Menjadi orangtua adalah perjalanan yang sarat dengan cinta, pengorbanan, sekaligus tantangan. Namun, bagaimana jika peran itu dijalani seorang diri?Â
Bagi mereka yang menyandang status sebagai orangtua tunggal atau single parent, hidup sering kali menjelma sebagai arena perjuangan yang nyaris tanpa jeda. Mereka harus menunaikan peran ganda: menjadi pencari nafkah sekaligus pendidik utama di rumah.
Di Indonesia, jumlah orangtua tunggal terus bertambah seiring dinamika sosial, perceraian, hingga fenomena pekerja migran yang meninggalkan anak dalam jangka panjang.Â
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2021 sekitar 15,35% rumah tangga di Indonesia dikepalai perempuan. Angka ini meningkat dibandingkan 2010 yang masih berada di kisaran 13 persen.Â
Tren ini menegaskan bahwa peran orangtua tunggal, terutama perempuan, bukanlah kondisi marginal, melainkan realitas sosial yang terus berkembang.
Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam berbagai laporan menyebut jutaan anak di Indonesia hidup bersama orangtua tunggal.Â
Sebagian besar di antaranya adalah anak yang tinggal dengan ibu tunggal akibat perceraian, kematian pasangan, atau kondisi sosial-ekonomi tertentu.Â
Data ini menegaskan bahwa isu single parent bukan persoalan individu semata, melainkan juga berkaitan dengan masa depan generasi penerus bangsa.
Beban Ganda yang Tak Tersebutkan
Hidup sebagai single parent bukan hanya soal mengurus anak. Lebih dari itu, ada tekanan ekonomi yang menguras energi. Mereka harus memastikan kebutuhan sehari-hari terpenuhi, mulai dari biaya pendidikan, kesehatan, hingga kebutuhan pokok yang terus meningkat. Laporan BPS tahun 2022 menunjukkan, sekitar 21% rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan termasuk dalam kategori rumah tangga miskin atau rentan miskin. Ini berarti peluang kerentanan ekonomi single parent lebih tinggi dibandingkan rumah tangga dengan kepala keluarga laki-laki.