Hanya aku, segelas milkshake cokelat dan sepotong roti bakar yang tiba-tiba terasa sangat istimewa mungkin karena kali ini aku benar-benar menikmati setiap gigitan tanpa tergesa, tanpa panggilan, tanpa distraksi.
Sebelum berangkat, suamiku tahu rencana ini. Dia hanya tersenyum dan berkata pelan, “Mama santai aja, Papah temenin anak-anak main.” Betapa berharganya kalimat itu. Sesederhana itu, tapi rasanya seperti izin untuk bernapas setelah sekian lama menahan napas.
Tak lama, kakakku di Bandung juga tahu. Alih-alih menasihati, ia justru mengirim pesan penuh dukungan:
“Enjoy ya, D. Kamu pantas istirahat.”
Aku membaca pesannya sambil tersenyum kecil. Rasanya seperti punya sekutu dalam diam seseorang yang benar-benar mengerti bahwa kadang, cara terbaik mencintai keluarga adalah dengan memulihkan diri sendiri dulu.
Aku menutup mata, menarik napas panjang. Entah sejak kapan aku lupa caranya berdiam tanpa merasa bersalah.
Me time bukan pelarian itu bentuk bertahan. Karena jujur, aku takut jadi ibu yang marah terus. Aku takut kehilangan kesabaran hanya karena tak pernah punya waktu untuk diriku sendiri.
Me Time Bukan Egoisme, Tapi Kebutuhan Jiwa
Banyak orang masih salah paham. Mereka pikir me time itu bentuk egoisme. Padahal, justru di sanalah letak kewarasan dijaga.
Psikolog klinis Universitas Indonesia, Tiara Puspita, menjelaskan bahwa self-care bukanlah kemewahan, melainkan aktivitas sadar untuk menjaga keseimbangan emosional.
Ibu yang tak diberi ruang istirahat cenderung lebih mudah stres dan kehilangan kendali emosi dan dampaknya dirasakan seluruh keluarga.
Hal itu sejalan dengan temuan penelitian lokal “Self-Care dan Coping Stress pada Ibu Bekerja,” yang menunjukkan bahwa semakin tinggi praktik self-care, semakin baik kemampuan ibu mengelola stres kerja dan pengasuhan.
Dengan kata lain, me time bukanlah pelarian, tapi investasi kecil agar ibu tetap utuh untuk dirinya dan orang-orang yang ia cintai.
Dan di tengah semua teori itu, aku teringat kalimat dari seorang konselor yang pernah aku dengar: