Di sisi lain, beban emosional pun tak kalah berat: rasa kesepian, stigma sosial, hingga pertanyaan-pertanyaan dari anak yang terkadang sulit dijawab.Â
Tak jarang, orangtua tunggal harus bekerja lebih dari satu pekerjaan demi memastikan dapur tetap mengepul. Mereka menunda kebutuhan pribadi, menanggalkan kesenangan, bahkan menekan rasa lelah demi satu tujuan: memastikan anak-anak tetap tumbuh dan memiliki masa depan.
Dukungan Sosial yang Masih Minim
Sayangnya, dukungan sosial bagi orangtua tunggal di Indonesia masih terbatas. Belum ada skema kebijakan khusus yang menyasar mereka, padahal kelompok ini memikul beban berat yang berimplikasi langsung pada kualitas generasi penerus.Â
Layanan konseling keluarga, bantuan finansial terarah, hingga akses pendidikan anak sering kali belum menyentuh realitas hidup mereka.
Tak hanya dari negara, lingkungan sosial pun kerap memperlihatkan wajah yang kurang ramah. Berbagai studi dan survei menunjukkan bahwa ibu tunggal masih sering menghadapi stigma negatif dari lingkungan sekitar, mulai dari cibiran hingga diskriminasi sosial.Â
Stigma "keluarga tak utuh" menempel begitu saja, seakan mereka gagal menjalani kehidupan. Padahal, di balik semua keterbatasan, justru tersimpan ketangguhan yang luar biasa.
Resiliensi dan Strategi Bertahan
Meski berat, banyak orangtua tunggal yang membuktikan diri mampu bertahan bahkan melampaui keterbatasan. Resiliensi---kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan---menjadi kunci utama.Â
Ada yang mengembangkan keterampilan baru demi membuka peluang usaha. Ada pula yang memanfaatkan teknologi digital sebagai ladang penghidupan, dari freelance daring hingga bisnis kecil berbasis media sosial.
Tak kalah penting, mereka membangun jejaring dukungan dengan sesama single parent. Komunitas menjadi ruang berbagi pengalaman, sumber inspirasi, sekaligus tempat berteduh dari rasa sepi.Â