Dalam senyapnya toko itu, azan Isya tak lagi suara, tapi gema dalam dada. Ia bukan lagi menandai waktu salat, melainkan semacam transisi dunia: dari terang ke kelam, dari pasar ke kesunyian, dari lalu ke kenangan.
Sebuah pintu kayu tua dengan kenop perunggu, jendela kecil berdebu, dan suara logam yang terdengar seperti bisikan sejarah seakan bagai memasuki portal dimensi. Menyisakan suara pasar yang tertinggal di balik pintu.
Sunyi di dalam toko bukan sunyi biasa—ia seperti ruang kedap waktu. Aroma debu, logam tua, dan teh mengapung, seolah segalanya menunggu.
Di dalam, duduk seorang lelaki paruh baya dengan mata seperti pisau dan senyum seperti retakan di batu: Farid Halawi.
"CIA dan wanita Rusia. Dunia memang makin aneh," katanya, menyeruput teh hitam dalam gelas kecil.
"Kami bukan datang untuk menuduh," ujar Ethan, datar.
"Kami datang untuk memahami," sambung Lena, suaranya tenang tapi tajam.
Farid tertawa pendek, suara yang seperti kerikil diseret di lantai granit.
"Kalian selalu datang untuk memahami setelah semuanya terbakar."
Ethan meletakkan foto. Sebuah logam silinder berwarna hitam kehijauan, usang, permukaannya berukir tanda: tiga garis vertikal dan seekor burung gagak putih di tengah lingkaran.