Wacana lahirnya rancangan undang-undang (RUU) anti-flexing kembali memantik diskursus publik. Usulan tersebut datang dari musisi sekaligus anggota DPR Komisi X Fraksi Gerindra, Ahmad Dhani.Â
Dalam sebuah pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto dan jajaran fraksi Gerindra, ia menyampaikan perlunya regulasi untuk menekan budaya pamer kekayaan di ruang publik dan media sosial.Â
Dhani mencontoh kebijakan serupa yang diterapkan pemerintah China sejak tahun lalu, di mana konten yang mempromosikan gaya hidup hedonis, pamer harta, atau disebut flexing, dibatasi bahkan dihapus dari platform daring.
Di Indonesia, usulan ini tidak bisa dipandang sekadar anekdot politik atau gagasan pribadi seorang legislator. Wacana tersebut menyentuh isu yang lebih luas: bagaimana negara merespons perubahan perilaku sosial akibat digitalisasi.Â
Flexing memang bukan sekadar fenomena gaya hidup. Ia adalah ekspresi sosial yang berkelindan dengan budaya konsumtif, kesenjangan ekonomi, hingga potensi konflik sosial.
Flexing sebagai Gejala Sosial
Di era media sosial, flexing menjelma simbol status baru. Sebagian kalangan menjadikan pamer kekayaan sebagai cara mengukur keberhasilan, sekaligus sarana mencari pengakuan.Â
Fenomena ini kerap memantik pro dan kontra. Di satu sisi, flexing dianggap wajar selama tidak merugikan orang lain secara langsung. Namun di sisi lain, ia menciptakan norma semu bahwa kebahagiaan diukur dari materi dan kemewahan.
Lebih jauh, flexing juga dapat memperlebar jurang sosial. Ketika masyarakat tengah berjuang menghadapi inflasi, pengangguran, dan kesenjangan ekonomi, tontonan pamer harta di media sosial terasa ironis.Â
Rasa iri, frustrasi, bahkan potensi kriminalitas bisa muncul akibat narasi glamor yang terus-menerus diglorifikasi.