Di sana, mereka menemukan validasi bahwa perjuangan ini bukan hanya milik seorang diri, melainkan bagian dari perjalanan kolektif banyak orang.
Masyarakat yang Lebih Empatik
Di tengah realitas yang tidak mudah ini, sudah saatnya masyarakat memperluas ruang empati. Orangtua tunggal tidak butuh belas kasihan, melainkan dukungan nyata.Â
Lingkungan sekolah, misalnya, bisa lebih peka terhadap kondisi anak dari keluarga single parent. Dunia kerja pun semestinya memberikan fleksibilitas bagi pekerja yang harus menyeimbangkan peran profesional dan domestik seorang diri.
Negara, lewat kebijakan publik, juga memiliki tanggung jawab moral. Skema bantuan sosial, akses layanan kesehatan, serta perlindungan hukum atas hak-hak anak sebaiknya menyertakan perhatian khusus bagi keluarga single parent. Dengan begitu, mereka tidak dibiarkan berjuang sendirian di tengah kerasnya kehidupan.
Ketangguhan di Balik Sunyi
Perjuangan menjadi orangtua tunggal adalah kisah tentang keberanian menapaki jalan terjal. Di balik air mata dan keletihan, ada kekuatan yang lahir dari cinta tanpa syarat. Masyarakat seharusnya berhenti menempatkan mereka dalam ruang stigma. Sebaliknya, perlu hadir ruang dukungan yang lebih nyata---agar perjuangan itu tidak hanya berakhir pada kata "survive", tetapi juga berkembang menjadi kisah keberhasilan.
Pada akhirnya, keberadaan single parent adalah potret lain dari wajah keluarga Indonesia. Mereka bukan cerita pinggiran, melainkan bagian sah dari dinamika masyarakat modern. Mengakui, mendukung, dan memberi ruang bagi mereka berarti kita sedang menyiapkan fondasi yang lebih kokoh bagi generasi mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI