Akhir-akhir ini, dunia digital seperti panggung teater besar yang sulit dibedakan antara fakta dan fiksi. Di balik kemajuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), muncul fenomena deepfake yang memburamkan batas antara yang nyata dan palsu. Kita hidup di zaman di mana video seseorang berbicara di depan kamera tak lagi bisa menjadi jaminan kebenaran.
Teknologi deepfake telah berkembang pesat. Dengan memanfaatkan kecanggihan AI, wajah, suara, dan bahkan ekspresi seseorang dapat dipalsukan sedemikian rupa hingga tampak nyata. Bayangkan sebuah video yang menunjukkan seorang pemimpin nasional sedang mengucapkan kalimat kontroversial. Padahal, video itu palsu. Namun, penyebarannya yang masif di media sosial bisa memicu kegaduhan nasional, bahkan konflik horizontal.
Deepfake, layaknya pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan inovasi di bidang seni, hiburan, pendidikan, bahkan riset ilmiah. Di sisi lain, ia menyimpan potensi ancaman serius, mulai dari pencemaran nama baik, penipuan berbasis digital, hingga disinformasi politik.
Jika kita bicara soal kreativitas, AI generatif seperti ChatGPT, Gemini, dan berbagai model generatif lainnya bisa membuat gambar, suara, bahkan video bergerak hanya dengan modal perintah teks (prompt). Misalnya, hanya dengan mengetik, "Buatkan gambar suasana kebakaran besar di rumah pejabat penting," seseorang bisa mendapatkan hasil visual yang seolah-olah nyata. Lebih buruk lagi, bayangkan jika ada yang meminta AI untuk membuat gambar bergerak tentang "penjual gorengan berbahan dasar material bangunan," lalu menyebarkannya untuk menjatuhkan reputasi orang kecil.
Inilah wajah baru disinformasi: canggih, murah, dan menjangkau siapa saja.
Mengapa Kita Harus Waspada?
Produksi konten palsu berbasis AI kini sangat murah. Siapa pun bisa melakukannya. Tak perlu studio mahal, tak perlu tim produksi besar. Cukup laptop atau bahkan ponsel pintar, lalu berbekal sedikit kreativitas, seseorang bisa menciptakan "realitas baru" yang viral di media sosial.
Masalahnya, tidak semua masyarakat memiliki literasi digital yang memadai. Banyak yang masih menganggap semua yang tampil di layar sebagai fakta. Apalagi jika konten tersebut menampilkan tokoh publik, suara yang mirip aslinya, dan narasi yang memprovokasi emosi. Disinformasi jenis ini bisa menjadi senjata ampuh untuk perang opini menjelang pesta demokrasi atau dalam upaya pembunuhan karakter.
Lebih berbahaya lagi, deepfake bisa menjadi alat kejahatan. Modus penipuan berbasis video palsu semakin sering ditemukan. Bayangkan seorang anak muda mendapat video dari "orang tuanya" yang meminta uang mendesak karena kecelakaan. Padahal video itu hasil rekayasa AI.
Di tingkat geopolitik, ancaman deepfake bisa menyalakan bara konflik antarnegara. Sebuah video palsu tentang pernyataan provokatif seorang pemimpin dunia bisa memicu eskalasi diplomatik, bahkan perang.
Kemkomdigi Bergerak: Akankah Cukup?
Menanggapi derasnya gelombang kecanggihan AI ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) berencana meluncurkan Roadmap atau peta jalan AI pada bulan Juni. Peta jalan ini diharapkan menjadi pondasi awal bagi lahirnya regulasi penggunaan AI di Indonesia.
"Jadi mohon bersabar, Juni insya Allah roadmap-nya keluar, kemudian dari situ kita akan turunkan ke dalam bentuk regulasi AI," ujar Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital, dalam sebuah acara resmi.
Namun, pertanyaannya: cukupkah roadmap itu menjawab kecepatan perkembangan AI yang terus melesat?
Meutya mengakui bahwa prosesnya masih dinamis, dengan diskusi yang terus berjalan bersama para pemangku kepentingan. Tantangannya jelas: AI bergerak sangat cepat, sementara regulasi biasanya berjalan lambat. Jika roadmap dan regulasi datang terlambat, masyarakat akan dibiarkan tanpa perlindungan di tengah gelombang disinformasi berbasis AI.
Belajar dari Negara Lain: Jangan Sampai Kita Terlambat
Beberapa negara sudah mulai bergerak cepat. Uni Eropa, misalnya, mengesahkan AI Act yang mengatur kategori risiko AI, mulai dari risiko minimal hingga risiko tidak dapat diterima (unacceptable risk). Amerika Serikat juga sudah menyusun regulasi untuk membatasi penggunaan deepfake dalam kampanye politik.
Indonesia harus belajar dari sana. Jika kita terlalu lambat, kita akan menjadi pasar empuk bagi pelaku disinformasi global. Terlebih lagi, ketika ada pesta demokrasi seperti Pemilu atau Pilkada, teknologi deepfake bisa digunakan untuk memanipulasi opini publik.
Tak hanya regulasi, yang paling mendesak adalah literasi digital masyarakat. Percuma punya aturan ketat jika masyarakat kita mudah terpancing hoaks. Literasi digital harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal, pelatihan bagi ASN, hingga kampanye masif di media sosial.
Etika dan Moral di Tengah Kemajuan Teknologi
Pada akhirnya, persoalan AI bukan semata-mata soal teknologi, melainkan soal etika. Di tengah kebebasan digital yang semakin liar, harus ada kesadaran kolektif bahwa inovasi tak boleh mengorbankan kebenaran. Kreativitas bukan berarti bebas memalsukan realitas.
Para pengembang AI, perusahaan teknologi, kreator konten, dan pengguna media sosial memiliki tanggung jawab moral yang besar. Jangan biarkan ruang digital kita menjadi "pasar gelap" informasi, di mana yang palsu lebih dipercaya ketimbang yang benar.
Kemajuan teknologi AI memang tak terhindarkan. Tapi pertanyaan terbesarnya adalah: apakah kita siap menghadapi konsekuensinya?
Menatap Masa Depan: Regulasi Ketat, Literasi Kuat
Jika roadmap AI nanti berhasil diterjemahkan menjadi regulasi yang jelas, tegas, dan berpihak pada kepentingan publik, maka Indonesia memiliki harapan untuk melindungi masyarakatnya dari badai disinformasi berbasis AI.
Namun regulasi saja tidak cukup. Literasi digital harus ditingkatkan, kolaborasi antarinstansi diperkuat, dan publik harus terus diajak berpikir kritis.
Deepfake hanyalah permulaan. Era pasca-kebenaran sudah ada di depan mata. Di era ini, yang palsu bisa lebih viral, yang benar bisa diabaikan, jika kita tidak siap secara hukum, teknologi, dan etika.
Kini, saatnya Indonesia bersiap sebelum semuanya terlambat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI