Penyimpangan yang dilakukan Tom Lembong, dengan mengalihkan mandat impor kepada perusahaan swasta tanpa koordinasi antarkementerian yang memadai, tidak hanya melanggar aspek prosedural, tetapi juga menggugat fondasi filosofis kebijakan pangan nasional. Hal ini mencerminkan perpindahan dari paradigma sosial demokrasi yang menempatkan negara sebagai pelindung kepentingan publik, menuju liberalisasi pasar yang mengutamakan efisiensi ekonomi dengan mengabaikan dampak sosial terhadap petani kecil.
Optimalisasi Uji PTUN: Clemencial Review sebagai Instrumen Akuntabilitas Abolisi
Salah satu kelemahan utama dalam kasus abolisi Tom Lembong adalah kurangnya pengawasan yudisial yang efektif terhadap hak prerogatif Presiden. Padahal, penelitian oleh Guru Besar Hukum Administrasi Negara UI, Anna Erliyana, dalam Jurnal Palar (Volume 06, Nomor 01, Januari 2020, Halaman 159–186) menegaskan bahwa Keputusan Presiden (Keppres) tentang abolisi memenuhi kriteria sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Dengan demikian, Keppres tersebut dapat diuji melalui mekanisme clemencial review di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memastikan kepatuhan terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
Landasan hukum pengujian abolisi di PTUN terbangun dari beberapa instrumen peraturan perundang-undangan. Pertama, UU No. 5/1986 juncto UU No. 51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mendefinisikan Keputusan TUN sebagai objek gugatan yang bersifat tertulis, individual, konkret, dan final. Kedua, tidak terdapatnya pengecualian khusus terhadap Keputusan Presiden tentang abolisi dalam Pasal 2 undang-undang tersebut, yang berarti abolisi dapat menjadi objek sengketa TUN. Ketiga, UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan alasan gugatan berupa pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan AUPB.
Dalam konteks abolisi Tom Lembong, terdapat beberapa potensi pelanggaran yang dapat diuji melalui PTUN. Pertama, subjektivitas alasan "persatuan bangsa" yang tidak memiliki parameter objektif dan terukur, berpotensi melanggar asas kecermatan dalam pengambilan keputusan. Kedua, pemberian abolisi untuk kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dapat dianggap bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan. Ketiga, kemungkinan terjadinya detournement de pouvoir (penyalahgunaan tujuan) jika abolisi diberikan untuk melindungi kepentingan politik tertentu daripada kepentingan umum yang sesungguhnya.
Untuk mengoptimalkan fungsi PTUN sebagai instrumen akuntabilitas abolisi, diperlukan beberapa reformasi mendasar. Pertama, memperjelas standing hukum bagi masyarakat sipil, LSM antikorupsi, dan organisasi petani untuk dapat menggugat Keppres abolisi yang berimplikasi pada kepentingan publik. Kedua, mengembangkan parameter objektif untuk menguji alasan pemberian abolisi, terutama yang terkait dengan "kepentingan umum" dan "persatuan nasional". Ketiga, memperkuat kapasitas hakim PTUN dalam memahami aspek-aspek teknis audit keuangan negara dan dampak sosial-ekonomi dari keputusan abolisi.
Reformasi Sistemik: Integrasi Audit, Transparansi, dan Partisipasi Publik
Mencegah terulangnya kasus korupsi impor komoditas strategis seperti yang melibatkan Tom Lembong memerlukan pendekatan reformasi sistemik yang komprehensif. Pengalaman kasus ini mengungkap beberapa kelemahan struktural dalam tata kelola impor pangan yang perlu segera diperbaiki melalui integrasi temuan audit, penguatan transparansi, dan perluasan partisipasi publik.
Pertama, integrasi temuan audit BPKP sebagai dasar wajib dalam pengambilan keputusan impor pangan strategis. Sistem Nasional Neraca Komoditas yang dikembangkan untuk pengawasan kuota impor perlu diperkuat dengan mekanisme pelaporan publik yang real-time, sehingga masyarakat dapat mengakses informasi tentang volume impor, harga, dan dampaknya terhadap petani lokal. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Kementerian Keuangan yang menekankan pentingnya transparansi dalam kebijakan impor untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Kedua, pembentukan badan independen atau komite pengawas impor pangan strategis yang melibatkan KPK, BPKP, dan perwakilan petani. Badan ini akan bertugas melakukan pengawasan preventif terhadap kebijakan impor, memastikan kepatuhan terhadap regulasi, dan memberikan rekomendasi perbaikan tata kelola. Komite ini juga dapat berfungsi sebagai early warning system yang mengidentifikasi potensi penyalahgunaan wewenang sebelum menyebabkan kerugian negara yang masif.
Ketiga, penguatan partisipasi publik melalui platform digital untuk pelaporan pelanggaran dan konsultasi publik sebelum kebijakan impor ditetapkan. Pengalaman negara-negara dengan sistem demokrasi yang matang menunjukkan bahwa keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan kebijakan publik dapat secara signifikan mengurangi tingkat korupsi dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah.
Keempat, penetapan larangan abolisi untuk kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara di atas ambang batas tertentu, misalnya Rp500 miliar. Hal ini penting untuk menjaga efek jera (deterrent effect) dan mencegah terjadinya moral hazard di kalangan pejabat publik yang menangani impor komoditas strategis. Larangan ini dapat diatur dalam peraturan presiden atau bahkan diusulkan untuk dimasukkan dalam revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.