Gelombang demonstrasi nasional yang meletus sejak 25 Agustus 2025 menandai babak baru hubungan antara rakyat dan kekuasaan. Awalnya, protes dipicu kebijakan kenaikan tunjangan DPR yang dianggap tidak etis di tengah situasi ekonomi sulit. Namun, puncak kemarahan publik muncul ketika Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob. Peristiwa itu menjadi simbol, negara yang seharusnya melindungi, justru menindas. Dari titik itu, demonstrasi membesar, menyebar ke berbagai kota, dan meraih solidaritas lintas kelompok masyarakat.
Di tengah situasi panas, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah politik yang khas, bahkan klise. Pada 1 September 2025, ia memanggil ke Istana sejumlah figur penting seperti ketua partai politik, tokoh lintas agama, serikat pekerja, hingga purnawirawan TNI. Tujuannya jelas: meredakan ketegangan, mengembalikan citra stabilitas, dan menyalurkan amarah publik ke dalam jalur simbolik yang bisa dikontrol. Di titik inilah kritik perlu diajukan dengan tajam: Mengapa negara selalu lebih memilih jalan legitimasi simbolik ketimbang rasionalitas ilmiah dan dialog terbuka?
Simbol, Bukan Solusi
Langkah mengundang tokoh agama untuk meredakan gejolak sosial bukanlah fenomena baru. Sejak lama, penguasa di Indonesia,baik pada era kolonial, Orde Baru, maupun masa reformasi,menggunakan otoritas religius untuk meredam ketidakpuasan rakyat. Tokoh agama tampil sebagai juru penenang, memberi imbauan, ceramah, dan doa, sementara pemerintah tetap mempertahankan struktur kebijakan yang timpang.
Masalahnya, strategi ini tidak menyelesaikan akar masalah. Demonstrasi Agustus 2025 lahir dari ketidakadilan struktural: kebijakan fiskal yang lebih berpihak pada elite, praktik represif aparat, dan jarak yang makin lebar antara rakyat dan penguasa. Itu semua tidak bisa dibereskan dengan nasihat moral. Solusinya memerlukan analisis ilmiah, kerja data, dan kebijakan rasional yang dibangun di atas riset sosial-ekonomi. Di sinilah peran sosiolog, peneliti, dan akademisi seharusnya berada di garis depan. Namun, suara mereka kerap dikesampingkan demi kehadiran tokoh agama yang lebih mudah "dijual" secara simbolik.
Agama sebagai Obat Penenang
Pemikir seperti Karl Marx menyebut agama sebagai "candu masyarakat". Bukan karena agama pada dirinya jahat, melainkan karena ia sering digunakan sebagai pelipur lara sementara. Agama memberi rasa damai, menunda amarah, namun tidak menyentuh sumber penderitaan. Dalam konteks demonstrasi 2025, undangan tokoh agama ke istana mengukuhkan pola lama itu: agama dipakai sebagai obat penenang politik.
Serta Friedrich Nietzsche lebih tajam lagi. Bagi Nietzsche, nilai kelembutan, kesabaran, dan kepasrahan yang sering dipuja dalam wacana religius bisa berfungsi sebagai strategi penguasa untuk menjaga rakyat tetap jinak. Apa yang kita saksikan hari ini tampak membenarkan analisis itu. Alih-alih mendorong agama menjadi kekuatan kritik etis terhadap elit, negara menjadikannya instrumen untuk menundukkan kritik rakyat.
Situasi ini bukan hanya membuat agama tampak sebagai "candu", melainkan mereduksi perannya menjadi sekadar alat kontrol sosial. Ia tidak lagi hadir untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk menjaga stabilitas semu. Maka, legitimasi yang lahir dari tokoh agama hanyalah legitimasi rapuh, sebab ia menenangkan tanpa pernah menyelesaikan.
Kekeliruan Prioritas
Mengundang tokoh agama dan purnawirawan ke istana pasca-demo sebenarnya salah sasaran. Persoalan utama bukan konflik horizontal antar umat, melainkan ketidakadilan struktural yang diproduksi oleh kebijakan negara sendiri. Analogi sederhana bisa menggambarkan ini seperti ada genteng rumah bocor, tetapi yang dipanggil bukan tukang bangunan, melainkan pemuka agama untuk berdoa bersama agar terhindar dari bahaya. Hasilnya jelas, genteng tetap bocor, masalah tetap ada, dan penderitaan hanya ditutup dengan doa.
Jika pemerintah serius, seharusnya langkah pertama adalah duduk bersama para demonstran, mendengarkan aspirasi mereka, dan merespons tuntutan dengan rasional. Transparansi kebijakan, evaluasi tunjangan pejabat, reformasi aparat keamanan, dan keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan adalah jawaban yang lebih tepat. Itulah kerja ilmiah dan politik yang sejati.
Reproduksi Pola Lama
Yang terjadi pasca-demonstrasi Agustus 2025 memperlihatkan betapa negara masih terjebak dalam pola lama: meredam, bukan menyelesaikan. Pola ini persis seperti yang pernah dijalankan rezim sebelumnya. Penguasa mengundang tokoh agama atau elit moral untuk meredakan suasana, sementara struktur ketidakadilan tetap utuh.