Malam yang Terencana
Malam itu, lelaki itu berdandan rapi. Kemeja biru tua yang baru disetrika, celana bahan hitam tanpa satu pun lipatan kusut, sepatu mengilap yang memantulkan cahaya lampu rumah. Di pergelangan tangannya, jam tangan perak berkilau---hadiah ulang tahun dari istrinya, Diana. Aroma parfum maskulin menguar, memadukan wangi kayu manis dan cedar. Rambutnya tertata klimis, kulit wajahnya bersih, tanda perawatan rutin yang tak murah.
"Sayang, aku berangkat dulu, ya," ucapnya sambil menoleh ke arah Diana yang duduk di sofa, menyelimuti kakinya.
"Hmm, parfum kamu baru, Pah... wangi banget," kata Diana, matanya sedikit menyipit, seperti mencoba mengingat.
"Iya, kemarin nyoba produk baru. Lagi promo, jadi ya... cobain aja."
Suara dan senyumnya datar, dalih yang cukup meyakinkan bagi siapa pun, kecuali mungkin bagi yang tahu, parfum itu sebenarnya hadiah dari seorang perempuan lain.
Jalanan dan Warung Rahasia
Tak lama, lelaki itu meluncur di jalan dengan motor kesayangannya. Udara malam menyentuh wajahnya, tapi pikirannya melayang ke tempat lain: wajah seorang perempuan yang belakangan ini sering membuatnya tersenyum sendiri. Janda, pemilik warung makan di sebelah kantornya.
Di kantor, tumpukan dokumen menyambutnya. Laptopnya yang katanya sudah seperti teman baik di kala suka dan duka menyala, layar putihnya menunggu disentuh jemari cekatannya. Ia bekerja cepat, seperti ingin segera melewati waktu menuju jam istirahat.
Tak sampai lama, bel berbunyi. Jam istirahat. Para karyawan berhamburan keluar. Lelaki itu melangkah ke arah warung di sudut halaman. Tempat itu redup, diterangi satu lampu bohlam kuning yang menggantung di antara daun-daun lebat pohon.
"Beb, mau minum apa?" tanya perempuan itu sambil tersenyum dan, entah kebetulan atau tidak, jarinya menyentuh paha lelaki itu.
"Teh manis hangat aja, sayang," jawabnya, menggenggam tangan perempuan itu.