Malam itu, lelaki itu berdandan rapi. Kemeja biru tua yang baru disetrika, celana bahan hitam tanpa satu pun lipatan kusut, sepatu mengilap yang memantulkan cahaya lampu rumah. Di pergelangan tangannya, jam tangan perak berkilau---hadiah ulang tahun dari istrinya, Diana. Aroma parfum maskulin menguar, memadukan wangi kayu manis dan cedar. Rambutnya tertata klimis, kulit wajahnya bersih, tanda perawatan rutin yang tak murah.
"Sayang, aku berangkat dulu, ya," ucapnya sambil menoleh ke arah Diana yang duduk di sofa, menyelimuti kakinya.
"Hmm, parfum kamu baru, Pah... wangi banget," kata Diana, matanya sedikit menyipit, seperti mencoba mengingat.
"Iya, kemarin nyoba produk baru. Lagi promo, jadi ya... cobain aja."
Suara dan senyumnya datar, dalih yang cukup meyakinkan bagi siapa pun, kecuali mungkin bagi yang tahu, parfum itu sebenarnya hadiah dari seorang perempuan lain.
Jalanan dan Warung Rahasia
Tak lama, lelaki itu meluncur di jalan dengan motor kesayangannya. Udara malam menyentuh wajahnya, tapi pikirannya melayang ke tempat lain: wajah seorang perempuan yang belakangan ini sering membuatnya tersenyum sendiri. Janda, pemilik warung makan di sebelah kantornya.
Di kantor, tumpukan dokumen menyambutnya. Laptopnya yang katanya sudah seperti teman baik di kala suka dan duka menyala, layar putihnya menunggu disentuh jemari cekatannya. Ia bekerja cepat, seperti ingin segera melewati waktu menuju jam istirahat.
Tak sampai lama, bel berbunyi. Jam istirahat. Para karyawan berhamburan keluar. Lelaki itu melangkah ke arah warung di sudut halaman. Tempat itu redup, diterangi satu lampu bohlam kuning yang menggantung di antara daun-daun lebat pohon.
"Beb, mau minum apa?" tanya perempuan itu sambil tersenyum dan, entah kebetulan atau tidak, jarinya menyentuh paha lelaki itu.
"Teh manis hangat aja, sayang," jawabnya, menggenggam tangan perempuan itu.
Telepon di Tengah Malam
Di rumah, Diana menatap ponsel. Rasa kangen tiba-tiba menusuk dadanya. Ia menekan tombol panggil. Lelaki itu mengangkat setelah nada ketiga.
"Pah, udah makan belum?"
"Ini baru pesan makan, sayang."
"Mah masak apa hari ini?"
"Cumi, kesukaan papah."
"Oh ya? Wah... enak sekali pastinya."
"Makanya cepat pulang."
"Iya, sebentar lagi, Mah"
"Pah... jari Mah luka nih, tadi kena pisau waktu ngiris bawang."
"Lagi melamun, ya?"
"Iya, entah kenapa kangen aja sama Papah."
Lelaki itu diam beberapa detik. Ada ketidaknyamanan yang menetes tipis di hatinya. Tapi ia menepisnya cepat.
"Pah lagi antre ambil mie ayam nih. Udah jadi."
"Oke, nanti telepon lagi kalau mau pulang. Love you, Papah."
"Love you too, Mah."
Telepon berakhir. Lelaki itu menyeruput teh hangat yang baru saja disajikan kekasih gelapnya. Tak lama, perempuan itu datang dengan sepiring makanan kesukaannya.
"Siapa yang nelpon tadi, Beb?"
"Oh, Diana... istriku."
"Kenapa, tumben malam-malam nelpon?"
Lelaki itu hanya tersenyum kecil, lalu memeluk perempuan itu. Mereka berbicara santai, kadang tertawa terbahak-bahak, seolah dunia luar tak ada.
Si Pengamat yang Tak Terlihat
Di sinilah aku ada. Tak jauh dari mereka. Duduk di bangku kayu yang hampir lapuk, menyamarkan diriku di balik batang pohon besar. Kamera ponselku siap. Saat mereka saling berpelukan, bibir hampir bersentuhan, aku memotret. Sekali, dua kali, tiga kali cukup untuk membekukan momen itu selamanya.
Aku tak segera mengirimkannya. Ada kepuasan aneh dalam menahan rahasia seperti ini, membiarkannya berdenyut pelan di saku celana.
Malam itu, mereka berpisah. Lelaki itu kembali ke kantornya. Perempuan itu mengucapkan selamat jalan dengan nada manja. Aku menunggu sebentar, memastikan ia benar-benar masuk.
Surat Tanpa Kata
Pagi harinya, aku membuka ponsel, memilih satu foto yang paling tajam siluet dua tubuh yang terlalu dekat, cahaya kuning lampu memantul di mata mereka. Kuberi caption sederhana: "Suami baik." Lalu kukirim ke nomor Diana.
Tak lama, ponselku berdering. Namanya muncul di layar. Suaranya bergetar, tapi bukan karena marah. Ada sedih, ada kecewa, ada... sedikit ragu. Dia mengajakku bertemu di restoran langganan kami dulu, waktu SMA. Katanya, untuk membicarakan masalah suaminya.
Aku setuju. Istriku sedang dinas luar kota. Kesempatan ini terlalu sayang untuk dilewatkan.
Kenangan Lama dan Rencana Baru
Restoran itu tak banyak berubah sejak belasan tahun lalu. Meja kayu berwarna gelap, kursi anyaman rotan, aroma sop buntut yang meresap di udara. Aku duduk di meja dekat jendela, menunggu.
Diana datang dengan gaun sederhana warna krem, rambut tergerai sebahu. Cantiknya tidak sama seperti dulu, lebih dewasa, ada guratan lelah di sudut mata, tapi justru itu yang membuatnya menarik.
"Kamu yang kirim foto itu?" tanyanya pelan setelah duduk.
Aku hanya tersenyum. "Aku pikir kamu perlu tahu."
Ia menunduk, mengaduk minuman yang belum diminum. "Aku... nggak nyangka. Tapi entah kenapa, aku nggak kaget."
Kami berbicara lama. Tentang suaminya, tentang rasa yang hilang, tentang kenangan lama di sekolah. Kadang, aku memperhatikannya dalam diam. Cara ia mengibaskan rambut, cara jemarinya menyentuh bibir ketika berpikir, semua itu masih sama seperti dulu.
Aku teringat masa SMA. Aku yang selalu menunggu di gerbang sekolah hanya untuk melihatnya lewat. Aku yang pernah hampir memberanikan diri menyatakan perasaan, tapi kalah cepat dari lelaki yang kini jadi suaminya. Sejak itu, aku belajar satu hal: beberapa hal tak perlu dikejar... cukup ditunggu sampai waktunya datang sendiri.
Malam itu, ketika kami berpisah, Diana memelukku sebentar. Pelukan yang hangat, tapi juga rapuh. Aku tahu, benih sudah kutanam. Aku hanya perlu menunggu lagi, seperti dulu.
Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan lelaki itu. Orang-orang mungkin akan menyebutnya nakal. Tapi aku tahu, dia hanya pemain yang terlalu percaya diri. Yang tidak pernah sadar, ada pemain lain yang lebih sabar... dan jauh lebih licik.