Penyimpangan kebijakan impor gula yang dilakukan Tom Lembong mengungkap perlunya penguatan komitmen terhadap ideologi sosio-demokrasi dalam tata kelola pangan nasional. Sosio-demokrasi, dalam konteks kebijakan pangan Indonesia, menekankan peran aktif negara dalam mengendalikan pasar untuk melindungi kepentingan rakyat, khususnya petani kecil, dan menjaga kedaulatan pangan nasional.
Untuk mewujudkan prinsip sosio-demokrasi dalam kebijakan pangan, diperlukan beberapa langkah konkret. Pertama, penguatan mandat eksplisit kepada BUMN untuk menjalankan fungsi stabilisasi pasar dan perlindungan petani melalui mekanisme pembelian dengan harga yang adil. BUMN tidak hanya berperan sebagai importir, tetapi juga sebagai penjamin harga bagi produksi lokal, sehingga petani tebu memiliki kepastian pasar yang melindungi mereka dari fluktuasi harga internasional.
Kedua, pembentukan mekanisme rapat koordinasi antarkementerian yang transparan dan akuntabel dalam setiap pengambilan keputusan impor pangan strategis. Mekanisme ini harus melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan BPKP untuk memastikan bahwa setiap keputusan impor telah mempertimbangkan dampaknya terhadap petani lokal, ketersediaan pangan nasional, dan efisiensi fiskal.
Ketiga, pengembangan sistem monitoring dan evaluasi yang berbasis pada indikator kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan, bukan semata-mata efisiensi ekonomi. Sistem ini akan memantau dampak kebijakan impor terhadap tingkat pendapatan petani, luas lahan yang ditanami, dan tingkat ketergantungan terhadap impor. Dengan demikian, pemerintah dapat melakukan koreksi kebijakan secara proaktif sebelum terjadi kerugian yang lebih besar.
Implikasi Abolisi terhadap Supremasi Hukum dan Kepercayaan Publik
Pemberian abolisi dalam kasus Tom Lembong menciptakan tiga implikasi destruktif yang mengancam fondasi negara hukum. Pertama, terciptanya dualisme kedaulatan antara putusan pengadilan yang menegaskan kesalahan dan keputusan politik yang mengampuninya. Kondisi ini mengaburkan batas antara kekuasaan yudikatif dan eksekutif, serta dapat menciptakan preseden berbahaya di mana putusan pengadilan dapat dinegasikan melalui intervensi politik.
Kedua, munculnya moral hazard yang akut di kalangan pejabat publik, khususnya yang menangani kebijakan impor komoditas strategis. Jika pejabat mengetahui bahwa selalu ada "pintu darurat elit" bernama abolisi, maka efek jera dari penegakan hukum akan melemah secara signifikan. Hal ini dapat mendorong perilaku koruptif karena risiko hukuman yang seharusnya menjadi pencegah (deterrent) menjadi tidak relevan.
Ketiga, erosi kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan prinsip equality before the law. Masyarakat dapat mempertanyakan konsistensi penegakan hukum ketika pejabat tinggi mendapat perlakuan khusus melalui abolisi, sementara warga biasa harus menjalani hukuman sesuai putusan pengadilan.Â
Kondisi ini dapat merusak legitimasi pemerintah dan menurunkan partisipasi publik dalam mendukung agenda pemberantasan korupsi, apalagi masyarakat sudah terlanjur mengetahui dalam pernyataan juru bicara Kejaksaan—dalam tayangan debat TV Nasional—bahwa kasus Tom Lembong merupakan langkah awal untuk kasus-kasus lain yang serupa.
Rekomendasi Reformasi Konstitusional dan Kelembagaan
Menghadapi kompleksitas permasalahan yang tergambar dalam kasus abolisi Tom Lembong, diperlukan beberapa langkah reformasi yang bersifat konstitusional dan kelembagaan. Pertama, penyusunan peraturan presiden yang mengatur secara rinci syarat, mekanisme, dan batasan pemberian abolisi, terutama untuk kasus-kasus yang melibatkan kerugian keuangan negara. Peraturan ini harus mencakup parameter objektif untuk "kepentingan umum" dan "persatuan nasional" yang selama ini bersifat subjektif dan mudah dimanipulasi.
Kedua, penguatan mekanisme judicial review administratif terhadap Keppres abolisi melalui PTUN dengan memperjelas prosedur gugatan, memperluas standing hukum, dan meningkatkan kapasitas hakim dalam memahami aspek-aspek teknis audit keuangan negara. PTUN harus dapat berfungsi sebagai check and balance yang efektif terhadap penggunaan hak prerogatif presiden, tanpa mengurangi esensi kewenangan konstitusional yang dimiliki presiden.
Ketiga, pembentukan sistem transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian abolisi melalui kewajiban publikasi alasan pemberian abolisi, konsultasi dengan lembaga-lembaga terkait seperti KPK dan BPKP, serta mekanisme pelaporan kepada publik tentang dampak abolisi terhadap pemberantasan korupsi. Transparansi ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa abolisi benar-benar diberikan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan politik jangka pendek.