Saat Ibu Memutuskan Kabur Sejenak
Aku bukan ibu yang jahat.
Aku hanya ingin tidur tanpa tangisan, dan minum kopi tanpa teriakan rebut mainan.
Tapi di mata banyak orang, keputusan ngamar sendirian bisa dianggap dosa.
Sabtu sore itu aku check-in diam-diam di hotel dekat rumah. Tanpa anak, tanpa suami. Hanya membawa satu tas kecil dan segunung rasa bersalah. Ironis. Aku ingin tenang, tapi justru dihantui pikiran bahwa aku ibu egois. Seolah suara-suara di kepala berbisik:
“Ibu kok ninggalin anak?”
“Harusnya weekend buat keluarga, bukan buat tidur sendirian.”
Padahal, aku hanya ingin diam. Tidak ingin jadi juri, tidak ingin jadi penengah. Aku cuma ingin tidur tanpa dibangunkan tangisan, tanpa ada yang berteriak, “Ma, adek rebut mainan kakak!”
Tekanan yang Tak Terucap: Standar Ibu Sempurna
Zaman sekarang, jadi ibu seperti ikut lomba tanpa garis akhir. Media sosial memajang “potret sempurna”: ibu sabar, rumah rapi, anak tertawa. Namun di balik layar, banyak yang nyaris tumbang.
Berbagai penelitian internasional menunjukkan bahwa sekitar 65–70 persen orang tua bekerja mengalami gejala burnout kelelahan emosional akibat tekanan ganda antara pekerjaan dan pengasuhan anak.
Di Indonesia, sejumlah studi juga menemukan pola serupa: banyak ibu bekerja mengalami stres emosional karena harus menyeimbangkan peran domestik dan profesional.
Angkanya boleh berbeda, tapi intinya sama beban mental ibu bekerja nyata, dan terus meningkat. Sayangnya, di tengah semua itu, empati masih terasa langka. Begitu tahu aku “healing sendirian di hotel,” komentar pun datang deras:
“Kok bisa tega ninggalin anak?”
“Suami nggak marah?”
Lucunya, tak ada yang bertanya, “Kamu capek nggak?” atau “Kamu butuh didengar?”
Titik Jenuh dan Kebutuhan untuk Bernapas
Sore di hotel itu aku duduk di pinggir tempat tidur, menatap jendela besar yang menghadap langit mendung.
Aku tak merasa mewah, hanya tenang. Tidak ada suara televisi anak-anak. Tidak ada aroma nasi gosong karena multitasking.