Pernahkah kita bertanya, mengapa di negeri dengan ratusan ribu perpustakaan justru minat bacanya rendah?
Perpustakaan Banyak, Tapi Pembaca Masih Jarang
Data Perpustakaan Nasional tahun 2022 mencatat ada lebih dari 164 ribu perpustakaan tersebar di Indonesia. Jumlah itu bahkan termasuk yang terbanyak di dunia. Namun faktanya, indeks literasi masyarakat kita masih mengkhawatirkan.
Menurut PISA 2022, skor literasi membaca siswa Indonesia hanya 359, menempatkan kita di peringkat 70 dari 80 negara. Sementara Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) masyarakat memang naik menjadi 72,44 pada 2024, tetapi angka ini masih dalam kategori sedang, jauh dari ideal. Ironisnya, UNESCO bahkan mencatat hanya sekitar 1 dari 1.000 orang Indonesia yang benar-benar memiliki minat baca tinggi.
Artinya, jumlah perpustakaan seabrek belum otomatis melahirkan budaya membaca yang kuat. Pertanyaan pentingnya: di mana letak masalahnya?
Infrastruktur Ada, Kultur Belum Tumbuh
Banyak perpustakaan berdiri megah, diresmikan dengan meriah, difoto untuk laporan, lalu pelan-pelan sepi. Ruang yang harusnya hidup dengan obrolan dan diskusi sering berakhir kaku, sunyi, dan dingin. Padahal, membaca tidak cukup hanya soal buku. Ia butuh ekosistem tempat yang membuat orang betah, merasa butuh, dan merasa terhubung dengan bacaan.
Tidak heran jika anak-anak muda lebih memilih nongkrong di kafe atau tenggelam di gawai. Karena di sana, mereka merasa disambut, bukan hanya duduk di kursi keras dengan rak buku berdebu.
Gawai, Informasi Instan, dan Budaya Scrolling
Internet memang membuka akses informasi tanpa batas. E-book, artikel populer, hingga jurnal akademik tersedia di ujung jari. Tetapi masalahnya, kebiasaan membaca bergeser. Budaya scrolling lebih dominan daripada reading. Orang terbiasa membaca singkat, cepat, dan meloncat-loncat.
Akibatnya, literasi sering jadi ilusi: merasa membaca, padahal hanya sekilas. Tidak ada pendalaman, tidak ada refleksi. Ini pula yang menjelaskan mengapa meski akses informasi luas, kemampuan berpikir kritis masyarakat masih lemah.
Perpustakaan Harus Jadi Ruang Hidup
Kalau perpustakaan hanya dianggap gudang buku, wajar bila ia sepi pengunjung. Perpustakaan modern harus bertransformasi menjadi ruang kreatif: tempat diskusi, ruang kerja bersama, bahkan tempat santai.
Lihat saja Perpustakaan Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Ia viral bukan semata karena koleksi bukunya, tetapi karena ruangnya nyaman, terbuka, dan instagramable. Anak muda datang bukan hanya untuk membaca, tetapi juga untuk merasakan atmosfer belajar yang hidup. Dari sana, buku pelan-pelan kembali menemukan pembacanya.