Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Linang dan Banjir

11 Januari 2020   11:52 Diperbarui: 11 Januari 2020   21:51 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku Linang anak dari Sunarti ibuku, yaitu my moms yang single parent. Papa sudah lama menghadap Gusti Allah. Papaku bernama Darmais, moms bilang papa meninggal karena kanker tak lama sebelum aku hadir melihat terang dunia. Dan sekeluarku, moms memberiku nama Linang. Mengapa kau memberikanku nama Linang moms? Kerap aku bertanya di tahun tahun balitaku.

Moms bercerita, aku lahir  di tengah pergantian malam  dimusim pancaroba. Saat saat langit mencurahkan hujan sekuatnya yang mengiringi perjuangan moms mengeluarkanku disaat pula duka kepergian suami belahan jiwanya, masih pekat menyelimuti kalbu. 

Limpahan air ke bumi begitu menenggelamkan, di sepanjang proses kelahiranku, dari rapatnya aliran hujan dan basah mata moms, menyiratkan linangan air yang tak seakan pernah berhenti,  sehingga lahirlah namaku Linang. 

Cerita usai persalinan, tak kalah pula haru birunya, seperti melengkapi kesepian semesta. Tak ada tersisa, kecuali gelap yang membawaku pulang dalam dekapan moms.  Suara mendesis banjir yang menelikung sekitar rumah bersalin telah menghadang kala itu. "Kamu tenanglah saja Linang..Hujan dan banjir ini tak akan menyentuhmu, Moms promise!" begitu cerita moms sambil membungkusku mahluk kecilnya rapat ke dada.

Dengan gagah berani moms menerobos ketinggian banjir yang mencengkeram pinggangnya  berhati hati melaju ke rumah petak kami. Kata moms, saat itu aku tak menangis, bahkan tak mengeluarkan sebersit suarapun.

 "Kamu perempuan pemberani, Linang.." moms berbisik, bersama parasnya yang basah oleh curahan hujan bercampur linang matanya dan dingin di separuh tubuhnya yang direndam banjir. Hari itu begitu kelam, tak terlihat suatu, hanya air hujan, air menggenang dan air mata.

Selanjutnya waktupun membesarkanku menjadi gadis yang lembut dan kuat. "Kamu seperti air, Linang. Lembut dan kuat" Moms memberi spirit tentang arti  hujan yang lembut dan luapan sungai yang kuat. Aku sendiri suka sekali dengan air, barangkali seperti ikan. 

Gembira bukan kepalang kupercik air dimana kudapati entah hujan atau kadang di kolam renang, pantai dan laut lepas. Dan kegembiraanku tak lagi tersembunyi, ketika saban akhir tahun menjelang. 

"Moms, mengapa banjir belum datang?" kerap ku merajuk ketika awan basah terlambat . 

"Hussh.. moms sudah berkali, bahwa perkataan itu tidak baik, Linang!" Moms selalu begitu, meski ada sudut senyum kulihat, mungkin geli melihat anak tomboinya. Dan betul hari terakhir ujung tahun, hujan mendera malam. Aku terbangun, hatiku berdebar keras rasa gairah. Hingga di buta yang dingin airpun cekatan merendam petak petak rumah ku, air telah setinggi pinggang, semua perabot terendam dipagi remang. 

Moms memegang erat lenganku, relawan mulai meneriakkan banjir dari atas perahu karet. Kami pun termasuk mahluk yang dievakuasi bersama yang lain. Aku menjulurkan kaki kedalam air, meninggalkan alur gemericik air bersama kapal karet. Hanya mungkin wajahku yang menarik diantara wajah wajah tegang diatas perahu penyelamat. 

"Owh banjir, airmu ku sukak" Hatiku menjerit. "Boleh ku renang siang nanti, moms?" aku memohon. Orang orang memandangku, mungkin terkejut? Dan moms sigap mengatupkan tangannya ke bibir kecilku. 

Hingga tiba kami di bangunan diketinggian, yang dibilang tempat pengungsi bandang. Kamipun bergerombol membentuk sanak sendiri sendiri. Kami cuma berdua aku dan moms. "Kau tetap disini anak manis, moms mau bantu ke dapur bantuan. Okei?" aku mengangguk dan mengerti memang moms tak suka berpangku tangan. 

Tak betah duduk aku berlalu lalang diruang besar hingga menggapai pintu luar. Hujan masih jatuh rapat suaranya menderu tapi aku senang. "Dimanakah kah banjir?" hatiku lagi lagi tergoda. Kulongokkan kepala kecilku. "Hah?! Banjir sudah mendekat?" ku kejut, tapi gembira melihat anak sebaya berenang dan bermain air. Aku tak bisa menanhannya untuk segera ikut menyongsong mereka dan larut dalam riak banjir yang mungkin setinggi kepalaku. 

Kami semua mengambang dipermukaan dengan gembira meski air meninggi melebihi ukuran kecil kami. Malah membikin kami hepi, mengambang tinggi seperti bebek. Saling menjerit dan tertawa gembira."Sapa nama kamu?" seorang anak lelaki mendekat. 

"Aku Linang" kataku tertawa dengan kuyup wajah. 

"Owh? Pantas kamu jago renang. Nama kamu berlinang, hahaha" balasnya. Kami berdua tergelak gelak sambil menepuk nepuk muka air banjir. "Linang siapa..?" tanyanya lagi. 

"Linang aja..". 

"Bagaimana kalau Linang Banjir?"katanya menggoda. 

"Hahaha.. lucu" kami terbahak lagi sembari menyelam timbul. Entah sudah keberapa jam aku tak merasakan lelah bermain banjir, hanya kurasakan bobot tubuhku semakin ringan menyenangkan. Lagi sehabis ku menyelam dan menampak permukaan teman teman sebayaku tak tampak batang hidungnya. 

"Bodo amat!" kataku sambil berasyik dalam air banjir.

"Linang..!!" tiba tiba kudengar teriakan moms diatas perahu survivor menuju arahku, beberapa relawan terlihat mendayung cepat mengarahku. "Cepat naik anak pintar!" bapak relawan sigap meraihku dari air. Moms langsung mendekap basahku sambil meratap. " Janganlah kau lakukan lagi, Linang. Moms takut..kamu coba lihat itu" lengannya menunjuk tinggi air yang telah mencapai atap rumah. Dari sudut peluk moms aku melirik sekitaran banjir yang meninggi. Namun aku tak merasakan kawatir.

Waktupun bertahun begitu cepat dan aku tumbuh menjadi jelita dewasa. Moms yang tau aku cerdas berjuang mendapat beasiswa kuliah diteknik hidrolika yang aku suka, hingga dengan cepat aku merampungkannya dengan cumlaude.

Melanjutkan studiku meraih master dan phd di negeri kincir Belanda, membuatku semakin matang untuk menguasai prinsip mekanika fluida terhadap masalah yang terkait dengan pengumpulan, penyimpanan, pengendalian, pemindahan, pengaturan, pengukuran, dan penggunaan air.

Dan ketika ku kembali menginjakkan kota banjir ku yang silam, moms memeluk menyambutku. Dia tau aku tak lagi menunggu banjir untuk bermain, tapi aku akan bermain untuk mengusir banjir dengan ilmu yang benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun