ternyata tertulis nama Buton sebagai tempat tinggal para resi yag dilengkapi taman, lingga dan saluran air pada zaman dulu. Wow! Tahukah apa tulisan selanjutnya? Dahulu rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru, itu berati ia memiliki ilmu dan kebijaksanaan tinggi, luar biasa!

Sayangnya tanah di Buton tidak sesubur Mataram, jenis tanaman yang biasanya tumbuh adalah umbi-umbian dan jagung. Mereka mencoba mengembangkan peternakan karena hanya butuh rerumputan untuk pakan meskipun hasilnya tidak begitu bagus. Itu semua diimbangi dengan posisi strategis Buton di Nusantara bagi perdagangan, yang ternyata, memang sumber pendapatan paling besar mereka.

Corak Kesultanan yang bersifat Maritim membuatnya membangun pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitar pulau utama. Menghubungkan seluruh kepulauan yang ada secara harmonis dari masa ke masa.

Hal paling luar biasa adalah bagaimana mereka bisa menempatkan skala prioritas secara tepat. Seakan-akan merekalah manusia-manusia paling beradab jika dilihat dari sudut pandang 'Langit'. Aku dan Dalem masih ingat betul suara satu ruangan ketika mereka mengucapkan secara bersamaan,

"Harta rela dikorbankan demi keselamatan Diri

Baca juga: 40 Hari Dajjal

Diri rela dikorbankan demi keselamatan Negeri

Negeri rela dikorbankan demi keselamatan Pemerintah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun