Sekitar 6 bulan sebelumnya, Om menugaskan kepada penulis untuk bertugas dalam acara ngrait yang akan digelar pada malam 1 Suro yang akan datang. Siap Om, jawab penulis. Pada saatnya acara dimulai pukul 21.00 wib sesuai direncanakan, dan setelah pukul 24.00 wib penulis melaksanakan tugas sebagai saksi, dan juga sebagai pemandu teman - teman yang akan ngrait (menangkap dan menempatkan) Nur. Teman - teman yang ngrait Nur saat itu berjumlah lima orang, dan alhamdulillah tiga orang diantaranya berhasil ngrait Nur yang kesemuanya berwarna merah.
Acara ngrait di malam 1 Suro ini diselenggarakan di Padepokan Ngupoyo upo (dekat Komplek Paspampres) Kedunghalang, Bogor. Ngupoyo upo arti harfiahnya mencari sandang pangan papan, tetapi di paguyuban penulis dimaknai sebagai singkatan dari NGUPADI PONDASINING DRIYO UTAMANE PANALITI ROSOÂ yang artinya mencari jati diri manusia utamanya melalui penelitian rasa.
Setelah acara ngrait lebih kurang pukul 02.00 wib dini hari (penulis masih dalam kamar gelap), tiba - tiba mendengar suara teman - teman dari luar dengan sangat jelas, kemudian penulis keluar. Teman - teman sudah banyak yang pulang, dan penulis melihat Om Moertidjo (mantan anggota Paspampres) masih ngobrol dengan beberapa teman yang saat itu belum pulang. Tetapi suara Om saat ini terdengar jauh lebih keras, dan lebih jelas dari pada saat acara belum dimulai.
Penulis lalu bertanya, Om apa sejak sebelum acara dimulai tadi, suara Om ya keras seperti saat ini?
Om Moertidjo menjawab demikian: Lo, sejak kapan suara saya pelan?
Sejak dulu sampai sekarang, suara saya ya tetap keras begini!
Dalam hati, penulis bersyukur kahadirat Allah Swt. karena tanpa sebab yang dapat diterima oleh akal sehat, suara dan pendengaran yang hilang sudah pulih kembali seperti sediakala. Â Penulis memahami bahwa kesemua yang terjadi selama ini, adalah kehendak Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa semata.
Esok harinya, kejadian semalam penulis ceritakan kepada teman yang datang bersama dari Bandarlampung.
Tetapi penulis heran karena begitu mendengar cerita, beliau malah tertawa. Penulis lalu bertanya: lo, mengapa pak Nyamidi ( mantan Kepala Tata Usaha Kanwil Departemen Perindustrian Propinsi Lampung ) kok malah tertawa?
Beliau menjawab: begini pak Bangun, terus terang saja sejak kita mengobrol di rumah bapak (Bandarlampung) dan sepanjang perjalanan sampai ke Bogor sini, saya tidak mengerti apa yang dibicarakan bapak, karena saya tidak mendengar.
Penulis agak heran dan melanjutkan bertanya: Tetapi mengapa kalau saya tertawa, pak Nyamidi kok juga ikut tertawa?